Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Kota Kanal Bernama Majapahit

Sebuah pameran tentang Majapahit di Museum Nasional menunjukkan bahwa tata kota Trowulan dibuat banyak kanal, dan rumah penduduknya sangat peduli pada sanitasi.

9 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH itu sangat sederhana. Dindingnya dari anyaman bambu atau gedek. Bentuknya empat persegi panjang dengan ukuran 5,20 x 2,15 meter dan tinggi 60 sentimeter. Genting rumah dilengkapi bubungan. Fondasi rumah terbuat dari tanah yang diperkuat dengan susunan batu.

Halaman rumah tertata rapi dengan batu bata. Ini adalah contoh rumah ukuran sebenarnya dari prototipe rumah tinggal zaman Majapahit—kerajaan Hindu-Buddha terbesar dan terakhir di Nusantara pada abad ke-13 hingga abad ke-15—yang ditampilkan di pameran Museum Nasional Jakarta. “Saya membuat konstruksi ini berdasarkan ekskavasi struktur-struktur bangunan di Trowulan tahun 1995,” kata Osrifoel Oesman, arsitek.

Menurut Oesman, memang ada beberapa varian yang kemungkinan bisa muncul, misalnya menyangkut atap. Namun kemungkinan terbesar rumah warga biasa di Majapahit dulu adalah rumah yang terpajang ini. “Untuk lebih memperkuat hipotesis saya ini, saya melakukan komparasi dengan rumah yang ada di Bali,” ujarnya.

Arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar menengarai rumah di Trowulan masa itu sudah sangat memperhatikan masalah sanitasi. Dalam contoh rumah yang dibuat Oesman diperlihatkan di halaman rumah terdapat semacam jambangan tempat penampungan air. Lalu di belakang rumah ada selokan beralas batu yang berfungsi membuang dan mengalirkan air.

Menurut Agus Aris Munandar, di Trowulan banyak ditemukan pipa dari terakota, tanah yang dibakar. Pipa ini kemungkinan menjadi penyalur air bersih ke perumahan penduduk. Selokan sekeliling rumah yang dialasi batu bata itu kemungkinan besar bermuara ke kanal. “Ada cekungan menandakan itu adalah semacam jalur tertentu, dan rupanya bekas kanal,” kata Aris.

Terdapat banyak spekulasi bagaimana tata kota Trowulan, ibu kota Majapajit. Dan yang paling akhir adalah pendapat bahwa kota itu dahulu didesain memiliki jalur-jalur kanal. Sejarah penelitian Trowulan bermula dari seorang arkeolog Belanda bernama Wardenaar. Ketika, pada 1815, Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang berkewarganegaraan Inggris, memerintahnya mengamati peninggalan arkeologi di Mojokerto, Jawa Timur. Wardenaar membuat laporan dan menyebut in het bosch van Majapahit untuk petilasan yang ditemukan di Trowulan.

Penggambaran ibu kota Majapahit dapat ditelusuri melalui kitab Negara Kertagama. Kitab ini menyebut tembok batu merah tebal lagi tinggi mengitari keraton. Ini adalah benteng Keraton Majapahit. Sebuah pintu besar terdapat di bagian barat menghadap lapangan luas, kemudian disebut sebagai Purawuktra. Di tengah lapangan itu mengalir parit yang mengelilingi lapangan. Bagian tepi benteng berderet memanjang dalam berbagai bentuk yang disebut paseban, tempat para perwira sedang meronda.

Penggambaran di kitab inilah yang kemudian menjadi panduan arsitek Maclains Pont pada 1924 membuat sketsa kota Majapahit di situs Trowulan. Situs yang berada di wilayah Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur itu ditaksir seluas 9x11 kilometer. Pont menggambarkan benteng kota Majapahit dalam bentuk jaringan jalan dan tembok keliling yang membentuk blok-blok empat persegi. Bentuk kota Majapahit menyerupai mandala candi berbentuk segi empat dengan gapura masuk di keempat sisinya.

Setelah mengamati lokasi bekas kota Trowulan, Pont menemukan ada lekukan yang melintasi kota Trowulan. Pont memperkirakan legokan itu adalah bekas hamparan jalan-jalan utama kota. Tapi penelitian selanjutnya menunjukkan hal baru yang berbeda dari penafsiran Pont.

Pada 1973 dilakukan pemotretan lewat udara atas situs Trowulan dengan film hitam putih panchromatic. Hasil pemotretan mendapatkan adanya garis bersilangan dengan orientasi utara-selatan di kawasan Trowulan. Arkeolog kemudian juga menerapkan sistem citra pengindraan jarak jauh atas garis-garis itu. Hasilnya adalah pendapat bahwa jalur-jalur cekung yang dikira Pont dulunya adalah “jalan raya” ternyata adalah bekas kanal air. “Kesimpulan Maclains Pont hanya berdasarkan Negara Kertagama, sedangkan ini berdasarkan pemotretan udara,” kata Karina Arifin, arkeolog Universitas Indonesia.

Pada 1980 dilakukan kembali pemotretan di atas Trowulan dengan perangkat yang lebih modern, multispectral photo. Hasilnya memperjelas bahwa garis lurus itu adalah jalur kanal. Berdasarkan hasil pengeboran, bahkan ada indikasi di jalur-jalur itu air mengalir.

Menurut Karina, lebar kanal itu bervariasi dari 20 hingga 30 meter, bahkan ada yang mencapai 50 meter. Tatkala Karina menggali jalur-jalur itu, ia melihat lapisan sedimentasi sedalam empat meter. Selain itu ia juga menemukan susunan bata setinggi 2,5 meter sebagai pinggiran kanal. Bisa jadi kanal itu dahulunya diberi semacam tanggul. “Ini sangat terlihat di tepi kanal yang ada di bagian kedaton,” katanya.

Karina berpendapat, bermacam bangunan air berupa waduk, kanal, kolam, dan saluran air digunakan pemerintah pada masa itu untuk kepentingan irigasi dan mengalirkan sungai ke waduk. Ketika musim hujan, air sungai yang melewati Trowulan akan tumpah. Air tumpahan ini tertampung di kanal sehingga tidak membanjiri perumahan penduduk. Sedangkan pada musim kemarau, air yang tertahan bisa digunakan untuk mengairi sawah. “Cuma, kalau untuk transportasi air, saya ragu, karena banyak bebatuan di dasarnya,” ujar Karina.

Selanjutnya Karina memprediksi bahwa kanal-kanal yang lebar itu juga dimaksudkan untuk melindungi Trowulan dari banjir lahar. Mengingat beberapa gunung di sekitar Majapahit seperti Arjuno, Welirang, dan Anajasmoro acap kali murka, memuntahkan lahar panas. “Contoh paling kentara adalah pembuatan Waduk Baureno sebagai penahan lahar panas,” ujarnya. Akibatnya, makin ke kota, lahar pasir makin tereduksi menjadi sisa yang halus.

Di bekas kawasan ibu kota Majapahit ini juga banyak ditemukan gorong-gorong yang dibangun dari bata. Manfaat gorong-gorong ini masih misterius. Karina memperkirakan gorong-gorong ini menjadi saluran air yang lebih kecil dari kanal yang ada. Kendati ukurannya kecil, gorong-gorong ini masih bisa dimasuki orang dewasa. Contoh paling kentara adalah gorong-gorong yang terletak di Candi Tikus. “Cuma sampai sekarang belum diketahui secara pasti untuk apa gorong-gorong itu dibuat,” tambahnya.

Bisa dibayangkan Trowulan pada masa lalu itu telah memiliki konsep planologi tata kelola air yang terencana. Karina memperkirakan bahwa tatanan yang rapi ini kemungkinan hancur akibat letusan Gunung Anjasmoro pada 1451. Letusan dahsyat ini membuat lapisan lahar tebal menggelontor ke Waduk Baureno. Karena tak mampu menahannya, lahar ini terus merusak jaringan air yang ada. Kerusakan yang tak segera diperbaiki ini makin parah akibat perebutan kekuasaan di Majapahit.

Dan kemudian hancurlah kota Majapahit. Tinggal puing-puingnya kini, yang karut-marut akibat ulah para pencoleng.

Andi Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus