Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERANG Dunia II baru saja berakhir. Negara-negara Asia dan Afrika di selatan bumi baru merdeka dan dalam semangat yang berkobar-kobar untuk membangun negeri “baru” mereka. Sedangkan di utara, negara-negara Eropa bangkit dari puing-puing perang dan menata diri untuk menjadi negeri yang berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di saat seperti ini, bangunan modern dipakai untuk memberi pernyataan. Di Indonesia, Sukarno—presiden lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung)—yakin bahwa gedung dan karya arsitektur modern mampu menjadi representasi semangat nasionalisme yang ia gelorakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal yang sama terjadi nun di Jerman. Setelah debu perang turun, sebagian besar kota masih tenggelam dalam puing. Pembangunan digesa agar jutaan orang bisa hidup layak dan kekalahan mudah dilupakan. Tentu sejumlah altbau (bangunan lama) dibangun kembali dan dimanfaatkan, tapi kecepatan dan efisiensi memaksa mereka membuat neubau (bangunan baru) dengan proses yang jauh lebih praktis. Modernisme, yang menekankan fungsi, dipilih.
Di waktu seperti itu, belasan anak muda Indonesia tiba di Jerman untuk belajar tentang arsitektur. Sebagian sudah sempat kuliah arsitektur di Bandung dan Delft, Belanda. Namun memanasnya hubungan Belanda-Indonesia terkait dengan perebutan Papua membuat mereka harus angkat kaki dari Belanda dan mencari tempat belajar baru. Jerman menjadi tujuan mereka. Setelah lulus di awal 1960-an, mereka menjadi salah satu bagian penting dalam sejarah arsitektur Indonesia modern.
Perjalanan mereka—sejak belajar di Jerman hingga berkarya di Indonesia—diceritakan dalam simposium, penerbitan, dan pameran berjudul “Dipl.-Ing. Arsitek: Arsitek Indonesia Lulusan Jerman dari Tahun 1960-an”. Serangkaian kegiatan itu ditutup dengan pameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 12 Desember 2022-12 Januari 2023. Kegiatan ini merupakan produksi kerja sama sbca (Berlin) dan Yayasan Museum Arsitektur Indonesia (Jakarta) dengan dukungan pemerintah Jerman dalam rangka 70 tahun hubungan diplomatik Jerman-Indonesia.
Koleksi dari Suwondo Bismo Sutedjo dalam pameran Dipl.-Ing. Arsitek: Arsitek Indonesia Lulusan Jerman dari Tahun 1960-an, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 20 Desember 2022. TEMPO/Jati Mahatmaji
“Dipl.-Ing” dipilih menjadi judul karena itu adalah gelar yang para arsitek Indonesia dapatkan dari tiga lembaga pendidikan di Jerman: Technische Hochschule (Hannover), Technische Universität Berlin, dan Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule (Aachen).
Ada 12 mahasiswa arsitektur Indonesia yang tercatat mengikuti pendidikan akhir arsitektur mereka di sana, yaitu Han Awal, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Mustafa Pamuntjak, Bianpoen, Suwondo Bismo Sutedjo, Soejoedi Wirjoatmodjo, Kho Lin Hek (Herianto Sulindro), Oei Jan Beng, Eddy Heryadi, Hoemar Tjokrodiatmo, Oei King Han, dan Thung Po Hin.
Setelah lulus, sebagian besar dari mereka kembali ke Indonesia dan sisanya berkarya di Eropa. Peran mereka dalam sejarah arsitektur Indonesia sangat penting—tidak hanya lewat sejumlah karya monumental seperti Gedung MPR/DPR, Sekretariat ASEAN, Rumah Sakit St. Carolus, Museum Bank Indonesia, sejumlah gereja, dan bangunan lain.
Mereka juga meletakkan dasar-dasar pembentukan pendidikan dan keprofesian arsitek di Indonesia dengan menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi. Mereka menggantikan banyak dosen asal Belanda. Ada juga yang terlibat dalam birokrasi dan perencanaan program-program pemerintah, misalnya permukiman dan perbaikan kampung.
Jejak mereka inilah yang kemudian diangkat dalam “Dipl.-Ing” dengan arahan kuratorial dari Setiadi Sopandi dan Avianti Armand yang bekerja sama dengan Sally Below, Moritz Henning, dan Eduard Kogel. Selain kurator yang berasal dari Indonesia dan Jerman, para periset berasal dari kedua negara.
Tim Jerman bertugas mengumpulkan jejak para arsitek selama mereka belajar di negeri itu, termasuk tugas akhir mereka. Di Indonesia, tim yang lebih besar bertugas menjumpai para arsitek atau keluarga mereka untuk mengumpulkan “harta karun”.
Meski para arsitek atau keluarga mereka sangat kooperatif, tak mudah bagi para periset untuk mencari dan memilih benda apa saja yang mesti dibawa ke galeri pameran. Beberapa arsitek atau keluarganya masih menyimpan semua arsip dan barang yang terkait dengan profesi kearsitekan mereka.
“Masalahnya, hampir semua tidak tertata rapi. Barangnya ada, tapi entah di sebelah mana. Jadi kami harus membongkar satu per satu barang mereka untuk menemukan mana saja yang penting. Pekerjaan rumahnya kemudian adalah merapikan kembali ruangan yang berantakan itu,” kata Avianti, salah seorang penggagas dan kurator.
Tidak semua keluarga menyimpan peninggalan itu. Sejumlah arsitek yang berkarier di luar negeri tidak membawa banyak jejak kearsitekan mereka saat pulang ke Indonesia di masa pensiun.
Kesulitan juga dijumpai tim saat mengumpulkan jejak Y.B. Mangunwijaya atau Romo Mangun. Tak banyak dokumen yang ditemukan di rumah terakhirnya. Untungnya Romo Mangun cukup dikenal publik. Karyanya pun banyak. Kurator dengan mudah menemukan buku-buku lamanya di pasar buku bekas. Kajian dan pemberitaan tentang kampung di pinggir Kali Code, Yogyakarta, juga banyak yang bisa ditampilkan.
Pameran ini dibuat bercerita sehingga kita tidak hanya bisa memahami para arsitek, tapi juga merasakan apa yang terjadi saat itu, gagasan yang berkembang dan beradu, harapan dan ketakutan yang menguap ke udara, serta tawa dan tangisan yang terdengar. Semua itu diceritakan di sudut pertama yang menampilkan cerita dunia setelah perang, termasuk geliat arsitektur baru di Berlin dan Hannover yang menjadi magnet para arsitek Indonesia.
Agar pengunjung tidak tersesat dalam waktu, ada lini masa (timeline) arsitektur modern Indonesia di tengah ruang pameran. Diapit oleh “kamar-kamar” para arsitek, kita bisa melihat lini masa sepanjang 30 meter yang disusun di atas tiga meja putih.
Sudut kedua adalah pajangan tugas akhir para arsitek saat mereka akan lulus kuliah di Jerman. Di sini kita mulai merasakan kekuatan riset untuk pameran ini. Dokumen yang tersimpan lebih dari 60 tahun itu muncul kembali. Memang ada sejumlah tugas akhir yang sudah dikenal, seperti desain pesantren oleh Soejoedi Wirjoatmodjo. Tapi sebagian besar belum diketahui publik. Hampir semua tugas akhir itu adalah desain untuk dibangun di Indonesia, terutama di Bandung, tempat kuliah mereka sebelumnya.
Koleksi publikasi dan karya YB Mangunwijaya dalam Dipl.-Ing. Arsitek: Arsitek Indonesia Lulusan Jerman dari Tahun 1960-an, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 20 Desember 2022. TEMPO/Jati Mahatmaji
Setelah mendapat gambaran tentang situasi dunia saat itu dan tugas akhir para arsitek, kita diajak mengunjungi “kamar” mereka. Dari 12 lulusan pertama Jerman, hanya jejak delapan arsitek yang bisa dipamerkan karena keterbatasan bahan yang didapatkan. Meski ada keterbatasan dan jarak waktu yang cukup lebar, kerja keras ini terlihat di ruang pamer. Setiap arsitek mendapatkan satu sudut yang saat dimasuki membuat kita seperti masuk ke kamar kerja arsitek tersebut.
Dokumen dan benda-benda pribadi ditampilkan di delapan meja gambar putih, lengkap dengan lampu meja yang bungkuk. Untuk menambah kesan, menurut Avianti, para desainer pameran mencopot semua lampu asli ruang pamer yang dianggap terlalu terang dan membuat fungsi lampu meja tidak tampak.
Ada dokumen penting seperti gambar desain mereka, foto bangunan, ijazah, dan outline materi yang mereka ajarkan ke mahasiswa, bahkan slide positif yang dulu dipakai untuk presentasi. Dari sejumlah dokumen itu, kita bisa menelusuri jejak karya mereka di dunia arsitektur Indonesia.
Yang membuat sudut itu terasa lebih hidup adalah—selain dokumen dan benda penting—para kurator juga menampilkan barang-barang pribadi. Ada meteran, alat gambar, palu, buku catatan, makalah, dan beragam peralatan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka sebagai arsitek. Dari benda-benda tersebut, kita bisa membayangkan bagaimana mereka bekerja saat itu.
Imajinasi kita dibantu sejumlah benda yang lebih bersifat pribadi tapi ada di kamar kerja mereka, seperti asbak, pipa cangklong, mesin tik, dan kamera. Bahkan ada sejumlah benda pribadi yang tidak ada hubungannya dengan kerja mereka sebagai arsitek. Misalnya cerek kehitaman dan piagam lomba nasi goreng Han Awal serta raket tenis kayu Bianpoen.
Meski terkesan remeh, benda-benda itu penting bagi para pengunjung untuk bisa memahami karakter, pribadi, serta isi kepala dan hati para arsitek. Kita juga jadi tahu apa yang ada di sekitar tempat kerja dan yang mengisi hidup mereka. Semua itulah yang menjadi sumber inspirasi dan pada akhirnya memberi kontribusi besar pada karya arsitektur mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo