Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERTAS-KERTAS dan kanvas itu menampilkan berbagai pola titik-titik. Ada sebidang kanvas dengan dasar warna cokelat penuh riak bulatan putih, sementara kanvas lain berdasar warna putih menampilkan bulatan-bulatan besar-kecil beraneka warna dengan seluruh bidang bulatan diberi totol-totol kecil. Pola-pola tersebut dibuat oleh enam anak berkebutuhan khusus. Anak-anak yang antara lain menyandang tunagrahita ringan, sindrom Down, dan autisme itu menyajikan karya mereka di Bentara Budaya Yogyakarta selama 18-24 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betapapun bertolak dari dot atau titik, tidak ada karya yang berbentuk sama antara satu anak dan yang lain. Ada buatan-bulatan yang ditata sejajar menyerupai barik-barik. Ada yang membentuk rangkaian gelombang. Ada yang semburat tak beraturan. Ada yang melingkar-lingkar mirip obat nyamuk. Ada yang seperti kerumunan semut. Ada yang seperti ratusan manik-manik hitam bertaburan di lantai. Ada pula yang acak, chaos, tapi menyiratkan elemen lengkung kurva dan garis. Warna dasar kanvas yang berlainan—biru, merah, oranye—membuat karya itu cukup menyedot pandangan mata meski sederhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam anak berkebutuhan khusus tersebut tergabung dalam komunitas Para Rupa Yogyakarta. Mereka adalah Muhammad Irsyad Hadyan (penyandang tunagrahita ringan, 18 tahun); Syifa Maulida Basuki (penyandang sindrom Down, baru tamat taman kanak-kanak); Nadya Annisa Raharjo (autis, 21 tahun); Indhira Larasati (penyandang tunagrahita sedang, tamatan sekolah luar biasa); Mathea Lintang Joy Adwedaputri (penyandang sindrom Down, 19 tahun); dan Kireina Jud Aisyah (penyandang sindrom Down, kelas V sekolah luar biasa). Ditemani orang tua masing-masing, pameran ini mengambil momentum Artjog 2022 yang memberi ruang kepada komunitas difabel.
Karya seni dari Para Rupa Yogyakarta, di Bentara Budaya Yogyakarta, Juli 2022. TEMPO/Seno Joko Suyono
“Kami dibimbing oleh Pak Moel,” kata Tutik Hermiastuti, ibunda Muhammad Irsyad. Pak Moel yang disebut Tutik adalah Moelyono, yang dalam belantika seni rupa dikenal pernah melakukan gerakan seni rupa penyadaran bersama anak-anak di Tulungagung, Jawa Timur. Moelyono, yang sehari-hari tinggal di Tulungagung, peduli akan upaya membuat anak-anak peka terhadap lingkungan sekitar melalui medium seni rupa.
“Kami mengenal Pak Moel sejak 2019,” ucap Tutik. Ia berkisah, saat itu Moelyono datang ke Yogyakarta dari Tulungagung. “Pak Moel terpanggil untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus yang tergabung dalam Kelompok Perspektif.” Menurut Dyah Ruwiyati, ibunda Nadya Annisa, anggota Kelompok Perspektif mulanya cukup banyak, tapi lalu yang intens berpartisipasi enam keluarga. “Pak Moel bilang keluarga harus terlibat aktif,’ tutur Dyah. Di bawah bimbingan dan arahan Moelyono, para orang tua menyusun semacam proses dan tahap latihan. Latihan bersama dilakukan bergantian dari rumah ke rumah.
“Anak-anak tunagrahita tak bisa melukis pohon, manusia, atau lainnya. Kecerdasan mereka agak lambat,” kata Tutik. Moelyono lalu memberikan arahan agar anak-anak bermain-main dengan titik dan garis. “Ternyata anak-anak bisa mengeksplorasi titik-titik,” Tutik menambahkan. Lantas disusunlah latihan dengan teknik sederhana yang bisa dilakukan anak-anak. “Mula-mula anak-anak memakai jari menotol-notolkan cat air ke kertas, mereka suka sekali,” ucap Dyah. Setelah menggunakan jari, mereka diajak memakai bulatan-bulatan kapas yang dicelupkan ke cat air. “Juga kanvas dikasih terpentin atau warna dasar dulu, lalu anak-anak menempel-nempelkan jarinya yang sudah dicelup cat. Anak-anak menemukan keasyikan dengan jarinya,” ujar Dyah. Karena pentingnya titik itulah pameran ini diberi judul “Pameran Seni Rupa Holistik: Dari Titik ke Penguatan Keluarga”.
Setelah pemakaian jari dan kapas, barulah Moelyono meningkatkan latihan dengan penggunaan kuas. “Anak-anak bisa bermain-main dengan ujung kuas,” kata Dyah. Dalam proses latihan, para orang tua juga aktif mencari bahan yang mungkin bisa digunakan dengan mudah oleh anak-anak. “Bahan yang sederhana tidak mahal,” ucap Tutik. Suatu kali, misalnya, saat hendak memasang lantai keramik, Uki, bapak Syifa Maulida, memiliki ide nat semen penyambung keramik dijadikan bulatan-bulatan kecil. Bulatan-bulatan semen itu lalu diberi warna-warna dan diberikan kepada anak-anak. Ternyata anak-anak suka. Mereka membuat pola dari bulatan semen berwarna-warni dengan cara menempel-nempelkannya ke kanvas atau bidang lain. Bahkan mereka melakukan kerja kolaborasi saat menempel-nempelkan bulatan semen berwarna-warni.
Karya seni dari Para Rupa Yogyakarta, di Bentara Budaya Yogyakarta, Juli 2022. TEMPO/Seno Joko Suyono
“Setiap perkembangan kami laporkan ke Pak Moel,” ujar Dyah. Sebelum pandemi Covid-19 menerjang, Moelyono sering datang ke Yogyakarta. Adapun selama masa pandemi diskusi orang tua dengan Moelyono rutin digelar melalui aplikasi Zoom. “Biasanya, setelah kami memperlihatkan hasil karya anak-anak, Pak Moel akan ngarahin. Mana yang kurang, mana yang bisa dikembangkan lagi,” tutur Dyah. Dia mengungkapkan, satu karya diselesaikan secara tidak menentu oleh anak-anak. “Mereka moody. Ada sebuah karya yang diselesaikan berbulan-bulan, ada yang cuma sehari.”
Kurator Riksa Afiaty menyebutkan metode konseling Moelyono bagi anak-anak berkebutuhan khusus tidak linier. “Menurut Pak Moel, tahap terapi dan konseling tidak selalu berjalan linier, tapi dialektis berdasarkan perkembangan visual, bahan, alat, teknis, rasa artistik anak-anak berkebutuhan khusus,” tulisnya dalam catatan kuratorial. Para orang tua mengakui efek latihan menggambar di bawah bimbingan Moelyono ini bagus. “Mereka bisa berkonsentrasi. Syifa Maulida, misalnya. Dia yang paling kecil, masih TK. Dia biasanya lari-lari ke mana-mana, tiba-tiba saat menggambar bisa tenang dan diam, konsentrasi,” kata Dyah. Diakui Dyah, “Ini semacam terapi bagi anak-anak.”
Pameran ini sangat sederhana, tapi entah bagaimana karya-karya yang disajikan mengingatkan saya pada karya perupa avant-garde Jepang, Yayoi Kusama. Dalam seni rupa kontemporer, Yayoi dikenal banyak menampilkan gambar berupa dot atau totol-totol merah, hitam, dan sebagainya. Totol-totol itu tidak hanya dipasang Yayoi pada kanvas, tapi juga pada dinding, seprai, kain yang dibelitkan pohon, bahkan meluber ke lantai atau atap ruangan. Dot-dot yang dibuat Yayoi terkesan magis, seperti memiliki jiwa. Yayoi dikenal sebagai seniman yang agak mengalami kekacauan mental. Ia sering masuk klinik rehabilitasi. Dari pameran para anak-anak berkebutuhan khusus di bawah bimbingan Moelyono di Bentara Budaya Yogyakarta ini, kita menjadi tahu, ternyata dot, totol-totol, memiliki daya healing.
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo