Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tamansiswa, Persahabatan Sudjojono-Sindhusiswara

Pameran “Hiduplah Semulianya” menampilkan lukisan perupa yang berkecimpung di Tamansiswa. Langka dan belum ada di buku.

23 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lukisan reporduksi bergambar Sindhusiswara berjudul Figur karya Sudjojono, dalam pameran Hiduplah Semulianya, di kampus Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, 18 Juli 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKISAN reproduksi bertarikh 1939 yang menampilkan figur lelaki bermimik serius mengenakan jas putih berdasi itu menghiasi gedung Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa di Yogyakarta. Pria dalam lukisan itu adalah Sindhusiswara, pengajar Perguruan Tamansiswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara pada 3 Juli 1922.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya itu adalah ciptaan maestro seni rupa modern Indonesia, Sudjojono. Sindhusiswara dan Sudjojono bersahabat dekat dan sama-sama aktif di Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Lukisan itu bisa dibilang langka dan baru pertama kali ditampilkan dalam pameran sebagai bagian dari peringatan seabad usia Tamansiswa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran lukisan bertema “Hiduplah Semulianya” yang menampilkan 43 lukisan itu berlangsung pada 15-22 Juli 2022 di kampus Sarjanawiyata Tamansiswa. Selain menampilkan karya Sudjojono, panitia memamerkan karya Affandi, Bagong Kussudiardja, Lian Sahar, Widayat, Nasjah Djamin, Amri Yahya, Gambiranom, Tino Sidin, Djoko Pekik, dan Nasirun.

Ketua panitia pameran lukisan, Syahnagra Ismail, harus berkeliling menemui keluarga para maestro untuk meminjam lukisan-lukisan itu dalam waktu yang singkat karena persiapan pameran tidak sampai dua bulan. Syahnagra berjumpa dengan Kartika Affandi, anak Affandi, untuk meminjam sketsa yang dibuat ayahnya saat tinggal di Tamansiswa. Selain itu, dia bertemu dengan istri Lian Sahar, Santi.

Syahnagra juga meminjam lukisan Nasjah Djamin melalui anaknya, Laila Tifah. “Saya datang ke rumah-rumah mereka yang saya kenal baik,” kata Syahnagra di kampus Sarjanawiyata Tamansiswa, Senin, 18 Juli lalu. Sebanyak 30 karya dipinjam dari keluarga para maestro dari total 43 lukisan yang dipajang. Syahnagra menyebutkan tidak semua lukisan yang ia pinjam asli karena beberapa karya yang asli ringkih.

Dia mencontohkan, lukisan berjudul Figur karya Sudjojono berukuran 42 x 34 sentimeter berbahan cat minyak di atas kanvas yang menggambarkan figur Sindhusiswara ia reproduksi dengan melihat foto yang oleh Punto Widhaksono, anak kedua Sindhusiswara, dikirim dari Jakarta.

Punto menyebutkan lukisan yang dibubuhi keterangan nama Sudjojono, tahun 1939, dan Jakarta itu ia simpan di rumahnya di Jakarta. Lukisan itu tidak dikirim ke Yogyakarta karena gampang rusak. Punto menjelaskan, ayahnya menyimpan lukisan pemberian Sudjojono yang hampir punah itu di rumahnya di Yogyakarta. Sindhusiswara mewariskan lukisan itu kepada Punto. Menurut dia, ayahnya dekat dengan Sudjojono dan aktif berkesenian di Persagi.

Reproduksi sketsa karya Affandi dalam pameran bertajuk Hiduplah Semulianya di kampus Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, 18 Juli 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Kepada Punto, Sindhusiswara bercerita bahwa mereka berdua sering berkumpul dengan anggota Persagi lain di kantor Persagi di kawasan perempatan Bioskop Permata, Jalan Sultan Agung, Gunungketur, Pakualaman, Yogyakarta. Mereka membuat karya seni di rumah kecil di sebelah selatan bioskop itu. “Sering membuat gambar dan sketsa menentang pemerintah Belanda,” tutur Punto.

Selain memajang lukisan figur Sindhusiswara muda yang dilukis Sudjojono, pameran itu menampilkan dua karya Sindhusiswara berjudul Potret Diri dan Baratha Yudha. Sindhusiswara menciptakan Potret Diri dengan cat minyak di atas kanvas pada 1955.

Lukisan itu menggambarkan citraan Sindhusiswara tua yang mengenakan surjan. Adapun Baratha Yudha melukiskan citraan kerumunan manusia bertelanjang dada yang sedang berperang. Ki Sindhusiswara membuat lukisan berukuran 95 x 95 sentimeter berbahan cat minyak di atas kanvas itu pada 1946.

Lukisan Baratha Yudha belum sempurna. Menurut Punto, ayahnya melukis sesuai dengan suasana hati. Bila suasana hatinya sedang baik, Sindhusiswara langsung mencoret-coret kain kanvas. Sindhusiswara juga dikenal sebagai perupa yang melukis dalam senyap. Punto menyebutkan ayahnya pendiam dan tidak ingin tampil di hadapan publik.

Sebelum meninggal, Sindhusiswara mewariskan lukisan-lukisan karyanya kepada anak-anaknya. Ada delapan lukisan yang diberikan kepada anak-anaknya yang tinggal di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta.

Sindhusiswara bisa dibilang sebagai peletak dasar seni lukis di Tamansiswa. Dia aktif menjadi anggota Pusat Tenaga Pelukis Indonesia yang banyak menciptakan poster, pamflet, dan karikatur pada masa kemerdekaan Indonesia dengan kata-kata “Indonesia merdeka” dan “merdeka atau mati”. Dia juga menjadi anggota Persagi bersama Affandi, Sudjojono, Rusli, Abbas Alibasyah, Tino Sidin, Nashar, dan Gambiranom.

Selain lukisan, karya Sindhusiswara berupa sketsa serta vinyet yang menjadi ilustrasi Pusara, majalah terbitan Tamansiswa selama tiga dasawarsa. Sketsanya menggambarkan Pendapa Agung Tamansiswa berlatar sinar matahari dan pohon sawo kecik.

Pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia—cikal bakal Institut Seni Indonesia Yogyakarta—itu berkawan dekat dengan Sudjojono, pelukis yang juga berhimpun di Lembaga Kebudayaan Rakyat. Selain melukis, Sudjojono pernah menjadi pamong di Tamansiswa. Ki Hadjar Dewantara pernah mengirim Sudjojono ke Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, untuk mendirikan sekolah Tamansiswa.

Pada 1952, Tamansiswa menerbitkan buku yang menggambarkan dialog dua perupa itu. Mereka sepakat mendefinisikan pendidikan sebagai usaha manusia meningkatkan derajat manusia ke tingkat yang paling tinggi. “Dialog mereka muncul dalam buku 30 tahun Tamansiswa,” ucap salah satu penulis buku Kisah Perjuangan Para Murid Ki Hadjar Dewantara, Ki Prijomustiko.

Sudjojono kemudian memunculkan konsep jiwa ketok, yang berarti mewujudkan kesenian sama dengan memperlihatkan jiwa. Setelah jiwa tersebut dapat ditangkap atau dilihat, itulah satu-satunya keuntungan yang ada atau dimiliki manusia.

Selain lukisan Sudjojono, hasil reproduksi karya Affandi dipinjam panitia. Sketsa reproduksi yang Syahnagra pinjam dari Kartika itu berjudul Nonton Gambar Reco. Karya bertarikh 1949 berbahan tinta cina itu dibuat di atas kertas.

Lukisan Lian Sahar yang jumlahnya tinggal sedikit di rumah istrinya, Santi, yang tinggal di kawasan Pogung, dekat kampus Universitas Gadjah Mada, juga dipamerkan. Salah satunya berjudul Gestur. Lian membuat karya seni abstrak berukuran 110 x 80 sentimeter berbahan pastel di atas kertas itu pada 1994.

Karya menarik lain adalah sketsa buatan Ki Hadjar Dewantara milik perupa Nasirun. Pada sketsa bergambar sepeda motor kuno itu tertulis judul Benly/Ziper Sport CB 92. Sketsa ini berukuran 25 x 35 sentimeter berbahan kertas tanpa keterangan tahun.

Nasirun menyebutkan mendapatkan sketsa itu dari Shopping Centre, tempat jual-beli buku bekas di dekat Taman Pintar, Yogyakarta. Nasirun baru-baru ini membuka ruang koleksi yang menampung koleksinya berupa sketsa dan lukisan karya maestro yang ia dapatkan dari pasar buku bekas ataupun keluarga sang maestro.

Suasana pameran bertajuk Hiduplah Semulianya di kampus Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, 18 Juli 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Ihwal keaslian sketsa itu, Syahnagra mengatakan panitia berani memamerkannya karena ada yang bertanggung jawab, yakni pemiliknya, Nasirun. “Siapa tahu benar. Kalau ada yang tidak meyakini itu asli juga tidak apa-apa,” kata alumnus Tamansiswa tersebut.

Selama ini tidak pernah terdengar informasi bahwa Ki Hadjar Dewantara bisa melukis. Tapi Ki Hadjar dikenal sebagai tokoh yang kerap mengejutkan. Syahnagra mengungkapkan, dengan dipamerkannya koleksi Nasirun itu, siapa tahu berbagai kemungkinan ihwal Ki Hadjar terbuka.

Dia berharap pameran para maestro di Tamansiswa dengan skala yang lebih besar bisa digelar tahun depan. Tujuannya menghidupkan kembali karakter seni budaya Tamansiswa yang sudah lama hilang.

Pameran itu juga muncul karena keresahan para alumnus Tamansiswa yang sebagian merupakan seniman. Mereka prihatin terhadap Tamansiswa yang mundur karena mengabaikan seni budaya. Padahal Tamansiswa-lah yang memulai gerakan pendidikan dan kebudayaan.

Syahnagra mencontohkan, pada masa revolusi, banyak seniman Tamansiswa yang hijrah ke Jakarta dan memulai gerakan seni lukis. Seniman itu antara lain Chairil Anwar, Sudjojono, dan Affandi yang berkumpul di Tamansiswa Jakarta di Jalan Garuda Nomor 25. Dari sana, lahirlah poster dan puisi “Bung, Ayo Bung” sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Belanda.

Ki Hadjar Dewantara mewariskan Tamansiswa sebagai perguruan untuk mendekatkan diri dengan masyarakat melalui seni budaya. Tapi kemasyhuran Tamansiswa memudar karena perguruan ini mengabaikan kebudayaan. “Lewat pameran lukisan inilah kami ingin mendekatkan Tamansiswa dengan masyarakat,” ujar Syahnagra.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus