KATAKANLAH sebuah kota hendak membuat peraturan: setelah pukul 10 malam, tak boleh seorang perempuan pun berjalan ke luar rumah tanpa disertai suami atau muhrimnya. Katakanlah sebuah daerah ingin menghukum pencuri dengan potong tangan dan penzina dengan rajam. Pasti akan ada orang yang menentangnya dengan sangat, akan ada pula orang yang menyetujuinya dengan sangat?dan sebuah pertanyaan yang pelik akhirnya akan datang: adilkah?
"Adil": sebuah tanda. Di sana ada bunyi, ada huruf, ada gambar, yang menandai sesuatu. Tapi apa gerangan "sesuatu" itu orang tak kunjung bersepakat. Berabad-abad mereka tergerak oleh penanda itu. Terkadang orang berebut, terkadang bersaing, memberi "isi" kepadanya. Sebagian mengklaim bahwa "isi" yang hendak mereka terapkan datang dari sebuah pengalaman yang ratusan tahun, dan sebab itu terjamin ampuhnya. Ada lagi yang menunjukkan bahwa makna "adil" mereka berasal dari sesuatu yang tak ada di bumi yang fana dan sepele ini, sebab itu kekal dan dahsyat. Sebagian yang lain, terutama sejak abad ke-19, akan menandaskan bahwa mereka menyajikan sebuah makna "adil" yang ilmiah: sesuatu yang terbukti sahih dan, seperti titah Tuhan, tak bisa ditangkis.
Tapi tangkis-menangkis terus terjadi. Manusia tak pernah sendiri. Kian kompleks kebersamaan, kian rumit pula cara mengatur agar konflik dan kompetisi itu tak terus-menerus destruktif. Sebab, sejarah mencatat begitu banyak pembantaian tatkala pertikaian meledak di sekitar apa yang adil dan yang tidak?tema yang lebih tua ketimbang Musa, lebih muda ketimbang Taliban.
Mungkin karena itu, berangsur-angsur, dalam sejarah, makna "adil" yang misterius itu pun disederhanakan. Ia dibuat berketentuan. Orang menyebutnya sebagai "hukum". Dengan itu keadilan hadir sebagai sesuatu yang tak menghendaki misteri, dan misteri tampak sebagai yang mengancam keadilan. Di Inggris, Edmund Burke merumuskannya dengan sebuah pertanyaan retorik pertengahan abad ke-18: "Tak dapatkah saya katakan? tentang hukum manusia, bahwa di mana misteri bermula, keadilan berakhir?"
Demikianlah, misteri surut, dan peradaban lahir. Ia lahir bersama terbentuknya hukum sebagai lembaga yang disepakati dan dihormati. Ketika membahas terjemahan buku Robert Heffner, Civil Islam, dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki pekan lalu, Nurcholish Madjid menyebut salah satu pembuka peradaban seperti itu adalah Musa, pendahulu Muhammad. Kepada puak-puak Bani Israel yang berpindah dari gurun satu ke gurun lain yang gersang, dalam alam yang membangkitkan gentar kepada yang gaib dan tak pasti, Musa memperkenalkan 10 Perintah Allah: 10 kalimat imperatif yang ringkas dan tegas. Bersama itu ada sebuah pusat. Ia bisa berupa Tabut, dan dalam tradisi Islam ia berupa Ka'bah.
Pusat meniscayakan tempat. Nurcholish dengan jernih menunjukkan bahwa kata "civil", yang di dalam bahasa Indonesia kini disebut "madani", berkaitan erat dengan "madinah", yang dekat maknanya dengan "negeri". Dengan kata lain, telah lahir sebuah tempat menetap bagi bangsa Ibrani ataupun Arab, dua kaum yang namanya mengandung akar kata "a-b-r", dua kaum yang bermula dari hidup mengembara. Dan dengan terwujudnya madinah itu, apa yang "adil" pun diterjemahkan dalam aturan, lembaga, prosedur. Keadilan tak ditentukan sekadar dengan mencabut pedang dan menuntut balas "satu mata untuk satu mata, sepotong gigi untuk sepotong gigi".
Tapi bukannya tanpa persoalan. Ketika lahir sebuah madinah, ketika digantikan keadilan sebagai misteri menjadi keadilan sebagai hukum, kita tahu bahwa negeri memang memerlukan tertib. Maka hukum pun memerlukan kitab, dan kitab adalah sebundel kata-kata yang berakhir dengan ditutup. Di sini berperan apa yang pasti dan yang praktis: masyarakat pun masuk dari taraf imajiner ke dalam taraf simbolis. Begitu pula cara tafsir orang akan firman. Kata "syariah" itu sendiri, misalnya. Nurcholish Madjid kembali mengingatkan bahwa "syariah" sebenarnya berarti "jalan". Kata ini lebih luas maknanya ketimbang hanya seperangkat aturan yang, misalnya, memotong tangan si pencuri. Ketika "syariah" direduksikan menjadi hanya undang-undang yang dihafal dari kaji lama, "jalan" itu tak dianggap sebagai jalan lagi. Umat Islam, kata Nurcholish, menjadi mandek ketika di jalan itu mereka memperlakukan garis depan perbatasan penjelajahan, frontier, sebagai batas atau limit. Dengan kata lain, eksplorasi itu pun berhenti.
Tapi penjelajahan itu berhenti bukan tanpa sebab. Selalu ada kehendak lumrah sebuah masyarakat untuk jeda, mungkin sejenak, mungkin karena gentar, buat berkonsolidasi. Untuk membangun kesatupaduan di saat seperti itu, faktor kekuasaan pun bermain. Bisa saja kontrol itu diterima orang ramai, bahkan sering dengan keyakinan bahwa yang mengikat bukanlah sesuatu yang kontraktual?yang terbit dari proses kesepakatan dalam sebuah perjanjian?melainkan sesuatu yang transendental. Demikian itulah memang "syariah" dalam arti sempit itu ditawarkan. Persoalan abad ke-21 adalah bahwa agama-agama tetap punya khazanah yang bisa meyakinkan untuk itu. Mungkin karena manusia membutuhkan, meskipun tak kunjung mendapatkan, seutas tali sebagai tambatan untuk membangun sebuah konsensus yang jujur, sebuah persetujuan yang tabah: sebuah "fiksi" sekalipun, kata Habermas?mungkin sebuah utopia.
Tapi kenapa tidak? Begitu sering manusia bermufakat karena ada yang tak bisa bilang "tidak" kepada yang kuat. Yang mencemaskan ialah bila yang kuat membawa sebuah ilusi sebagai yang abadi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini