Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Sendiri Bukan Berarti Satu

9 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Sapto Nugroho

    Banyak anak banyak rezeki tentu pepatah yang tak layak untuk zaman yang segala-galanya mahal ini. Tak layak memang kalau kita melihat maknanya. Namun, dari sisi yang lain, masih ada pelajaran yang dapat kita petik, yakni dari diksi atau pilihan katanya. Di luar maknanya yang memang tak lagi cocok untuk zaman kini, pencipta pepatah di atas—juga pencipta pepatah pada umumnya—memahami benar bahwa bahasa Indonesia sebetulnya bisa efisien. Efisiensinya tak akan mengurangi makna dan informasi yang ingin disampaikan.

    Namun, kenyataannya kini, sementara kalangan menganggap bahwa bahasa Indonesia tidak ringkas, terutama setelah dibandingkan dengan bahasa Inggris. Kata Indonesia yang panjang-panjang, terdiri dari banyak suku kata, adalah salah satu contoh yang sering dilontarkan para ”pengkritik” itu. Di sisi lain, mereka, pengkritik yang sama, justru sering menggunakan kata yang sebetulnya tidak perlu atau bahkan salah, sehingga jadi pemboros. Ringkasnya, mengkritik tak efisien padahal mereka sendiri tak bisa efisien alias boros. Salah satu contoh pemborosan itu adalah penggunaan yang salah atau paling tidak berlebihan pada kata ulang.

    Ada beberapa fungsi kata ulang dalam bahasa resmi kita ini, misalnya untuk menyatakan cara (dia memukul keras-keras), untuk menyatakan tindakan lebih dari satu kali atau tanpa tujuan (dia hanya duduk-duduk), dan untuk menyatakan benda jamak (orang-orang bingung). Bentuk ulang dengan fungsi terakhir inilah yang sering digunakan secara salah.

    Harap diingat bahwa dalam bahasa Indonesia tidak dikenal bentuk tunggal-jamak. Satu-satunya ”bantuan” untuk menyatakan benda itu jamak hanyalah dengan cara reduplikasi atau menjadikannya kata ulang. Karena bentuk ulang dengan fungsi ini bersifat ”bantuan”, bukan berarti bahwa kata benda atau nomina tunggal (bukan kata ulang) pasti menunjuk makna tunggal pula. Misalnya kalimat ”anggota rombongan itu berebut mengambil kotak makanan”. Tak ada kata ulang di situ, tapi tentu kita memahami bahwa anggota rombongan yang dimaksud dalam kalimat itu lebih dari satu. Kotak yang mereka perebutkan pun tentunya banyak—tapi diperkirakan kurang untuk semua anggota sehingga mereka rebutan.

    Contoh lain, misalnya suatu ketika seseorang hanya memiliki satu istri. Setelah menikah sampai lima kali lagi pun, kita tak usah mengatakan bahwa ”dia memiliki enam istri-istri”. Karena tak ada bentuk jamak itulah, nomina yang sudah diterangkan dengan angka atau kata penunjuk jamak seperti para, berbagai, bermacam, atau sejumlah, tak perlu diulang. Dengan begitu, jangan pernah berupaya memperbaiki pepatah di atas menjadi ”banyak anak-anak, banyak rezeki-rezeki”.

    Namun, karena bahasa mancanegara (Inggris, Arab, dan Latin) yang banyak ”memasok” kosa kata bahasa kita memiliki sistem penjamakan, kita pun seolah ingin ikut-ikut memilikinya. Untuk mengatasi ”kekurangan” dalam bahasa kita itu, dimunculkanlah kata ulang, seakan itulah bentuk jamak dalam bahasa Indonesia.

    Dalam bahasa Latin ada pepatah non multa sed multum. Tak seperti pepatah inlander di atas yang hanya layak kita teladani dari segi struktur, pepatah Latin ini justru hanya cocok diambil maknanya. Ingat, bahasa yang tak ada lagi penuturnya ini memang memiliki sistem tunggal-jamak.

    Maka terdengar latah bak ingin memiliki bentuk jamak bila kita mencomot pula kata alumni di samping alumnus, stimuli-stimulus, media-medium, akademisi-akademikus, dan sebagainya. Di kelompok lain kita hanya mengambil kata ”data” sedangkan datum kita tinggalkan, memoranda tak mendampingi kata memorandum, dan masih banyak lagi. Yang perlu dipertanyakan di sini, apakah pengambilan kata yang terkesan tebang pilih seperti ini bisa dikatakan ”bahasa adalah manasuka”.

    Adapun dalam bahasa Inggris, rumus penjamakannya lebih sederhana. Tinggal tambahkan huruf s untuk menjamakkan benda, dengan sejumlah perkecualian seperti yang telah kita pelajari dan kita hafalkan selama ini. Mungkin karena ”kata asal”—dalam hal ini bentuk tunggalnya—dalam bahasa Inggris gampang diketahui, kasus ”asal comot” dari sana lebih sedikit: selebritis alih-alih selebriti (atau selebritas?), aksesoris alih-alih aksesori. Karena pengaruh rumus penjamakan dari bahasa Inggris inilah barangkali sebagian dari kita gemar mengulang kata untuk menyatakan benda jamak, bahkan untuk kata yang berpenunjuk jamak seperti yang telah disebut di atas.

    Meminjam pepatah Latin yang berarti ”bukan banyak dalam hal kuantitas tapi dalam kualitas” tadi, selayaknya kita jangan mengambil kata yang sebetulnya tak dibutuhkan oleh bahasa kita. Jangan khawatir bahwa lawan bicara kita akan bingung, jangan pula merendahkan intelijensia mereka.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus