ZAT
Naskah dan Sutradara: Putu Wijaya,
Produksi: Teater Mandiri.
DI bagian penutup, kelambu yang semula tergantung di atas
panggung prosenium itu diturunkan. Dan tersajilah dua dunia di
pentas Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki. Dunia di belakang
layar, seperti sebuah dunia kecil yang terselubung rahasia. Dan
dunia depan layar yang kita saksikan sehari-hari.
Dan tatkala sebuah benda mirip payung putih yang besar dan
terbalik itu meluncur perlahan dari atas, dan berhenti
menggantung di awang-awang panggung, tiba-tiba saja misteri
menyatukan dua dunia itu. Keheningan hadir. "Imaji alam semesta"
muncul, diiringi musik Vangelis yang berdengung mirip dalam
film Encounter of the Third Kind ketika orang dunia menyambut
pendaratan piring terbang.
Tontonan Zat, 23-30 Oktober, berakhir di situ. Dan penutup
itulah, agaknya, yang menjadikan pertunjukan Teater Mandiri kali
ini terasa "serius". Misi Putu Wijaya, 38 tahun, terasa lebih
jelas. Bukan saja dalam catatan pada folder, tapi juga dari
dialog para pemain sendiri. " . . . Sejumlah manusia yang merasa
mendapat panggilan suci untuk rnewakili manusia yang lain,
melakukan penebusan dosa agar dunia yang mereka rasa sudah
kelelap karena manusia sudah kehilangan keluhuran budi harus
diselamatkan," tulis Putu, panjang.
Dialog antara Tuan Muda dan tokoh Ibu dan tokoh Polisi, begitu
jernih mengalir, berbicara tentang perjuangan "menyelamatkan
dunia." Dan pesan sang raja lewat utusannya, menyampaikan
penghargaannya terhadap perjuangan tokoh Ibu yang berani
mengorbankan jiwa, sementara orang lain mencari selamat sendiri.
Ironisnya, sang raja yang tidak jadi menghukum tembak tokoh Ibu,
memerintahkan regu tembak menembak massa.
Pentas, mirip tempat pemujaan, memang bersuasana mistis. Apalagi
ada topeng-topeng yang ditancapi panah-panah kecil merah yang
ditempel di kain hitam di bagian depan samping panggung. Juga
boneka besar di atas, di sudut belakang kiri--sementara di sudut
belakang kanan diletakkan sebuah kerangkeng dan seseorang
meringkuk di sana. Semua itu masih didukung beberapa tokoh badut
(topeng-topeng mereka mirip topeng para badut Taman Impian Jaya
Ancol) yang tidak ngomong dan terus-menerus membayangi para
pemain. Mereka seperti bayang-bayang misteri hidup.
Sepintas lalu lalu-lintas dialog memang terdengar galak. Namun
sebenarnya tidak muncul dari semangat 'kesembronoan semata'
seperti yang sudah-sudah, dan daya humornya tak segar lagi.
Tokoh Bapak, misalnya, yang sebentarsebentar berteriak karena
giginya tanggal. Atau lebih-lebih "perkelahian abadi" antara si
babu dan suaminya, yang hampir tak pernah memancing tawa seperei
yang mungkin dimaksud. Mungkin karena faktor si pemain, tapi,
lebih mungkin karena konsep.
Dengan kata lain Zat (kata benda, berbeda dengan judul drama
Putu yang lalu-lalu) kurang mengkristal. Meski telah didukung
permainan yang baik dari Reny Wijaya, Ikranegara, Yanto Kribo,
Amien, Ade misalnya, kisah seperti terasa diperpanjang. Hingga
misteri Ibu yang "menyampaikan wahyu" tidak lagi menjadi tiang
pancang yang membuat orang terpaksa menunggu yang akan
dikatakannya tanpa merasa waktu mulur. Mungkin ini disebabkan
oleh perubahan sikap Ibu, yang scmula menolak memihak
kepentingan anak-anaknya menjadi merindukan anak-anaknya. Itu
terasa mencairkan misteri yang semula menyelubungi lakon ini.
Mungkin Putu, yang tidak menyukai penokohan hitam-putih, ingin
menampilkan sisi lain si Ibu: sesungguhnya ia tak rela
mengorbankan anak-anaknya. Atau, Putu ingin menyampaikan, bahwa
pilihan itu sebenarnya memang susah ditentukan: persis antara
"kepentingan umat sedunia" dan kesejahteraan anak-anak.
Putu kemudian memang tidak menghukum atau memuji. Dibiarkannya
kisah para tokoh tetap tidak terjawab. Sementara sesuatu yang
asing, payung putih terbalik itu, melayang turun, menyajikan
teka-teki abadi.
Adegan terakhir, sejak layar kelambu turun, yang melambangkan
pembakaran sang Ibu yang hendak "menebus dosa dunia," harus
dipuji. Dan inilah klimaks yang indah yang datangnya terasa
ditunda-tunda.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini