Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG cebol, kerdil, albino, juga orang-orang bongkok pernah dianggap memiliki kekuatan magis dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Mereka disebut abdi dalem Palawija atau abdi dalem cebolan. Dalam ritual-ritual tertentu, mereka sangat dibutuhkan. Khazanah Jawa—seperti tampak dalam dunia pewayangan—sangat memuliakan sosok Punakawan yang memiliki tubuh aneh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kalangan keraton, ada semacam kepercayaan bahwa doa yang dipanjatkan abdi dalem cebolan lebih mudah dikabulkan Ilahi. Misalnya ketika Pangeran Diponegoro pada 1829 mengembara di hutan-hutan wilayah Bagelen untuk menghindari kejaran serdadu Belanda dengan didampingi abdi cebol bernama Banteng Wareng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya di era Mataram, kalangan difabel sebagai penasihat spiritual atau abdi setia juga dikenal jauh sebelumnya pada masa Hindu-Buddha. Relief Candi Singosari dan Majapahit banyak menampilkan karakter bertubuh pendek dan gempal yang tak proporsional. Khazanah kesusastraan mistik Jawa, seperti kakawin dan suluk, juga sering menyinggung sosok cebol. Suluk Wujil, karya tasawuf Sunan Bonang, misalnya, berkisah tentang orang cebol bernama Wujil, abdi kesayangan raja di Majalangu yang mencari rahasia ajaran penyatuan manusia dan Ilahi.
Bahwa orang cebol mendapat tempat spesifik dalam alam pemikiran Jawa, itulah yang hendak disajikan komunitas Jogja Disability Arts (DJA). Lihatlah ruang pamerannya di Jogja National Museum yang dipenuhi gambar sosok “difabel” dari khazanah mitologi dan sejarah Jawa, seperti Bancak-Doyok, Sabda Palon-Naya Genggong, Wujil, dan Banteng Wareng.
DJA beranggotakan beragam penyandang disabilitas, dari daksa, rungu, hingga netra, yang memiliki minat terhadap seni rupa dan musik. “Ternyata difabel sudah dikenal, bahkan punya status dalam masyarakat sejak zaman Jenggala-Singosari,” kata Ketua DJA Sukri Budi Dharma. Dia mengatakan, dalam khazanah literasi Panji, misalnya, dikenal Pangeran Jenggala, Raden Panji Inu Kertapati, memiliki penasihat cebol. “Kalau (difabel) enggak (punya peran) penting, enggak mungkin digambarkan di relief candi, kan?” ucapnya.
Karya perupa Iwan Yusuf Rumah dalam Rumah Farida dalam Artjog 2022 di Jogja National Museum, Jogkarta, Juli 2022. Dok. Artjog
Artjog dengan tema “Arts in Common-Expanding Awareness” pada tahun ini menyentuh kalangan difabel. Bambang “Toko” Witjaksono, kurator Artjog, mengatakan Artjog 2022 dikemas lebih inklusif, memberi kesempatan kepada seniman difabel dari beragam gender dan anak-anak yang selama ini terabaikan dalam seni rupa kontemporer. “Selama ini Artjog dianggap eksklusif. Kami ingin inklusif,” tutur Bambang. Sebanyak 61 seniman dan komunitas terlibat, kebanyakan seniman muda berusia 20-30-an tahun. Dari sekian peserta, hanya Nunung WS, Ivan Sagito, dan Jay Subyakto yang terlihat dari generasi gaek.
Memang tidak semua peserta mengolah isu difabel. Karya perupa Iwan Yusuf salah satu yang paling cocok dengan tema “Expanding Awareness”. Nama perupa asal Gorontalo tersebut akhir-akhir ini melejit karena ia membuat replika relief “misterius” di Sarinah, Jakarta, dengan medium jaring. Kini ia membuat sebentuk rumah beserta perabotnya dengan jaring hitam. Ukurannya 3 x 6 meter. Judulnya Rumah dalam Rumah Farida. Ia mengangkat kisah salah satu anggota keluarganya yang bisu-tuli sejak lahir.
“Bibi saya, Farida Yusuf, umurnya 51 tahun, bisu-tuli sejak lahir. Ia tinggal di Desa Bongo, Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo,” ujar Iwan. Iwan bercerita, sampai 1980-an, desa itu tidak punya akses. Koneksi antardesa sulit. Terpencilnya lokasi desa menyebabkan banyak perkawinan sedarah. Itu yang menyebabkan banyak penduduk terlahir tunarungu. “Populasi tunarungu di sana banyak.
Orang tua bibi saya menikah dengan sepupunya. Dia punya delapan anak, tiga tunarungu,” kata Iwan. Farida, Iwan menuturkan, jarang ke luar rumah. “Bibi saya merasa nyaman di dalam rumah. Dia tidak bersekolah, tidak bisa baca-tulis, tapi terlihat tak pernah stres.” Di ruang pameran, Iwan juga memasang video kehidupan sehari-hari Farida. “Saat membuat video tersebut, dia saya ajak ke kota. Tiba-tiba air mukanya kelihatan bahagia. Dia dandan dan menggunakan lipstik,” ucap Iwan.
Meet artist di tengah karya kolaborasi perupa scanography Angki Purbandono dan penyair Alex Abbad berjudul "Catatan Pinggir Jurang" yang dipamerkan dalam Artjog 2022 di JNM, 14 Juli 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Tema resiliensi terhadap pandemi juga masih digarap dalam pameran yang berlangsung sampai 4 September 2022 di Jogja National Museum ini. Christine Ay Tjoe, misalnya, menampilkan instalasi sesosok binatang besar tanpa muka. Terlihat kaki-kakinya yang pendek. Kulitnya seperti terkelupas. Sepintas wujudnya bak bongkahan batu besar. Ay Tjoe mengambil inspirasi dari wujud tardigrada, hewan air mikroskopis (0,5 milimeter) yang mampu menangguhkan metabolismenya ketika situasi lingkungan tidak memungkinkannya untuk hidup.
Tardigrada, menurut Ay Tjoe, dapat mengalami kriptobiosis selama hampir sepuluh tahun. Kemampuan adaptasi tardigrada memungkinkannya bertahan dalam kondisi suhu, tekanan udara, dan tingkat kelembapan ekstrem. Dia disebut sebagai makhluk yang paling kuat dan resilien di muka bumi. Instalasi garapan Ay Tjoe adalah versi besar hewan mikroskopis itu.
Di ujung barat lantai satu Jogja National Museum, Angki Purbandono serta aktor dan penyair Alex Abbad menciptakan instalasi perosotan. Para pengunjung dipersilakan masuk ke ruangan. Mula-mula pengunjung harus mendaki tumpukan bantal yang jalurnya dibuat melingkar. Setelah badan meluncur dari perosotan, ada tumpukan bantal dan kasur empuk yang menahan saat mendarat. Dinding-dinding juga ditutup bantal untuk menjaga agar tak ada pengunjung yang terbentur dan terluka dalam permainan. Lewat papan perosotan dan bantal, Angki dan Alex ingin berbagi pengalaman buruk saat terpuruk dan jatuh. Setidaknya hal itu terlukis dari respons Angki yang membuat beberapa sarung bantal bergambar kembang, pistol mainan, mobil, dan beraneka rupa benda lain. Tumpukan bantal itu juga dijejali kertas-kertas puisi Alex.
Beberapa karya kuat meski tidak berbicara tentang difabel ataupun pandemi. Karya Rizka Azizah Hayati misalnya. Perupa 26 tahun itu menyajikan instalasi tulang yang mengimajikan kerangka utuh buaya besar. Tulang-tulang itu ditaruh di atas kain putih. Dua tengkorak buaya ditaruh di sampingnya. Rizka bertolak dari kepercayaan mistis di kampung halamannya di Martapura, Kalimantan Selatan, tentang adanya buaya gaib di Sungai Martapura yang harus dirawat. Buaya gaib itu dipercaya masyarakat lokal sebagai pelindung dan tiap tahun ada upacara pemberian sajen.
Karya perupa Christine Ay Tjoe yang berjudul "Personal Denominator" yang dipamerkan dalam gelaran Artjog 2022 di Jogja National Museum, 17 Juli 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Yang juga menyodok perhatian adalah karya yang mengangkat tema toleransi. Alfiah Rahdini menampilkan karya patung fiber seukuran manusia yang mengambil inspirasi dari manga Sailor Moon. Patung itu menunjukkan sesosok perempuan cantik berjilbab cokelat modis dengan aksesori bulatan. Satu tangannya diangkat dan satu lainnya berkacak pinggang. Ia mengenakan rok hijau panjang. Kemejanya keren. Ada pita merah kupu-kupu besar dan sepatu kulit cokelat. Patung yang dinamai Sailor Moonah ini sudah dipajang Alfiah di berbagai titik di Bandung. Alfiah ingin mengecek bagaimana respons publik terhadap patung yang menampilkan seorang muslimah yang mengenakan paduan jilbab dan kostum cosplay anime Jepang.
Problem toleransi juga dihadirkan seniman transgender Tamarra. Tamarra dikenal giat memperjuangkan kesetaraan bagi transgender. Karyanya sering berkaitan dengan persekusi masyarakat terhadap dunia waria. Dalam karyanya kali ini, ia menampilkan maneken berpostur bocah yang nyaris tak tampak sosoknya di tengah ruangan. Tubuhnya dibebat rajutan kain dari ujung kepala hingga menyapu lantai. Lengan kanannya dibalut kain bertumpuk berwarna-warni. Lengan kirinya ditutup kain putih berlapis-lapis. Gaun birunya menjuntai menutup ujung kaki yang berdiri di atas lembaran kain yang membentuk ombak di lantai. Merah, kuning, hijau, biru, putih, hitam, cokelat. Seperti gunungan.
Sementara itu, di ruang gelap tersebut berpendar cahaya dari 12 monitor yang dipasang berkeliling pada tembok-tembok. Monitor itu menampilkan video pendek tentang berbagai aksi Tamarra, dari menari di tepi pantai, mengenakan pakaian pengantin laki-laki adat Jawa, berbeskap hitam, berjarit, mengenakan topi makuto, melakukan performance art di pasar, hingga melakukan ritual dengan memeluk kendi hitam. Tamarra memberi judul karyanya Tantular yang mengingatkan pada nama empu yang melahirkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Judul itu menjadi sindiran atas problem transgender yang mengalami diskriminasi, persekusi, juga eksekusi oleh masyarakat.
“Expanding Awareness” berusaha merambah ke wilayah-wilayah yang tak terduga dalam seni rupa. Tentunya masih banyak terra incognita selain dunia difabel dan transgender. Sesuatu yang bisa diekspor lebih intens dan lebih tematik dalam Artjog ke depan.
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo