Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FOTO dan peti mati Iskandar di panggung langsung menggaet perhatian penonton. Di panggung bertingkat dengan anak tangga model klasik memutar itu adegan dimulai. Reza Rahadian—berperan sebagai Iskandar—mengajak penonton mengikuti kisah hidupnya di awal berdirinya Republik yang masih belia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan pejuang itu gelisah. Ia berpasangan dengan Norma (Kelly Tandiono dalam film diperankan oleh Netty Herawati), anak seorang terpandang. Oleh ayah Norma dan koneksinya, Iskandar mendapat privilese, bekerja di kantor gubernur. Tapi ia tak punya keterampilan memadai. Bertengkarlah ia dengan pegawai lain. Di panggung, Iskandar terlihat emosional. Ia hampir menonjok koleganya sebelum dilerai. Sejurus kemudian, tampaklah di layar sederet meja dan beberapa orang berdiri serta berceloteh setelah nyaris baku hantam. Satu per satu mereka menjauh ke pintu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menumpahkan rasa kesal, Iskandar lalu mengunjungi Gafar (Lukman Sardi), seorang pengusaha, bekas teman seperjuangannya. Gafar menjanjikan pekerjaan yang cocok untuknya. Tapi Iskandar tak tergerak. Ia lantas menemui Gunawan, juga teman seperjuangan yang sukses menjadi pengusaha. Reza kembali berhadapan dengan layar, menyampingi penonton. Di layar, Gunawan tampak sedang menelepon ketika Iskandar datang.
“Aku punya pekerjaan yang cocok untukmu,” ujar Gunawan. Ia pun menyodorkan setumpuk kertas. Iskandar yang duduk menghadap layar, memperlihatkan meja dan tumpukan kertas, menerima tumpukan itu dari balik layar panggung. Ia membaca dan melemparkannya kepada kolega yang korup itu. Iskandar tersinggung. Apalagi ia masih ingat peristiwa yang membuatnya menjadi pembunuh sebuah keluarga atas perintah komandannya.
Iskandar menjadi tokoh sentral dengan pergulatan pikiran di kepalanya. Idealismenya sebagai bekas pejuang tenggelam menghadapi kenyataan. Ketika kemerdekaan sudah diraih, pembangunan perlahan dimulai. Kongkalikong dan perilaku korup mewarnai perjalanan itu. Bahkan bekas teman seperjuangannya ikut larut. Pergulatan Iskandar ditampilkan dalam pertunjukan silang media bertajuk Setelah Lewat Djam Malam di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1-3 Desember 2022.
Iskandar (Achmad Nungcik Alcaff) adalah tokoh dalam film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail pada 1954 yang naskahnya ditulis Asrul Sani. Pada 2012, film ini direstorasi oleh National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation yang bekerja sama dengan Yayasan Konfiden dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta. Film itu ditayangkan dalam Festival Film Cannes di Prancis dan bioskop di Indonesia.
Garasi Performance Institute dan KawanKawan Media bekerja sama mengkolaborasikan pertunjukan panggung dan film dalam sebuah pementasan silang media Setelah Lewat Djam Malam. Yudi Ahmad Tajudin menyutradarai pertunjukan ini. Pementasan ini menghadirkan fragmen demi fragmen dari layar film hitam-putih dan pertunjukan langsung di panggung. Sebuah cara baru yang cukup kompleks untuk menyuguhkan bentuk seni pertunjukan dengan pemanggungan yang kompleks pula.
Penonton diajak menikmati drama di dalam dan luar film dan teater. Ada kalanya adegan di panggung mengintervensi adegan di layar, atau sebaliknya. Misalnya adegan dansa dalam film dihadirkan secara langsung oleh para penari Dansity. Yudi menggunakan 11 layar untuk menyatukan potongan adegan film dan panggung. Berkat besutan Deden Bulqini yang mengelola layar, pertunjukan itu menjadi menarik. Pertunjukan ini hanya bertambah lama 15 menit dari durasi filmnya yang 101 menit.
Setelah Lewat Djam Malam menghadirkan beberapa tokoh saja yang menghidupkan panggung teater. Kepiawaian Reza Rahadian sebagai aktor film teruji dalam pertunjukan panggung yang kompleks ini. Saat berhadapan dengan Norma, kekasihnya, kecanggungan hubungan mereka terasa. Adapun bersama Laila, yang pandai memasak—ditampakkan dengan visualisasi sebuah wajan di atas kompor pada layar—Iskandar bisa menjadi dirinya sendiri. Dengan lelaki itu pun Laila berbincang akrab. Dira Sugandi memerankan Laila dengan sangat baik mengimbangi Reza.
Tokoh lain di panggung adalah Sal Priadi (Puja), anak buah Iskandar yang menjadi muncikari, serta Lukman Sardi (Gofar) dan Josh Marcy (Adlin). Sementara itu, beberapa tokoh lain tetap dibiarkan hidup pada layar, seperti ayah Norma, Komandan, dan Gunawan. “Mereka tokoh-tokoh yang punya otoritas, jadi kami biarkan hidup di layar,” ucap Yudi, yang menyebutnya sebagai sebuah bentuk dialog baru.
Yudi memulai penggarapan pertunjukan ini dengan pendekatan terhadap film baik secara tema maupun bentuk, isu, dan narasinya. Bersama tim dramaturgi dan penulis naskah—Ugoran Prasad, Permata Adinda, dan Shaifur Ridho—mereka memproses pertunjukan itu. Dialog menjadi kunci dalam pertunjukan yang mengawinkan film dengan teater secara simultan itu. Mereka menajamkan beberapa tokoh dalam dialog. Penulis naskah menulis ulang dialog menjadi lebih bernas. “Kami ingin berdialog dengan film itu, isu dan mediumnya berkelindan,” kata Yudi.
Lewat film Lewat Jam Malam, Usmar Ismail dan Asrul Sani ingin membincangkan ide-ide kebangsaan, menghadapi Indonesia baru setelah kemerdekaan, lengkap dengan modernitas dan korupsinya sebagai negara yang masih sangat belia. “Tapi mereka tidak membicarakan secara sempit, tidak berkhotbah,” tutur Yudi. Hal ini dimunculkan lewat pergulatan tokoh utama, yakni Iskandar, dan tokoh lain.
Setelah Lewat Djam Malam' di Taman Ismail Marzuki Cikini, Jakarta, 1 Desember 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Kita juga bisa melihat bagaimana Yudi dan tim membincangkan isu kelas, keberagaman, dan kesetaraan gender lewat tokoh Laila dan Nora. Di tangan Permata Adinda, dua perempuan ini menjadi tokoh yang lebih menonjol ketimbang dalam film yang maskulin. Peran Nora terlihat seperti keturunan Cina dan Melayu sebagai perempuan modern dan berpendidikan. Adapun Laila, dengan gaya bicaranya yang blak-blakan, mengungkap kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga yang sering dialami perempuan. Kedua perempuan ini pun akhirnya bertemu dalam sebuah kesempatan.
Panggung yang bertingkat secara kasatmata memperlihatkan perbedaan kelas yang menjadi elemen visual dan dramaturgi. Norma, sebagai orang berada, ketika berinteraksi dengan Iskandar dan ayahnya, berdansa-dansi dengan koreografi arahan Josh Marcy, banyak diposisikan di lantai kedua.
Adapun penonton melihat Laila sebagai perempuan pekerja seksual, perempuan jelata, dan orang pinggiran dari pelosok berada di panggung bawah. Tergambar juga adegan pasar malam dan tari-tarian rakyat arahan Siko Setyanto, hiburan kelas bawah yang mengkooptasi panggung hingga ke tempat duduk penonton.
Kehadiran pertunjukan silang media tersebut bukan yang pertama, tapi kali ini ia dimunculkan dengan segala kompleksitasnya. Di luar negeri, Erwin Piscator pernah membawa film ke atas panggung teaternya. Ia menggunakan layar dan proyeksi di panggung. Di blantika perteateran kita, pertunjukan silang media antara film dan teater mulai dicoba beberapa teaterawan. Beberapa waktu lalu, anggota Bengkel Teater Rendra, Iwan Burnani, membuat sebuah "sinetron" dengan syuting di panggung dan luar panggung.
Adapun Teater Koma baru-baru ini dengan bantuan penata artistik Deden Bulqini dari Bandung, yang juga terlibat dalam Setelah Lewat Djam Malam, mengadopsi teknologi video, bukan film. Bahkan dengan bantuan Deden dalam beberapa pertunjukannya Teater Koma tak lagi membutuhkan properti fisik, melainkan lapisan-lapisan layar yang menampilkan visual-visual berbeda. Tapi sejauh ini persilangan yang ditawarkan Yudi Ahmad Tajudin tersebut yang paling penuh ketidakterdugaan dan terasa menyegarkan.
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo