Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANGGUNG berisik oleh pukulan palu pada sebuah cangkul seorang lelaki tua yang duduk di sebuah dipan di panggung yang temaram oleh cahaya merah. Berbaju koko, celana pangsi, dan peci hitam, ia sibuk dengan perkakasnya. Riuh terhenti ketika Ajo Sidi yang datang dengan kereta angin melempar salam kepada kakek itu.
“Pagi ini aku hampir terluka, pisau cukur ini sudah tidak tajam,” ujar Ajo. “Coba kulihat… sepertinya sudah lama tidak diasah,” si Kakek menjawab. Karena itulah kemudian Ajo mendatangi si Kakek.
Mereka berbincang sebentar. Si Kakek menanyakan alasan Ajo tak salat berjemaah subuh tadi. Ajo pun menjawab sekenanya, karena banyak pekerjaan. Ia pun bergegas mendorong sepedanya. Lelaki tua itu kembali melanjutkan kegiatannya sambil menggerutu. Ajo Sidi dan Kakek adalah dua tokoh dalam cerita Robohnya Surau Kami yang dipentaskan pada Senin, 28 November, lalu oleh Teater Jenjang di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teater ini menampilkan cerita karya sastrawan A.A. Navis di panggung yang sederhana. Panggung bernuansa kelam dengan temaram cahaya merah. Empat lembar kain putih tergantung di sisi kanan panggung, menggambarkan tiang-tiang surau di kampung itu. Surau itu menjadi tempat si Kakek bermunajat, bersembahyang, dan mengimami para penduduk. Si Kakek menekuni kesibukannya di sebuah dipan, membantu orang-orang, termasuk Ajo Sidi. Sementara warga kampung menjalani rutinitas seperti biasanya, para perempuan sibuk beraktivitas, anak-anak belajar silat dan bermain-main di pelataran surau.
Pria ini datang kembali menanyakan pisau cukurnya kepada lelaki tua itu. Namun ia belum selesai menajamkannya dan membuat Ajo Sidi kesal hingga menendang standar sepedanya. Terjadilah adu mulut di antara dua lelaki itu. Tapi pertengkaran itu hanya diperlihatkan dengan gerakan bibir dan tangan, bahasa tubuh kekesalan. Pisau cukur itu pun terbanting ke tanah.
Kesalehan si Kakek dipertontonkan dengan adegan ia mengimami salat warga. Selepasnya, ia memperlihatkan kemarahannya. Ia marah dan kesal atas ulah Ajo yang dianggap kurang ajar. “Kalau saja pisau yang aku asah ini makin tajam, akan kugorok tenggorokannya,” ucapnya penuh dendam. Tapi ia buru-buru memperbaiki ucapannya. “Kalau keluar kata-kata buruk, ibadahku bisa rusak, ibadahku percuma. Aku setiap hari selalu memuji-Nya, bertawakal, beribadah. Aku yakin Dia bersama orang yang sabar,” ujarnya.
Untuk memperlihatkan suasana akhirat dari cerita Ajo, para penampil mengenakan topeng. Ajo Sidi menceritakan penyiksaan di neraka kepada Kakek. Cerita tentang Haji Saleh yang dicecar dan dikutuk oleh Tuhan. Haji Saleh merasa setiap saat taat beribadah, memuji-Nya, berhaji, dan tidak bermewah-mewah. Tapi ia lupa tak menjalankan amanat untuk mengelola bumi, membuatnya sejahtera dengan kekayaan alam yang diberikan, dan membiarkan masyarakat hingga keturunannya tetap melarat.
Cerita Ajo Sidi membuat si Kakek tak tenang, sampai-sampai ia menghujat Tuhan. Dengan langkah lunglai, ia membuka bajunya, merentangkan kedua tangannya, dan menatap langit. Tak terima dikatakan sebagai manusia terkutuk, dengan gerakan tangannya, melintas cepat di depan leher, ia mengakhiri hidupnya. Kematiannya menggemparkan warga. Pisau Ajo Sidi mengantar kematian si Kakek. Warga mengantar kepergian si Kakek. Surau tak lagi ramai, tak ada azan bergema. Anak-anak pun menjelajah di dalam surau. Perlahan, satu per satu, kain-kain luruh di tangan anak-anak. Surau mereka roboh.
Pementasan Robohnya Surau Kami menjadi puncak peringatan 98 tahun sastrawan A.A. Navis. Sebelumnya, Yayasan A.A. Navis juga menggelar pembacaan esai berjudul “Pendidikan dalam Membentuk Watak Bangsa” oleh Sastri Sunarti Sweeney, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional serta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Ada pula diskusi karya A.A. Navis dengan narasumber Dhenok Kristianti dan Sheiful Yazan Tuanku Mangkudun. Tuanku Mangkudun adalah dosen di Universitas Islam Negeri Imam Bonjol, Padang. Adapun Dhenok adalah penyair dan guru sastra yang berdomisili di Yogyakarta. Ia menyoroti kontradiksi karakter para tokoh dari tiga cerpen A.A. Navis, yakni “Robohnya Surau Kami”, “Topi Helm”, serta “Datangnya dan Perginya”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penulis A.A. Navis di Jakarta, 1987. Dok TEMPO/Ali Said
Menurut Dhenok, A.A. Navis berhasil mengecoh pembaca. Tak mudah mengkategorikan suatu tokoh dalam karyanya sebagai protagonis atau antagonis sehingga pembaca perlu melihat keutuhan makna atau pesan moral yang ingin disampaikan. Ia mencontohkan tokoh Kakek dalam “Robohnya Surau Kami” sebagai tokoh antagonis. Sekalipun sepanjang hidupnya selalu beribadah dan mulia di mata masyarakat, ia seorang pendendam. Sebaliknya, tokoh Ajo Sidi yang pembual dan menyebabkan kematian sang Kakek memiliki watak baik.
“Kontradiksi antartokoh disampaikan secara berbelit sehingga tidak mudah mengkategorikan mana yang baik dan jahat,” tuturnya. Hal yang sama ia temukan dalam dua cerpen lain: “Helm Topi” serta “Datang dan Perginya”. Ia memperlihatkan bagian awal yang memuluskan logika akhir cerita pada “Helm Topi”. Sementara itu, pada “Datang dan Perginya”, Navis melempar bola liar kepada para pembacanya dengan akhir cerita yang menggantung.
Sheiful Yazan Tuanku Mangkudun menyebut A.A. Navis sebagai pencemooh. Ia membandingkan karya A.A. Navis dengan karya Marah Rusli. Menurut dia, A.A. Navis berbeda dengan para sastrawan Minangkabau terdahulu yang mengindonesiakan Minangkabau. Sebaliknya, A.A. Navis meminangkabaukan Indonesia. Navis juga tidak mengkritik adat Minangkabau dalam karya sastranya. Dia justru membela adat itu, tidak secara gamblang, melainkan dengan kiasan.
Ketua Yayasan A.A. Navis Dedi Andika menuturkan, kegiatan ini adalah langkah awal yayasan yang baru dibentuk pada November lalu menjelang peringatan seabad A.A. Navis tersebut. Dengan yayasan ini, para pewaris A.A. Navis ingin mengembangkan pemikiran, karya sastra, dan pandangan pendidikan sang sastrawan. Diskusi dan pementasan teater di TIM menandai langkah pertama mereka. Dia menjelaskan, ada jejak sejarah A.A. Navis di TIM.
Sebelum TIM berdiri, Navis pernah berdialog dengan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Hingga kemudian dibangunlah pusat seni budaya ini. “Pak Navis juga dulu bagian dari TIM, DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) juga,” ujar Dedi yang merupakan anak ketiga A.A. Navis. Di Padang, A.A. Navis bergerak mengembangkan pemikiran melalui karyanya. Ia juga terlibat mendirikan Dewan Kesenian Sumatera Barat atas dorongan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, mendiang Edi Sedyawati.
DIAN YULIASTUTI, PIKRI RAMADHAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo