Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEBU beterbangan, menguar di panggung ketika empat penampil menyorongkan alat kayu yang biasa dipakai untuk meratakan padi saat dijemur secara tradisional. Mengingatkan pada kegiatan para petani di desa setelah panen, mereka menjemur padi. Mereka mengumpulkan jerami yang menyebar menutupi lantai panggung di salah satu sudutnya. Namun setelah itu mereka kembali meratakannya ke seluruh panggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu sekelompok penari memasuki panggung. Dalam bloking di semua titik panggung, dengan agak melingkar mereka berjalan sembari menendangi jerami-jerami. Ada pula penari yang kedua tangannya mengumpulkan dan melempar-lemparkan jerami itu di satu titik. Namun kemudian mereka bersama-sama kembali menumpuk jerami itu di bagian kiri panggung dengan alat kayu tersebut. Jerami tampak membukit. Dalam sorotan cahaya yang agak rendah, keberadaan tumpukan itu menonjol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jerami yang menumpuk di sisi kiri panggung menjadi latar bagi sekelompok penari. Mereka berdiri membelakangi tumpukan jerami. Sekelompok penari lain mengumpulkan sisa-sisa jerami dengan tangan-tangan mereka. Penampilan mereka dimulai ketika panggung masih gelap. Terdengar suara seperti seseorang memukul lantai panggung. Setelah lampu menyala, tampaklah seorang perempuan yang memukul-mukulkan sesuatu di panggung. Lalu datanglah dari segenap penjuru panggung penari yang membawa jerami dan menumpuknya sebagian di tengah panggung dan sebagian lagi di bagian kanan panggung.
Lampu menyorot setumpuk jerami yang dikelilingi enam penari. Seorang penari melangkah ke puncak tumpukan jerami itu diantar penari lain. Penari di sekelilingnya terdiam. Bunyi dentang bertalu mengiringi penari di tengah yang mulai bergerak memutar. Kakinya bergantian terangkat setinggi lutut. Gerak yang mulanya perlahan menjadi lebih cepat. Debu menguar dan makin menguar. Jerami makin berantakan ketika semua penampil ikut melangkah dan menendang-nendangnya. Dalam lingkaran kecil itu mereka bergerak, sesekali membungkuk, bertepuk tangan.
Mereka tampil dalam pentas Jakarta International Contemporary Dance Festival atau Jicon 2022 membawakan koreografi karya Hartati, salah seorang koreografer dan penari sanggar Gumarang Sakti. Koreografi berjudul Jarum dalam Jerami ini ditampilkan selama dua hari, Jumat-Sabtu, 16-17 Desember lalu, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Koreografi ini sebelumnya ditampilkan dalam Festival Matrilineal di Sumatera Barat, Oktober lalu.
Koreografi ini merupakan bagian dari program Telisik Tari Talk dan Performance. Karya ini menjadi tribute kepada (almarhumah) Gusmiati Suid, tokoh penting dalam sejarah tari Indonesia. Koreografi yang disajikan para penari yang digembleng sejak September lalu itu lebih banyak menghadirkan gerakan kaki seperti melangkah, menendang, memutar, serta berlari di tempat atau seperti tengah menginjak-injak sesuatu.
Begitu juga ketika koreografi menampilkan gerak seperti menyikut, menebas dan gerak vertikal, bloking panggung, serta gerak berkelompok. Jerami sebagai perangkat atau properti pertunjukan menjadi medium gerak para penari. Dalam beberapa bagian juga terlihat para penari mengeksplorasi gerak agak ke bawah, di lantai, berjongkok dan membungkuk.
Dalam pertunjukan selama hampir 50 menit itu, penonton disuguhi olah tubuh para penari muda yang menampilkan koreografi yang ditulis Heru Joniputra dan disusun dalam dramaturgi oleh Adinda Luthvianti. Pada awal pertunjukan, penonton seperti melihat pesta pora petani ketika memanen padi, kegembiraan para petani saat hasil sawah mereka meruah.
Dari gerakan para penari yang masih terlihat agak kaku, terlihat ada sikap kesiagaan, seperti memagari tumpukan jerami dengan posisi membelakanginya. Tata cahaya dimainkan cukup menarik menyorot jerami dan penampil yang gerakannya masih belum lentur.
Hartati menjelaskan, karya ini adalah respons terhadap karya mendiang gurunya di kelompok tari Gumarang Sakti, Gusmiati Suid. “Saya merespons salah satu karya beliau, Api dalam Sekam, yang diciptakan karena melihat situasi Indonesia saat itu seperti api dalam sekam, dan meledaklah peristiwa 1998,” ujarnya.
Pentas Jarum dalam Jerami di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 17 Desember 2022. Witjak Widhi Cahya
Dalam Jarum dalam Sekam, Hartati ingin menampilkan nilai euforia dari situasi setelah Reformasi hingga kini. Menurut dia, seperti euforia, ada pesta kebebasan tapi tak berkesudahan hingga memunculkan dampak lain, seperti kebencian dan perpecahan. Sebuah situasi yang menurut dia membuat kehati-hatian dan kewaspadaan harus terus dilekatkan. Ia menganalogikannya dengan pesta para petani yang memanen padi. Tapi, dalam pesta petani ini, mereka masih harus menghitung kecukupan hasil panen untuk masa depan.
“Mereka harus tetap berhati-hati dan waspada,” ucapnya. Setelah berdiskusi dengan Adinda Luthvianti sebagai penyusun dramaturgi dan penulis Heru Joniputra, Hartati menafsirkan karya gurunya menjadi karya yang dipentaskan tersebut.
Gumarang Sakti mengeksplorasi gerak koreografi dari gerakan seni silat Minang yang sangat atraktif, dinamis, dan lincah. Hartati menciptakan dan mengembangkan gerak koreografi kontemporernya dengan gerak silat tersebut. Gerak kaki yang dikembangkan dari tendangan, langkah, dan kuda-kuda, juga dari gerak tangan seperti tangkisan dan kembangan.
Dalam Api dalam Sekam, Gusmiati menghadirkan koreografi yang dinamis. Sal Mugianto, pengamat tari, dalam wawancara tentang Rantak karya Gusmiati Suid menjelaskan bahwa dalam setiap karya Gusmiati terdapat tiga hal, yakni adat, syariat, dan nilai kemanusiaan, termasuk Api dalam Sekam.
Hartati mengakui koreografinya ini sangatlah berbeda dengan koreografi Api dalam Sekam yang sangat dinamis, serba cepat, dan megah dalam pementasan. Hartati masih ingat koreografi karya Gusmiati yang sangat dinamis dengan properti megah seperti bangunan dan api yang membakar tongkat, lalu ada bunyi alu yang menumbuk beling-beling kaca diiringi lagu yang menyayat hati.
Sedangkan koreografi karyanya lebih mengeksplorasi gerak-gerak yang lebih lambat. Untuk memperkuat koreografi, ditebarkanlah jerami satu pikap yang didatangkan dari Jonggol, Bogor, Jawa Barat, dan beberapa karung berisi jerami pula. Tata cahaya cukup menarik untuk mendukung koreografi. Koreografinya tak menampilkan sebuah kecepatan gerak yang dinamis dan cepat meski masih memperlihatkan unsur-unsur gerak silat.
“Apa yang saya tampilkan jauh lebih sederhana dari karya beliau. Saat itu panggungnya megah, ada bangunan, ada api di tongkat yang menyala juga. Sedangkan saya hanya jerami dan karung,” tutur Hartati.
Ia juga mengakui tantangan terbesar menampilkan koreografi ini adalah menyiapkan tubuh para penari. Ia harus menggembleng para mahasiswa Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Sumatera Barat, cukup keras. Karena itu, ia tak memaksakan gerak-gerak koreografi yang rumit, apalagi menuntut kecepatan seperti dalam karya gurunya.
Hal inilah yang juga menjadi perhatian pengamat pertunjukan Bambang Bujono yang melihat masalah umum yang dihadapi penari yang tak rutin berlatih. Padahal medium utama mereka untuk berkarya adalah tubuh.
“Tanpa penguasaan tubuh, keindahan, ekspresi atau apa pun istilahnya tak mudah dinikmati penonton,” kata Bambang setelah menonton pertunjukan. Menurut dia, di era digital saat ini para penari bisa belajar dan menonton karya koreografer-koreografer ternama di dalam dan luar negeri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo