Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menimba sastra peranakan

Paris: association archipel, 1982 (seri: etudes insulindiennes-archipel) resensi oleh: myra sidharta. (bk)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LITERATURE IN MALAY BY THE CHINESE OF INDONESIA: A PROVISIONAL ANNOTATED BIBLIOG RAPHY. Penulis: Claudine Salmon, Penerbit: Association Archipel, Paris 1982. Seri: Etudes Insulindiennes--Archipel 3.588 halaman. CAUDINE Salmon cukup terkenal sebagai ahli kebudayaan peranakan Cina di Asia Tenggara, umumnya, dan di Indonesia khususnya. Puluhan karangan telah dihasilkannya mengenai macam-macam subyek di bidang ini termasuk buku mengenai wihara-wihara di Jakarta dan sekitarnya, The Chinese of Jakarta -- temples and communal life, yang ditulisnya bersama suaminya Denys Lombard. Dengan publikasinya yang terbaru ini, seperti dijelaskan pada prakata, ia menyatakan penyesalan terhadap kecenrungan ahli-ahli sastra Indonesia yang mengabaikan peranan bacaan peranakan Cina dalam Kesusastraan Modern Indonesia. Dengan ketekunan 14 tahun ia telah menemukan buku-buku ini dalam Jumlah cukup banyak: 3.005 buah, diterbitkan selama kurang lebih satu abad, mulai 1870 sampai 1960-an. Beberapa alasan dikemukakannya. Pertama, bacaan ini dianggap berasal dari masyarakat peranakan Cina, alias "asing". Dan kedua adalah alasan berhubung dengan arti kata literature (sastra). Sudah jelas Salmon mengambil arti yang luas iterature yang berarti "semua tulisan dalam prosa atau syair, terutama yang bersifat imajinatif atau kritis, tanpa memandang mutunya" (lihat Webster's New world dictionary of the American language, Cleveland 1957). la sendiri tahu akan dapat kritik, karena tidak memilih tulisan-tulisan yang bermutu saja. Mengenai alasan pertama ia punya pembelaan kuat. Salah satu keuntungan kebudayaan Indonesia ialah, semua pengaruh dari luar diterima dan dibaurkan di dalamnya. Dari penyelidikan sumbersumber ia beroleh data bahwa orangorang Cina yang datang ke Indonesia dan menetap di sini sejak abad XV, mula-mula jauh lebih terasimilasi. Misalnya, dalam Dong xi yang kao disebut bahwa pada abad XVII ada orang-orang Cina yang bekerja sebagai JUrU bahasa dan juru tulis di istana Sultan Banten. Dalam tulisan-tulisan lain disebut bahwa orang-orang Cina yang sudah menetap berabad-abad telah menyesuaikan diri dengan adat-kebiasaan pribumi, dan banyak yang masuk Islam. Masyarakat peranakan ini kemudian membentuk kebudayaannya sendiri Mendirikan masjid, seperti di Kerukut. Kebun Jeruk dan Tembora di Jakarta Yang perlu disebut, dalam hubungan dengan tulisan Salmon ini, adalah taman bacaan yang menyewakan buku-buku dalam tulisan Jawi (Arab-Melayu Red). Lembaga ini tersebar luas di Negara Cina sendiri -- dan di Indonesia justru ditemukan terutama di Jakarta dan Palembang, dua kota tempat masyarakat peranakan yang beragama Islam paling banyak terdapat. Waktu pada akhir abad XIX aksara Latin mulai menggantikan aksara Jawi, orang peranakan dengan cepat menyesuaikan diri. Banyak cerita digubah ke aksara Latin, dan surat-surat kabar mulai diterbitkan dalam bahasa Melayu. Rupanya buku pertama diterbitkan pada 1871: sebuah buku kecil, Sair kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi. Buku itu, masih tersimpan di perpustakaan Museum Jakarta, karena kulit depannya telah hilang tidak diketahui pengarangnya. Tetapi dengan analisa penggunaan kata-kata, Salmon menarik kesimpulan pengarangnya seorang peranakan. Setelah buku ini ia masih menemukan Syair Burung dan Syair. Siti Akbari oleh Lie Kim Hok. Penerbitan bacaan "Melayu Tionghoa" berkembang pesat, dan 1886-1910 tercatat 40 syair dan sejumlah besar terjemahan dari bahasa Cina maupun bahasa asing lain. Dengan berhasilnya revolusi kebudayaan Guo Min Dang, 1911, timbullah hubungan baru antara Cina dan rakyatnya dalam perantauan. Di samping itu pemerintah Belanda juga mengadakan perubahan politik. Hingga kaum per.lnakan terbai dua yang berorientasi ke Cina dan yang ke Belanda. Ini tercermin di bacaan mereka: di samping terjemahan dari bahasa Cina terdapat jumlah cukup besar terjemahan dari bahasa Barat. Sedang karangan asli banyak mengenai kurang baiknya pengaruh Barat terhadap kaum peranakan, terutama para wanitanya. Pada periode berikutnya, dari 1924 sampai 1942, nasionalisme kaum pribumi Indonesia menyebabkan masyarakat peranakan mendapat orientasi baru lagi apalagi dengan bertambabnya pemeluk Islam di antara mereka. Di Jawa Tengah dan Timur mereka mendirikan Partai Tionghoa Indonesia tahun 1932, dan dua tahun kemudian Persatoean Islam Tionghoa dibentuk. Perkembangan sastra peranakan mencapai puncaknya pada periode ini--dan terutama digalakkan oleh adanya seriseri penerbitan seperti 'tjerita roman', 'penghidoepan' dan sebagainya, yang tiap bulan menerbitkan sebuah novel asli maupun terjemahan. Belum lagi majalah-majalah. Di samping cerita dengan tema masyarakat peranakan, kita dapat juga melihat cerita mengenai masyarakat pribumi dan Belanda maupun mengenai pergaulan antara ketiga macam masyarakat ini dengan konsekuensinya. Bahkan cerita detektif dan petualangan, di samping sejumlah besar sandiwara. Sebagai seorang wanita Salmon menaruh banyak perhatian terhadap pengarang wanita. Dan menemukan beberapa yang sering menulis syair dan cerita pendek, bahkan cerita bersambung dan novel. Pada 1928 mereka menggabungkan diri dalam suatu persatuan yang menerbitkan sebuah majalah wanita. Tidak bertahan lama. Tetapi masih ada beberapa majalah lain yang diasuh wanita, seperti Doenia Isteri di Surabaya dan Istri yang diterbitkan Nyonya Tjoa Hin Hoey di Batavia. Dengan masuknya pemerintah Jepang, seluruh penerbitan dihentikan. Tetapi sesudah 1945 sastra peranakan dihidupkan kembali, meski tak pernah mencapai taraf sebelumnya. Tahun 60-an masyarakat peranakan sudah cukup terasimilasi, hingga tak punya bacaan khusus lagi kecuali cerita silat. Pada lampiran pertama Salmon membicarakan perkembangan usaha percetakan, penerbitan dan toko buku. Meski masih banyak dapat persoalan asal-usul usaha ini, ia berhasil membentangkan terutama tentang penerbitan buku yang rupanya sangat maju: buku diterbitkan sebagai seri-seri yang dikirim ke langganan di seluruh Indonesia. Menganalisa buku apa saja yang diterbitkan, ia sampai pada kesimpulan bahwa penerbitan ini juga berjasa dalam menyebarluaskan buku-buku pelajaran agama dan pendidikan moral, termasuk yang tradisional. Umpamanya saja Tan Khoen Swie menerbitkan banyak buku mengenai kebatinan Jawa. Bapak Soedarpo Sastrosatomo pernah memberitahukan kepada saya, ia mempelajari kitab-kitab klasik Jawa dari buku-buku terbitan Tan Khoen Swie, ayah pelukis dan pemotret Michael Tanzil. Pada lampiran berikutnya Salmonmembicarakan soal 'Bahasa Melayoe Tionghoa'. Tahun 934 bahasa ini sempat menjadi bahan polemik antara Parada Harahap dan Sutan Takdir Alisyahbana--mengenai tempat yang harus diberikan kepadanya dalam 'Bahasa Persatoean". BAGIAN kedua buku ini adalah bagian yang terbesar dan merupakan sebuah katalogus semua bacaan yang pernah diterbitkan. Koleksi pentingan disebutnya antara lain perpustakaan di Museum Pusat Jakarta, Universitas Kebangsaan Kuala Lumpur, koleksi Adji Damais di TIM dan koleksinya sendiri. Berkat penyelidikan intensif, Salmon berhasil memperoleh data biografis dari sejumlah besar pengarang. Tidak banyak orang tahu bahwa Soe Lie Piet, ayah kakak-beradik Arief Budiman dan Soe Hok Gie, juga pengarang produktif yang telah menerbitkan kurang lebih 40 buku -- termasuk novel, terjemahan dan sebuah petunjuk parawisata ke Bali. Sedang Njoo Cheong Seng, pengarang terkenal dari seri detektif Gagaklodra. sebenarnya pemain sandiwara dan mellulis sejumlah besar buku untuk diolah sebagai film, di mana istri pertamanya, Fifi Young, diberi peran utama. Perjalanannya ke negara-negara asing dengan klompok sandiwaranya memberi kesempatan menulis dengan latar belakang negara asing seperti India, Burma, Cina. Tapi ia juga menggubah sejumlh besar berita daerah seperti Tjinggalabi Aocah dari Irian dan Itanri Sani, cerita Bugis Rangkaian daftar ini diikuti daftar klrya anonim, seri-seri penerbitan (Pendekar Silat, Moestika Panorama dan sebagainya), syair-syair, sandiwara, terjemahan dari bahasa Cina, Barat, India lan asin lain. Sejumlah foto dari tokoh-tokoh terkenal, dan kulit muka buku-buku, berfungsi sebagai penutup. Meski telah berhasil menyelesaikan buku yang berbobot ini, Salmon menyerukan penyelidikan lebih lanjut. Karyanya telah membuktikan, penyelidikan tentang sastra tidak selalu harus dilakukan para ahli sastra saja Salmon sendiri sarjana hukum dan ekonomi. Untuk memperoleh keterangan yang ia butuhkan ia juga menggunakan metode yang sangat populer dewasa ini oral history, yaitu mewawancarai tokoh-tokoh yang hanyak tahu. Keterangan terbanyak ia dapat dari almarhum Tio le Soei dan Nio Joe Lan, dua tokoh yang tidak asing namanya di dunia surat kabar dan sastra. Kepada kenangan merekalah buku di dipersembahkan. Myra Sidharta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus