Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG sore, kesibukan terlihat di sebuah titik penggalian konstruksi MRT Jakarta tak jauh dari perempatan Stasiun Jakarta Kota. Dari atas, arkeolog senior Junus Satrio terlihat memberikan instruksi kepada para pekerja di bagian bawah lubang galian. Sesekali ia hanya mengacungkan jempolnya tanda setuju. Setelahnya, para pekerja di bawah mengukur, melihat, dan mencatat perubahan pergerakan bongkahan situs yang terlihat retak itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lubang galian besar, sebongkah dinding bangunan dari bata berukuran 3 x 2 meter dipasangi pipa-pipa besi di sisi kiri dan kanan. Di bawah, sebuah pelat baja mengalasinya. Sebuah crane berkapasitas kira-kira 20 ton dan sebuah backhoe bersiaga. Mereka tengah menguji coba pengangkatan situs. Hampir empat jam Junus berkutat di sana memandu aktivitas penting itu. Tak kurang 20 orang terlibat dalam simulasi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Masih uji coba untuk melihat metodenya,” ujar Junus kepada Tempo di lokasi situs proyek mass rapid transit (MRT) di sekitar DWS 1 Glodok, Jakarta, Rabu, 5 Oktober lalu. Ia belum bisa memastikan waktu pengangkatan temuan situs-situs kuno dalam proyek MRT tahap kedua ini. Cuaca yang tak menentu dan jenis tanah yang lembek di sekitar situs menjadi tantangan sendiri.
Hampir sebulan lalu MRT mengumumkan temuan beberapa situs kuno di jalur penggalian MRT. Selain beragam artefak keramik dari berbagai era, ada bantalan kayu bekas trem. Yang paling menghebohkan adalah temuan sistem pengairan di Kota Batavia pada masa penjajahan Belanda. Tiga pipa berdiameter 30-an sentimeter ditemukan sepanjang 410 meter dari depan gerbang kawasan Pecinan, Glodok Pancoran, hingga perempatan jalan tak jauh dari Museum Bank Mandiri dan Stasiun Jakarta Kota. Saluran ini diperkirakan menuju air mancur di depan Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah.
Di titik penggalian di depan kawasan Pecinan ditemukan saluran lengkap dengan bongkahan water chamber berukuran sekitar 1 meter. Pipa itu terlihat sudah terpotong dari water chamber. Sebagian lain masih tertimbun bongkahan. Pipa itu terbuat dari terakota, sementara dinding water chamber tersusun dari bata kuning berukuran kecil. Di sekitar pipa terlihat struktur bata berwarna merah dengan ukuran lebih besar. Menurut Junus, bata-bata itu didatangkan dari Belanda dan negara Eropa lain. Material bata kuning ini mengandung silika yang kedap air.
Artefak yang ditemukan di proyek pembangunan jalur MRT Jakarta fase 2 CP-203 di kawasan Glodok, Jakarta Barat, 20 September 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Bagian bawah water chamber itu, Junus menerangkan, terlihat kuat karena ditopang terucuk-terucuk kayu jati. Beberapa terucuk sepanjang sekitar 4 meter yang ditemukan di sekitar lubang galian diangkat dan dibungkus dengan terpal biru. Sedangkan bata-bata merah yang terlepas dan utuh diidentifikasi dan disusun di dekat galian. Banyak terucuk yang berfungsi sebagai penahan bantaran sungai ditemukan di sekitar kawasan Harmoni-Jalan Gajah Mada.
Diduga saluran air kuno ini adalah saluran Belanda pada abad ke-17 yang digunakan untuk menyediakan air bersih bagi warga Kota Batavia saat itu. Bak water chamber ini, Junus menjelaskan, sepertinya sengaja dibikin kecil supaya daya alirnya kuat. Sebelum air sampai ke titik air mancur, ada bak kontrol untuk penyaring.
Bak kontrol selebar 80 sentimeter sedalam 100 sentimeter ini juga ditemukan tersambung dengan pipa di jalur penggalian yang terletak di antara titik galian di Glodok dan dekat Museum Bank Mandiri. Bak kontrol ini tersusun dari bata kuning. Panjangnya ke dasar bak 211 sentimeter setebal 40-45 sentimeter di sisi selatan dan 30-60 sentimeter di sisi utara. Junus mengatakan temuan pipa saluran air minum ini mengejutkan karena tidak banyak diketahui dan disebutkan dalam berbagai referensi.
Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta Silvia Halim menjelaskan, artefak dan saluran air kuno ini ditemukan ketika proyek disiapkan. Saat itu PT MRT menggelar investigasi lapangan untuk mengecek kondisi tanah dari berbagai lapisan, investigasi utilitas, dan investigasi arkeologi. Silvia mengatakan PT MRT melibatkan tim cagar budaya untuk mendapat arahan dalam studi historis dan tes kecepatan pada tahap perencanaan. “Karena di kawasan Kota Tua ada potensi ditemukan obyek cagar budaya di bawah tanah, kami lakukan tes speed untuk arkeologi,” ucap Silvia kepada Tempo, Rabu, 5 Oktober lalu.
Dalam investigasi itu, mereka menemukan berbagai macam artefak, dari keramik, porselen, dan obyek kecil lain hingga rel trem, yang sudah diprediksi lewat studi historis. Tapi mereka tak menduga saluran air ini ditemukan. “Karena tidak ada catatan ketika kami mulai menggali. Setelah ditemukan rel trem, ditemukan saluran air ini. Kami verifikasi dan laporkan,” tutur Silvia.
Ditemukannya saluran air ini, Silvia melanjutkan, tak membatalkan kelanjutan proyek. PT MRT telah melaporkan temuan kepada tim ahli cagar budaya dan merekalah yang merekomendasikan perlakuan terhadap artefak dan saluran ini. Terdapat beberapa macam perlakuan, antara lain cukup dicatat atau didokumentasikan lalu dimusnahkan, diselamatkan atau benar-benar diangkat dan ditempatkan di lokasi lain, dan yang paling ekstrem tidak boleh diapa-apakan. “Kalau kejadiannya yang pertama dan kedua, pembangunan bisa jalan. Kalau yang terakhir ini, kami harus melakukan penyesuaian terhadap desain,” ujarnya.
Menurut Silvia, hal serupa terjadi saat PT MRT menemukan tembok di ujung utara Stasiun Kota. Ketika mereka membuat lorong komuter untuk jalur keluar menuju Stasiun Kota, jalur yang seharusnya lurus berbelok ke kanan. Sejauh ini, kata Silvia, semua pihak, yakni tim cagar budaya, Dinas Kebudayaan DKI, Pemerintah Provinsi DKI, dan PT MRT, berkompromi mempertimbangkan sejarah dan pembangunan.
Junus berpendapat temuan saluran air dan artefak ini sangat penting dan berharga. Tapi proyek MRT pun begitu demi masa depan. Ia mengaku sempat sedih dan bimbang. Tapi situs masih bisa diselamatkan. Rencananya, sebagian saluran akan diangkat lebih dulu, yakni bagian ujung water chamber dan pipa (dua bongkahan kira-kira seberat 10 ton), lalu menyusul bak penyaring dan bongkahan di dekat Stasiun Bank Mandiri. “Mungkin nanti panjangnya 22 meter. Tidak mungkin pipa sepanjang ini diangkat semua, akan diletakkan di mana?” tuturnya.
Artefak yang ditemukan, Junus menambahkan, berasal dari abad ke-15 hingga ke-20 karena wilayah Glodok dulu adalah sungai sehingga memungkinkan segala macam benda tertimbun sedimentasi. Artefak berukuran kecil, seperti keramik, porselen, dan bejana, akan dipamerkan di Visitor Center Stasiun Beos dan Monumen Nasional. Sedangkan barang temuan besar seperti jalur trem dan bantalan kayu belum akan dipamerkan karena tercatat sebagai aset Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta. “Akan kami berikan kepada mereka, ditaruh di tempat penyimpanan mereka. Kesepakatan kami, jika proyek selesai, sebagian rel akan diambil untuk di-display,” kata Silvia.
Adapun temuan saluran air, Silvia melanjutkan, adalah milik Pemerintah Provinsi DKI. Pihaknya meminta arahan Dinas Kebudayaan guna menyimpan temuan ini untuk sementara. Jika proyek selesai, temuan tersebut akan dipamerkan bagi publik. Kepala Dinas Kebudayaan DKI Iwan Wardhana mengatakan pihaknya bersama PT MRT akan mengupayakan penyelamatan. Dinasnya memberikan asistensi dengan tim cagar budaya.
Arkeolog Junus Satrio Atmodjo di depan objek temuan galian proyek MRT, Jakarta, 5 Oktober 2022. TEMPO/MAGANG/Abdullah Syamil Iskandar
Sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, mengatakan karakteristik Jakarta yang punya banyak sungai mirip wilayah Belanda. Ketika datang, orang Belanda menemukan daerah yang serupa dengan daerah di negara asal mereka. Mereka pun memutuskan membangun kota kanal. Mereka mulai membangun kota secara bertahap. Awalnya mereka membangun kastil setelah menaklukkan Jayakarta pada 1619. Pembangunan diperkirakan selesai pada pertengahan abad ke-17. “Pada 1636 mungkin sudah tertutup semua,” ujar Bondan. Serangan dari Mataram pada 1628 dan 1629 membuat kongsi dagang Hindia Belanda (VOC) memprioritaskan pertahanan dan pembangunan tembok benteng.
Pembangunan benteng ini mengakibatkan terbentuknya dua kawasan, di dalam dan luar tembok (Ommelanden), yang sangat luas hingga wilayah Bogor. Belanda melakukan pembangunan di luar tembok di bidang pertanian dan perkebunan serta industri untuk menyuplai kehidupan kota (di dalam benteng). Menurut Bondan, lingkungan kemudian mulai rusak dan pada 1730 terjadi bencana ekologi. “Menurut Belanda itu malaria, tapi saya rasa bukan. Itu mungkin demam berdarah. Karena lingkungan kotor, air tidak mengalir,” ucapnya.
Karena itulah kemudian Belanda berupaya menyediakan air bersih bagi penduduk kota yang dialirkan ke pancuran dekat gedung Balai Kota Batavia atau Museum Sejarah. “Itu sebetulnya mengalirkan air dari daerah Pancoran di Glodok,” tutur sejarawan yang menekuni kajian mengenai pembahasan kelompok etnis dan pembangunan di sekitar Batavia pada zaman VOC (Ommelanden-daerah pedalaman) ini.
Menurut dia, sejarah Jakarta sangat panjang dengan banyak lapisan. Seharusnya temuan saluran air kuno dalam proyek MRT Jakarta ini tidak mengejutkan karena sejarah tersebut. Semestinya pemerintah DKI bisa melakukan riset sejarah yang lebih detail dengan mempelajari arsip dokumen Belanda. Apalagi saat ini arsip tinggalan Belanda masih cukup banyak, terutama dari periode VOC. “Jadi periode ini hampir 200 tahun, 1602-1799, itu koleksi dokumennya terbanyak di Arsip Nasional dibanding periode setelahnya,” kata Bondan.
PIKRI RAMADHAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo