Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POTRET perempuan muda itu berjudul Amelia. Wajahnya tidak begitu jelas: separuh fokus, separuh lagi blur. Matanya yang bulat jadi miring. Hidungnya yang tinggi dan bangir justru menjadi kabur dan makin kabur, membuat bibirnya hanya tampak seperti bayangan hitam yang tak rata.
Perupa asal Bandung, Erik Pauhrizi, menaruh Amelia dalam seri Fragile Face Memory Series (2009). Semuanya ada 16 lukisan, dan enam pelat stainless steel karyanya yang dipamerkan di Vivi Yip Art Room, Warung Buncit, Jakarta, hingga 28 Maret nanti. Pauh, demikian pria 27 tahun ini biasa dipanggil, mengambil istilah dari bahasa Latin untuk judul pamerannya: Face Phantasmagoria.
Apa artinya? Situs freedictionary menyebutnya sebagai sekuen fantasi dari imaji-imaji yang asosiatif, seperti yang terlihat dalam mimpi atau demam. Dalam pengertian Pauh, wajah-wajah itu, yang jelas ataupun yang blur, adalah imaji yang muncul dalam pikiran kita saat sedang memikirkan orang tertentu. ”Bisa pacar lama, atau orang tua yang wafat, seperti saya,” kata Pauh, yang kehilangan ibunya dua tahun lalu.
Ketika berbicara tentang wajah, Pauh percaya, kita berbicara tentang identitas seseorang. Ingatan manusia terhadap manusia lain, ketika mendekati atau memahami orang lain, dimulai dari wajahnya. Wajah lebih representatif dari tubuh keseluruhan. Politik dan kekuasaan pun menggunakan banyak elemen wajah untuk operasionalisasi sehari-hari, mulai dari poster partai politik hingga mata uang. Kita ingat filsuf Emmanuel Levinas, misalnya, pernah mengatakan melalui wajah orang lain kita berjumpa dengan yang tak terhingga. Wajah adalah bagian tubuh yang langsung menampakkan diri ketika kita berhubungan dengan orang lain. Dari wajah orang lain kita bisa memaknakan suatu emosi yang terdalam.
Dan wajah-wajah dalam karya Pauh adalah wajah mereka yang dekat dengan dirinya. Sebagian besar adalah teman, atau setidaknya orang yang ia kenal baik, dan mengenalnya pula dengan baik. Pauh menghindar dari menggunakan wajah figur publik karena sudah sering digunakan seniman lain, tapi juga karena, ”Toh orang-orang itu tidak ada dalam hidup saya,” kata dia.
Jadilah sembilan lukisan lainnya dalam seri Fragile Face Memories itu berbicara tentang mereka yang personal dalam kehidupan Pauh. Selain Amelia (dua lukisan), ada Astrellita (dua lukisan), Tara (dua lukisan), Emirul, Sandra, Yogi, dan Maman. Semuanya dimulai dari foto cetak digital yang kemudian dilukis atau ditusir dengan cat minyak dalam kanvas berukuran 190x145 sentimeter. Inilah serial yang berbicara akan separuh imaji yang jelas, dan separuh imaji yang kabur.
Dan Pauh bertanya: bukankah sering kali pikiran kita tak mampu menampilkan bayangan secara utuh? Bahkan sering kali yang terjadi adalah kebalikan. Semakin emosional kita terhadap seseorang, tak jarang justru wajahnya menjadi semakin kabur ketika kita berkonsentrasi keras untuk mengingat-ingat. Tapi sebaliknya, kita bisa ingat wajah seseorang di masa lalu justru karena tak ada emosi yang menjadi muatan dalam ingatan. ”Kadang tampak, kadang tidak. Ingatan manusia tak mampu menghadirkannya utuh. Proses mengingatnya itu yang ingin saya abadikan,” kata dia.
Pauh membuat dua kategori seri. Selain Fragile Face Memories, kategori lainnya adalah Therefore I Disappear. Lihatlah wajah mereka: Sandra, Andro, KrisnaZico, Arya, dan Yogi dalam digital print di atas kanvas berukuran sama. Sementara Amelia dan sembilan lainnya sengaja ditampilkan separuh-separuh, untuk seri yang belakangan ini Pauh sengaja menampilkannya sungguh-sungguh kabur. Seolah yang tampak hanya seperti bayang-bayang yang kabur dan menghilang....
Dan Pauh juga mengajak pengunjung pameran untuk terlibat dalam imaji yang kabur itu. Pauh memasang enam pelat stainless steel dan memproyeksikan potret seseorang di dalamnya, masih dengan bayang-bayang yang kabur. Dengan pelat mengkilat yang berlaku bagai cermin itu, silakan Anda mendekat untuk melihat imaji Anda menguat, dan imaji sang model mengabur. ”Konsep awalnya adalah menghapus jejak orang lain untuk pada akhirnya menemukan diri sendiri,” kata Pauh.
Sedari awal pembuatan karyanya, Pauh selalu berkonsultasi dengan perupa seniornya di Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, Asmudjo J. Irianto. Asmudjo, yang kemudian menjadi kurator pameran, menyandingkan karya Pauh dengan karya perupa Prancis Christian Boltanski dan perupa Jerman Gerhard Richter.
”Karya Pauh mengingatkan kita pada karya-karya Christian Boltanski, yang juga hitam-putih, muram, dan membangkitkan memori,” Asmudjo menulis. Keduanya juga berbicara tentang konsep ”kehilangan”. Tapi, sementara Boltanski banyak bicara tentang kematian, menurut dia, wajah-wajah dalam karya Pauh lebih menimbulkan pertanyaan akan eksistensi dan non-eksistensi dan perpindahan antara keduanya.
Asmudjo menilai karya Pauh justru lebih mendekati karya Gerhard Richter, yang sering menggunakan teknik blur untuk memperkuat sisi personalnya. ”Dengan sendirinya sosok dalam karya Pauh merefleksikan pula memori khusus sang seniman yang tak dialami dan tak terbaca oleh pihak lain,” Asmudjo menulis.
Pauh mengatakan, setelah kehilangan ibunya, yang wafat pada 2006, ia sempat tak mampu berkarya beberapa saat. Ketika spirit kreativitasnya kembali, yang muncul adalah bayang-bayang wajah ibunda yang kadang muncul dan kadang mengabur dalam benak. Ia tak menyangkal bila pameran ini menjadi bagian dari upayanya bangkit dari rasa kehilangan yang dalam.
”Memang personal, tapi belum sepersonal sang Buddha, misalnya. Untuk sampai ke tahap tertinggi pengenalan diri, ia mengorbankan tubuhnya sendiri,” katanya agak filosofis. Ya, tentu saja metafora sang Buddha yang bagai lilin membakar dirinya untuk memberikan cahaya pada orang lain secara universal itu tidak cocok untuk menjadi pemandu memahami pameran ini. Pameran ini hanya berkisar pada ranah pergaulan pribadi Erik. ”Saya memasang potret teman-teman, tapi saya belum mampu menggunakan potret wajah saya sendiri, atau almarhumah Ibu,” kata dia.
Inilah sebuah pengalaman personal yang membuat karya Erik berbicara jujur. Erik tidak berpretensi menyajikan wajah yang memberikan efek kepada kita untuk berpikir tentang keadilan, kebenaran, tragisme sosial, humanisme, dan macam lainnya. Ia hanya menyajikan wajah teman-temannya, yang kita sama sekali tak kenal. Kita tak tahu apakah wajah temannya yang ditampilkannya itu menjadi lebih rupawan atau lebih buruk dari aslinya. Kita juga tak melihat wajah itu mengirim pesan tertentu. Antara wajah satu dan yang lain, bila kita tatap, semuanya cenderung diam, dengan bibir selalu terkatup. Mungkin di sinilah Pauh berusaha menyajikan kepada kita akan sebuah proses kehilangan yang terjadi pada diri setiap manusia. Bahwa wajah orang-orang yang kita cintai, kita kenal, kita temui sehari-hari, bisa timbul tenggelam tanpa ekspresi, dalam ingatan kita. Wajah-wajah itu tiba-tiba muncul, bisa menancap, menghantui, tiba-tiba hilang. Dan kenangan yang berkelebat itu kadang menyakitkan, kadang membahagiakan….
Kurie Suditomo, SJS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo