Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya, Suciwati mengadu kepada dunia. Merasa Jakarta tak serius menuntaskan kematian suaminya, Suciwati meluncur ke New York, Jumat pekan ini. Di sana, dia akan bertemu Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dia juga akan berdiskusi dengan sejumlah anggota Kongres Amerika Serikat di Washington. Suciwati bertekad meminta kedua lembaga itu menekan Jakarta agar mencari pembunuh Munir, suaminya sekaligus pejuang hak asasi manusia. ”Harus diungkap tuntas hingga ke dalang-dalangnya,” Suciwati menegaskan.
Munir wafat secara misterius pada 7 September 2004 dalam pesawat GA-974 dalam perjalanan ke Amsterdam, Belanda. Diperkirakan nyawanya melayang di langit Hungaria. Di Belanda, jenazahnya diotopsi oleh The Netherlands Forensic Institute (NFI). Hasilnya: Munir tewas karena racun arsenik.
Dari pemeriksaan di laboratorium NFI diketahui, larutan arsenik dalam darah Munir melambung ke bilangan 3,1 miligram per liter. Padahal, ambang batas yang dapat ditenggang tubuh manusia cuma 1,7 miligram. Para dokter NFI juga mencatat, dalam lambung korban masih tersisa 465 miligram racun arsenik.
Hasil otopsi memperkirakan racun arsenik masuk ke tubuh Munir 90 menit sebelum gejala awal. Jika dihitung-hitung, racun itu masuk dalam perjalanan Jakarta-Singapura. Zat maut itu diduga disusupkan lewat minuman dan makanan yang disantap korban dalam penerbangan.
Polisi lalu menetapkan Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai tersangka pembunuhan. Polly adalah seorang pilot Garuda yang ikut terbang ke Singapura malam itu, 6 September 2004. Pada Desember 2005, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonisnya 14 tahun penjara. Para hakim itu menilai pria 45 tahun itu terbukti secara sah melakukan pembunuhan terencana terhadap Munir. Pollycarpus juga terbukti bersalah menggunakan surat palsu. Pengadilan Tinggi menguatkan putusan itu.
Rabu pekan lalu, Mahkamah Agung menganulir keputusan itu. Lembaga itu menilai Pollycarpus tidak terbukti secara sah membunuh Munir. Kesalahannya cuma satu: menggunakan surat palsu dan hukumannya cuma dua tahun.
Keluarga Pollycarpus yang berbahagia dengan putusan itu bergerak cepat. Selasa pekan ini, Yosepha Herawati Swandari bersama kuasa hukumnya mendatangi Markas Besar Kepolisian RI, meminta pembebasan bersyarat atas terdakwa. ”Dasar permohonan ini adalah karena Polly sudah menjalani masa tahanan selama 19 bulan atau lebih dari dua pertiga masa hukumannya,” kata Adnan Wirawan, kuasa hukum Pollycarpus. Permohonan ini ditolak polisi.
Suciwati dan para sahabat almarhum Munir juga bergerak cepat. Selain mengadu ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sejumlah kawan Munir mendesak pemerintah membentuk tim independen agar menyelidik ulang kasus ini. Tim independen itu diharapkan bisa mengungkapnya sampai tuntas, lengkap dengan dalangnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir lewat Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004.
Namun, tim ini sudah bermasalah sejak lahirnya. Semula, sejumlah anggota tim menduga mereka akan diberi wewenang sebagai penyelia polisi dalam mengungkap kasus. Ternyata keputusan Presiden cuma menugasi mereka membantu tim penyidik yang dibentuk kepolisian. ”Inilah yang memicu sejumlah anggota mengundurkan diri,” kata Asrmara Nababan, salah satu anggota tim.
Dengan wewenang amat terbatas itu, TPF tidak bisa berbuat banyak. ”Karena kedudukannya tidak kuat, sejumlah usulan TPF mudah ditolak polisi,” kata Usman Hamid, rekan Munir dan salah satu anggota tim. Tim Pencari Fakta berakhir masa tugasnya pada 23 Juni 2005.
Sesudah putusan Mahkamah Agung turun pekan lalu, Usman mengusulkan agar wewenang tim independen diperluas, yakni sebagai penyelia tim kepolisian. Dengan wewenang itu, tim independen bisa mengarahkan penyidikan tim kepolisian. Usman dan sejumlah bekas anggota TPF kini sibuk mendata hal-hal yang perlu ditelusuri lebih dalam oleh tim independen.
Yang paling krusial adalah akses untuk memeriksa sejumlah petinggi Badan Intelijen Negara (BIN). Penyidikan dianggap perlu karena dari hasil penyidikan TPF diketahui bahwa sebelum kematian Munir, Pollycarpus menelepon petinggi di kantor BIN. Pelacakan tim ini menemukan bahwa yang dihubungi Pollycarpus itu nomor telepon Mayor Jenderal (Purn.) Muchdi Purwoprandjono, Deputi V BIN kala itu.
Tim Pencari Fakta sudah dua kali memanggil Hendropriyono, Kepala BIN saat itu. Hendro menolak datang, tapi ia mengundang tim itu ke kantornya. ”Saya adalah rakyat biasa. Kalau perlu keterangan, ya, datangi rakyatnya,” kata Hendro ketika itu. Undangan itu ditampik Tim Pencari Fakta. ”Kami tidak akan menanggapi manuver itu,” kata Usman Hamid. Dua petinggi lembaga telik sandi itu, yaitu Muchdi dan Kolonel Bambang Irawan, juga menolak panggilan.
Dalam sebuah wawancara dengan Tempo, Muchdi membantah pernah berbicara dengan Pollycarpus lewat telepon. ”Bodoh sekali saya kalau nyuruh orang membunuh tapi setiap saat saya kontak terus. Apa saya sebodoh itu,” kata Muchdi.
Lalu siapa yang bertelepon-ria dengan Pollycarpus via pesawat telepon Muchdi? ”Itulah yang harus diselidiki tim independen,” kata Usman Hamid. Tim itu harus diberi wewenang memeriksa beberapa petinggi BIN, juga mendengar rekaman pembicaraan Pollycarpus dengan pejabat BIN.
Asmara Nababan, bekas anggota TPF, mengusulkan agar tim independen diberi akses guna memeriksa dokumen di BIN yang terkait pembunuhan Munir. ”Akses mendapatkan dokumen itu penting untuk mencari keterkaitan Pollycarpus dengan BIN,” katanya.
Sejumlah pejabat BIN tampaknya bakal menampik jika dipanggil lagi dalam kasus ini. Mahendradatta, kuasa hukum Muchdi, menegaskan, ”Kalau polisi tidak menunjukkan dasar hukumnya, ngapain harus datang?” Muchdi, kata Mahendradatta, diperiksa karena diduga melakukan kontak telepon dengan Pollycarpus. Namun, karena Pollycarpus tidak terbukti membunuh Munir, maka tidak ada dasarnya lagi memeriksa Muchdi.
Hal lain yang perlu dilakukan tim independen adalah memeriksa rekaman closed circuit television (CCTV) di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, dan Bandara Changi, Singapura. Pemeriksaan itu perlu dilakukan untuk mengetahui dengan siapa Munir bicara sebelum masuk pesawat. Informasi itu akan bermanfaat untuk menyisir siapa yang paling mungkin membunuh Munir.
Pemeriksaan CCTV itu juga perlu dilakukan untuk mengetahui siapa yang tidak masuk dalam manifest penumpang tapi ikut terbang dengan pesawat itu. Dalam pelacakannya, TPF menemukan adanya keganjilan soal jumlah penumpang. Dalam manifest tertulis jumlah penumpang kelas bisnis 14 orang. Faktanya, ada 15 orang.
Tim juga berhasil mengidentifikasi penumpang gelap itu dengan ciri-ciri sebagai berikut: berbadan atletis, umur kurang lebih 40 tahun, warga keturunan Tionghoa. Penumpang misterius itu duduk di kursi 01K dan turun di Singapura. Nah, TPF menduga pria misterius itu terlibat dalam kasus pembunuhan Munir. Karena itu, tim independen perlu memeriksa siapa penumpang misterius itu.
Rekonstruksi Tempat Kejadian Perkara tampaknya harus dilakukan lagi. Tujuannya, mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di sekitar Munir saat itu. Dulu TPF pernah meminta polisi melakukan rekonstruksi. Dan, rekonstruksi digelar oleh polisi tepat pada… hari TPF bubar: 23 Juni 2005. Polisi memang tidak berkewajiban memberi tahu lembaga itu soal rekonstruksi. Namun, ”Seharusnya kami diberi tahu,” protes Usman Hamid.
Usman Hamid mengusulkan agar rekonstruksi itu diulang oleh tim independen. Olah tempat kejadian perkara harus melibatkan sejumlah orang yang duduk di sekitar Munir dalam penerbangan menuju Singapura.
Apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan membentuk tim independen? Belum jelas. Suciwati dan kawan-kawan Munir akan menyampaikan usulan itu dalam pertemuan dengan Presiden yang direncanakan Jumat sebelum Suciwati terbang ke New York.
Namun, rencana itu batal. Pertemuan ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Padahal, dukungan Presiden amat diharapkan oleh kolega-kolega Munir. Seorang pejabat kepolisian yang pernah menjadi anggota TPF menegaskan, kasus Munir bukan cuma angin puting beliung, tapi tsunami besar. Jadi, ”Perlu kemauan politik Presiden untuk menuntaskannya,” ujarnya.
Wenseslaus Manggut, Abdul Manan, Wahyu Dyatmika, dan Eduardus Karel Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo