Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia seorang raja. Pada usia 18 tahun ia naik takhta. Kini usianya sudah 78 tahun, dan sudah 60 tahun ia duduk di atas takhta kerajaan itu, dan orang mencatat prestasinya yang mengesankan: dialah suara yang selalu didengar manakala negerinya terbelit konflik politik yang mahapelik. Ia, raja Thailand, Bhumibol Adulyadej atau Rama IX, kata orang, sosok yang memiliki wisdom.
Tapi malam itu, Kamis pekan lalu di Gedung Kesenian Jakarta, kita menyaksikan sosoknya yang lebih lengkap. Ia seorang komponis yang sudah menghasilkan 48 buah komposisi. Dan malam itu, Bangkok Symphony Orchestra—dipimpin oleh konduktor M.L. Usni Pramoj—hadir membawakan 16 komposisi yang diciptakan Bhumibol sepanjang 1946-1965.
Ada repertoar Alexandra, yang mengalir dalam tempo sedang. Komposisi yang diciptakan Bhumibol pada 1959 itu dipersembahkan kepada Putri Alexandra dari Kent, Inggris, yang berkunjung ke Thailand. Alexandra atau Paendin Kong Rau (Ibu Pertiwi) dalam Thai, sebuah nomor musik patriotik yang mengobarkan semangat nasionalisme Thailand. Kemudian, ada juga Blue Day atau Artit Up Saeng, musik yang berkembang dalam gaya Barok. Komposisi itu tercipta saat Bhumibol bertandang ke Davos, Swiss, pada 1948.
Yang juga cukup menarik adalah Old Fashioned Melody yang mengalir. Nomor yang meluncur dalam tempo lambat itu dibuka suara lengkingan flute lembut. Nomor ini seakan memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada flutis Worapon Kanweerayothin tampil solo. Hampir tiga menit tiupan flute mengalir sebelum akhirnya suara biola, cello, dan kontrabass bersekutu, mengiringi.
Konser memperingati 60 tahun Raja Bhumibol bertakhta itu ditutup dengan nomor Can’t You Ever See. Nomor penutup ini cukup istimewa, karena komposisi yang lahir pada 1955 itu merupakan satu-satunya karya sang raja yang dibalut dalam irama jazz.
Rakyat Thailand tahu persis betapa raja yang dicintai dan dekat dengan mereka itu seorang pemusik andal. Ia pintar bermain saksofon, piano, dan gitar. Pada masa mudanya, Bhumibol yang tinggal di Lausanne, Swiss, secara khusus belajar musik klasik. Dan belakangan ia juga melatih dirinya memainkan komposisi berirama jazz.
Memang, selain menciptakan komposisi-komposisi musik klasik, Bhumibol juga melahirkan berbagai karya dalam sentuhan pop dan jazz. Proses kreatifnya membuncah karena terilhami denyut kehidupan tanah airnya. Juga hasil perenungannya dalam pengembaraan ke sejumlah negara di Eropa.
Bhumibol juga menciptakan sebuah komposisi musik atas permohonan rakyat dan bawahannya. Misalnya, Royal Marines March. Komposisi itu diciptakan Bhumibol pada 1959 atas permohonan Komandan Marinir Thailand, Admiral Sanong Nisaluk, yang menyadari korpsnya belum punya lagu mars. Komposisi itu pertama kali dimainkan di Bangkok pada 5 Juli 1959, saat korps marinir Amerika Serikat berkunjung ke sana.
Dan malam itu, Royal Marines March menjadi nomor yang mengalir dalam warna berbeda: rancak dan bersemangat. Gesekan biola, cello, dan kontrabass, ditingkahi tiupan flute, french horn, klarinet, mengalir dalam irama musik bak derap para serdadu maju ke medan perang.
Yang jelas, aneka komposisi ciptaan Raja Bhumibol itu telah mendorong Akademi Musik, Drama, dan Tari, di Wina, Austria, memberikan penghargaan kepadanya. Raja yang bertakhta sejak 1946 itu dinilai berjasa membangun saling pengertian antara musik tradisional dari Timur dan Barat. Dan Bhumibol menjadi orang Asia pertama yang diangkat sebagai anggota kehormatan akademi itu.
Musik memang menjadi bagian penting dalam hidup Bhumibol. Musik bisa tampil sebagai ekspresi pribadi, pujian terhadap tanah air, bahkan bisa juga praktis seperti alat diplomasi.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo