HAJI Anto terkulai. Rahang bawahnya retak bersimbah darah, sementara posisi hidung dan mulutnya tidak simetris lagi. Sekelompok orang yang menyerangnya pada dini hari Rabu pekan lalulah yang membuat penduduk Poso, Sulawesi Tengah, itu menderita.
Kendati divonis dokter cacat seumur hidup, Anto merasa bersyukur masih bisa bernapas. Kelompok penyerang yang selalu berpakaian ala ninja jika beraksi itu biasanya tidak segan-segan membakar korbannya. Hampir setiap hari, selama dua bulan terakhir, mereka menyerang dan membakar warga muslim Poso. Kondisi ini membuat suasana mencekam sampai ke pelosok-pelosok desa.
Salah satu contohnya, 10 Juni lalu, Hendra dan Ahmad tewas terpanggang di mobil boksnya. Saat itu, keduanya tengah melaju di jalan Desa Sawidago?50 kilometer dari Kota Poso. Tiba-tiba sekelompok massa memberhentikan dan langsung membakar kendaraan bernomor polisi Makassar itu.
Penyerangan tidak hanya di- lakukan kepada warga sipil. April lalu, saat melakukan patroli keamanan, Brigadir Dua Polisi Muslimin tewas dibacok segerombol orang berikat kepala merah. Dua polisi rekan korban juga terluka parah, sedangkan dari pihak penyerang jatuh satu korban tewas.
Situasi seperti itu merupakan imbas dari pertikaian berbau agama pada April hingga Juni tahun lalu. Kerusuhan yang awalnya hanya dipicu oleh pertengkaran di antara dua kelompok pemuda, Islam dan Kristen, di Terminal Kasiwuntu pada 16 April 2000 itu akhirnya menyeret penduduk Poso dan sekitarnya dalam "perang" berkepanjangan. Akibatnya, diperkirakan ratusan warga telah tewas dan lebih dari 50 ribu rakyat Poso terpaksa mengungsi.
Kendati kerusuhan massal tidak terjadi lagi, aksi penyerangan dan pembakaran hingga kini masih saja terjadi. Aksi tersebut diduga sebagai bentuk balas dendam atas vonis mati yang dijatuhkan hakim di Pengadilan Negeri Palu kepada Febianus Tibo, terdakwa otak kerusuhan Poso, 5 April lalu, yang kini tengah mengajukan kasasi. Sampai kini, masih banyak pengikut ataupun simpatisan Tibo dari kelompok merah yang berkeliaran di Poso.
Sehari setelah vonis Tibo dibacakan, misalnya, sekelompok massa berusaha menyerang warga yang sedang menunaikan salat Jumat di sebuah masjid di Poso. Aksi tersebut bisa dihalau warga dan tidak ada korban jiwa.
Merasa gagal, esok harinya sekelompok orang membakar gedung Sekolah Pertanian Menengah Atas Al-Khairaat dan sebuah masjid di Desa Ranonuncu. Hanya berselang beberapa jam, Irfan, warga Kelurahan Kayamanya, ditemukan tewas dengan luka tembak dari peluru senapan rakitan di lambungnya. Gerombolan penjahat itu tidak hanya menyerang warga, tapi juga membakar dan menebang ratusan pohon kakao produktif milik warga muslim di Desa Tangkura.
Aparat keamanan sudah berjanji akan menangani persoalan ini dengan tangan besi. "Siapa saja yang melakukan perusakan akan kami tembak di tempat," kata Kepala Polda Sul-Teng, Brigjen Zainal Ishak Abidin, kepada Darlis Muhamad dari TEMPO. Memanasnya kembali Poso, menurut Zainal, tidak terlepas dari upaya provokasi dari pihak luar daerah tersebut. "Buktinya, mereka yang kami tangkap tidak punya identitas apa pun yang bisa menjelaskan mereka orang Poso," ujarnya.
Akankah penduduk Poso bisa kembali hidup bergandengan tangan? "Konflik di Poso akan selesai jika lembaga adat dibangun kembali, kerugian masyarakat direhabilitasi, dan ada fasilitas untuk mengembangkan perekonomian di sana," kata Sulaiman Mamar, guru besar antropologi asal Universitas Tadulako. Mungkinkah persyaratan itu dipenuhi di tengah situasi politik dan ekonomi negara ini yang sedang amburadul?
Bandung
TEGA benar Rois Imron ini. Dokter yang berpraktek di Klinik Mitra Sejahtera, Bandung, itu telah menggugurkan lebih dari 500 calon orok sejak 1996. Saat ditangkap polisi, Selasa pekan lalu, alumni Universitas Padjadjaran itu sedang "bekerja" mengaborsi kandungan seorang gadis belia yang sedang hamil muda.
Bersamaan dengan itu, ikut pula ditangkap Rosmiati, perawat, dan Dana Krisna, Direktur Yayasan Klinik Mitra Sejahtera. Beberapa alat praktek aborsi seperti speculum (pembuka vagina) dan penyedot janin juga disita polisi. Ketiga tersangka itu kini mendekam di tahanan polisi. "Kami masih menyelidiki apakah mereka melakukan sendiri atau berupa sindikat," kata Kepala Polresta Bandung Tengah, Ajun Komisaris Besar Siswandi.
Terbongkarnya praktek "pembunuhan" bibit manusia itu berawal dari laporan penduduk sekitar klinik yang menyatakan klinik itu melakukan praktek aborsi secara ilegal. Polisi lantas bertindak. "Setelah kami intai beberapa kali, tersangka bisa kami tangkap tangan," tutur Kapolresta.
Menurut pengakuan Rois kepada polisi, selama ini ia hanya menggugurkan kandungan dengan usia dua sampai dua setengah bulan. "Saya tidak berani menggugurkan kandungan di atas usia itu. Risikonya besar," ujar tersangka. Tarif yang dipatok beragam, antara Rp 100 ribu dan Rp 150 ribu, tergantung kondisi pasien. Sementara itu, "Gumpalan daging hasil aborsi itu biasanya kami buang di selokan pinggir klinik," ujar Rosmiati.
Penangkapan terhadap dokter yang melakukan praktek aborsi ilegal itu bukanlah barang baru. Februari tahun lalu, Agung Waluyo, dokter di Kelapagading, Jakarta Utara, ditangkap polisi karena melakukan praktek yang sama. Menurut polisi, Agung, yang dibantu Siti Jubaedah, perawatnya, diduga telah merenggut secara paksa 200 janin dari rahim ibunya. Sebulan kemudian, polisi mengungkap kasus serupa dengan menangkap Habibah, bidan asal Depok, Jawa Barat, yang mengaku telah menggugurkan 35 kandungan dengan imbalan Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu per janin.
Kasus-kasus di atas hanya sebagian kecil dari praktek aborsi secara ilegal yang kini banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Aksi penangkapan oleh polisi semula diperkirakan bisa mem-berantas praktek seperti ini. Namun, rendahnya hukuman yang dijatuhkan hakim kepada para pelaku membuat upaya itu tak ada geregetnya. Vonis hakim kepada Agung Waluyo, September 2000 lalu, misalnya. Kendati menurut majelis hakim terdakwa terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 23/1992 tentang Kesehatan, vonisnya hanya 2 tahun 4 bulan penjara. Padahal, merujuk pasal 80 undang-undang yang sama, jika terdakwa terbukti melakukan tindak aborsi ilegal, ia bisa diganjar hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Karena itu, jangan heran melihat angka aborsi di Indonesia. Menurut data yang ada di Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional pada Juni 2000, diperkirakan setiap tahun ada 2 juta remaja melakukan aborsi. Wow!
Tual
SUDAH jatuh, masih ada saja yang mau menggebuk. Itulah nasib ribuan pengungsi imbas per-tikaian berbau agama di wilayah Maluku yang berada di Tual, Maluku Tenggara. Ada yang menilap beras sumbangan mereka. "Hasil penyidikan kami, ada pengurangan jatah beras dan lauk-pauk yang seharusnya diterima pengungsi," kata Kepala Kejaksaan Negeri Tual, Bakrie Tamher, Rabu pekan lalu.
Kasus itu terbongkar setelah ada beberapa pengungsi yang mengeluh berkurangnya jatah ransum mereka sejak Juni 2000 lalu. Satu orang biasanya mendapat Rp 45 ribu dan 12 kilogram beras per bulan, tapi kemudian menyusut menjadi Rp 40 ribu dan 10 kilogram beras. Jika dihitung jumlah pengungsi yang mencapai 35 ribu orang, dana yang ditilap "tikus" tersebut mencapai Rp 175 juta dan 70 ton beras dalam sebulan.
Siapa "tikus"-nya? "Semua itu atas perintah Idris Baranjanan," ujar Bakrie. Idris, Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Tual, pekan lalu sudah dijadikan tersangka. Jumlah tersangka kemungkinan bertambah mengingat masih ada 43 orang saksi lagi dari Satgas Pangan yang akan diperiksa.
Untuk melancarkan aksi penggerogotan ini, menurut Bakrie, Idris ternyata juga menyuap be-berapa anggota DPRD Maluku Tenggara agar tutup mulut. "Ada enam yang melapor ke saya telah menerima uang pelicin dari tersangka," ujar Bakrie. Pernyataan itu dibenarkan J. Rahail, salah satu wakil rakyat. "Kami diberi Rp 1,5 juta agar tidak membongkar aib memalukan itu," katanya.
Idris Baranjanan tentu saja membantah tuduhan itu. Soal pemberian uang kepada wakil rakyat, menurut dia, itu bukan upaya untuk menyuap. "Saya berikan sebagai teman, bukan untuk menyogok," katanya. Ia juga berkeras menolak tuduhan menilap jatah beras para pengungsi, dan untuk itu ia minta pengadilan membuktikannya.
Nasib pengungsi di mana-mana agaknya tak berubah: terjepit kemiskinan. Para pengungsi di Tual, contohnya, tak bisa hidup layak karena bantuan Jakarta melalui anggaran belanja tambahan kepada pemerintah daerah setempat sebesar Rp 3 miliar dalam anggaran 1999/2000 tidak mencukupi. Padahal, jumlah mereka hingga kini masih puluhan ribu orang.
Pontianak
BERAPA nilai untuk mengganti rusaknya sebuah budaya? Pa-ling tidak, kalau dilihat nilai gugatan masyarakat Dayak Kalimantan Barat kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun), nilai tersebut mencapai Rp 22,9 triliun. Gugatan yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat per-tengahan Juni lalu itu berisi tuntutan agar Menhutbun membayar ganti rugi atas kerusakan budaya Dayak akibat pembabatan hutan di Kalimantan Barat.
"Berkurangnya kawasan hutan membuat masyarakat Dayak tidak bisa lagi melaksanakan upacara-upacara adat mereka," kata Ketua Harian Majelis Adat Dayak Kal-Bar, Syaikun Riyadi. Selain itu, menurut Syaikun, pembabatan hutan oleh perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) dari tahun 1967 sampai 1999 atas seizin Menhutbun tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada masyarakat sekitar hutan. "Hingga kini, masih banyak warga Dayak yang berada di bawah garis kemiskinan," ujar Martinus Ekok, pengacara yang mewakili masyarakat Dayak.
Kendati berbeda kasusnya, gugatan kepada Menhutbun itu sebenarnya bukan yang pertama kali. Saat ini, di Pengadilan Negeri Pontianak juga sedang digelar kasus gugatan class action 57 tokoh Dayak Kal-Bar kepada Menhutbun dan dua perusahaan, yakni PT Yamaker dan PT Perhutani. Mereka menuntut agar SK Menhutbun Nomor 37/Kpts-II/1999 dibatalkan dan dua per- usahaan itu membayar ganti rugi Rp 10 miliar. Sidang yang harus-nya berlangsung Kamis pekan lalu ditunda sampai 19 Juli. Alasan-nya, baik pihak tergugat maupun pengacaranya tidak hadir.
Bandarlampung
KALAU jadi terlaksana, ini drop out (DO) mahasiswa terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Bayangkan, Universitas Lampung (Unila) akan men-DO 2.179 mahasiswanya?dari total 15 ribu?karena berbagai hal. Informasi itu diungkap oleh Ivan Sumantri, Kepala Biro Kearsipan dan Database Komite Anti Korupsi (KoAK), Rabu pekan lalu. "Ada yang karena telat membayar SPP atau karena indeks prestasi kumulatifnya terlalu rendah," katanya.
Banyaknya mahasiswa yang akan di-DO diakui oleh Pembantu Rektor II Unila, M. Shofie Akrabi. "Bila telat membayar SPP sampai satu semester, mahasiswa tersebut bisa dianggap mengundurkan diri," katanya. Langkah itu akan segera diberlakukan setelah pengecekan dan penelitian pihak universitas selesai.
Berita itu kontan menuai protes. KoAK bersama Lembaga Advokasi Masyarakat dan Alumni Unila akan melakukan upaya pembelaan. Selain itu, sejumlah mahasiswa langsung mengadukan kebijakan pihak Unila itu ke DPRD Lampung. "Rektor otoriter, tidak manusiawi, dan tidak rasional," kata salah satu mahasiswa. Para mahasiswa itu juga mendirikan posko untuk menampung keluhan rekan-rekannya. Tuduhan itu ditangkis Shofie. "Kami menjalankan dan menegakkan aturan, bukan otoriter," katanya.
Sepertinya pengadilan tata usaha negaralah yang harus memutuskan benar tidaknya ucapan itu.
Johan Budi S.P. dan Kontributor Daerah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini