Cerita dari Digul
Penyunting : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001
SUNYI, sunyi, sunyi, tidak ada kedengaran suaranya suatu apa?. Inilah ini, Boven Digul yang terkenal.? Demikianlah kutipan dari Darah dan Airmata karya Oen Bo Tik di Boven Digul yang disunting oleh Pramoedya Ananta Toer. Sebagai penyunting, Pramoedya sendiri merupakan korban politik pembuangan Orde Baru di Pulau Buru, sebuah ?kamp konsentrasi Orde Baru? yang memadukan konsep pembuangan ala rezim kolonial Hindia Belanda dan metode sistematis naziisme untuk mendegradasikan sekelompok manusia yang mempunyai ideologi berbeda menjadi ?binatang manusia? yang boleh diapa-apakan.
Tampaknya, rezim politik kolonial dan Orde Baru memiliki persamaan kualitas dalam menghadapi lawan politik. Hanya, cara untuk menghancurkan lawan politik tersebut sedikit berbeda. Pembuangan Boven Digul yang diperuntukkan bagi kaum komunis dan pengikutnya pada 1927 menjadikan alam yang perawan dan buas sebagai tembok tanpa batas untuk menghancurkan manusia-manusia pergerakan. Para orang buangan tidak mengalami siksaan fisik. Mereka dibiarkan bekerja dengan hukum alamnya. Sedangkan Orde Baru lebih menggunakan kekerasan fisik untuk menundukkan dan merendahkan lawan politiknya di Pulau Buru.
Kumpulan kisah yang disunting oleh Pramoedya ini sangat penting untuk memahami struktur mental dari manusia-manusia buangan melalui karya sastra atau orang yang terinspirasi dari pengalaman pembuangan Boven Digul. Buku ini memuat lima buah cerita yang terfokus pada pengalaman manusia yang dibuang ke ?kuburan? Boven Digul. Berbeda dengan Hantu Digoel (LKIS, Yogyakarta 2001) karya Shiraisi Takashi, yang lebih menekankan proses dan mekanisme kekuasaan dari politik pembuangan rezim kolonial, lima karya yang dimuat dalam Cerita dari Digul ini dapat membawa kita pada pengalaman perasaan, rasa sepi, putus asa, kerinduan, dan harapan- harapan dari manusia buangan.
Kisah kehancuran keluarga serta terputusnya tali percintaan para pelaku dalam buku ini menunjukkan bahwa politik pembuangan tidak hanya menghancurkan organisasi politik kaum komunis, tapi juga struktur keluarga dan percintaan sepasang kekasih. Sebuah dampak dari politik pembuangan yang tentunya tidak diramalkan oleh Gubernur De Graeff atau Kepala Intelijen Kolonial Van der Lely pada saat itu. Sedangkan rezim Orde Baru tidak hanya menghancurkan struktur politik lawannya secara sistematis dan terorganisasi, tapi juga menghancurkan seluruh struktur keluarga dan kekerabatan lawan-lawan politiknya secara sistematis dan terorganisasi melalui politik litsus, pemberian label ET (eks tapol), dan seabrek larangan hingga ke anak-cucu. Ini adalah metode yang tidak sempat ?terpikirkan? oleh rezim kolonial.
Buku ini layak dibaca untuk memahami situasi mental dan romantisisme para korban politik kekuasaan di suatu zaman, yang kadang kala mengalami pengulangan di zaman lainnya. Selain itu, membaca karya sastra kaum buangan Boven Digul juga dapat membuat kita memahami bahwa kaum komunis bukanlah sekadar ideologi, politik, dan organisasi, tapi juga manusia-manusia biasa, yang tidak berbeda dengan manusia lainnya. Mereka mempunyai perasaan, rasa sepi, kesedihan. kerinduan, putus asa, dan kisah percintaan seperti manusia lainnya. Dari kisah-kisah kaum buangan Boven Digul yang disunting Pramoedya, kita akan merasakan itu semua, manusia apa adanya.
Wilson, Divisi Riset Yayasan Komitmen di Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini