Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Di Balik Gelambir dan Selulit, Kritik Male Gaze Rika Ayu

Imaji tubuh telanjang perempuan Rika Ayu Nilasari. Kepedihan dan rasa sakit.

15 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELARIK garis bekas jahitan operasi Caesar terlihat dengan deretan tanda silang di bawah pusar tubuh jumbo yang telanjang itu. Imaji tubuh yang melar selepas melahirkan itu terlihat di salah satu kanvas besar. Tak hanya memperlihatkan luka bekas operasi, tubuh jumbo ini juga berhias garis-garis selulit di paha. Payudaranya pun terlihat menggelambir. Di kanvas gelap itulah Rika Ayu Nilasari seakan-akan menggambar figur-figurnya.

Imaji-imaji tubuh perempuan telanjang tersebut jauh dari kesan erotis kemolekan tubuh perempuan yang anti-male gaze. Yang dilukis Rika lebih cenderung menonjolkan tubuh secara apa adanya, memperlihatkan kepedihan rasa sakit dan perjuangan untuk mengatasinya. Perupa 27 tahun ini menampilkannya dalam sembilan panel dengan tujuh judul dipamerkan bertajuk “Rong: Citra Tubuh Ayurika” yang berlangsung pada 21 Desember 2022-4 Januari 2023 di Kiniko Art Sarang Building, Tirtonirmolo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ia menggoreskan kuas pada imaji tubuh-tubuh ini bertolak dari pengalaman pribadinya. Perupa ini memang memfokuskan karyanya pada tubuh perempuan. “Sebagian peristiwa yang kualami seperti kehamilan, kelahiran, hingga simbol-simbol sakral,” ujar Rika kepada Tempo, Jumat 30 Desember 2022.

Tengoklah karya berjudul 9 berukuran 200 x 250 sentimeter. Menggunakan bahan soft pastel, alumnus Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu menggambar perempuan yang sedang hamil sembilan bulan. Seperti raksasa dengan tubuh bengkak, dia sedang duduk setengah rebah dalam posisi nyaris bersila. Garis bekas jahitan juga terdapat pada perut buncit calon ibu berkelir ungu tersebut. Sembilan bulan waktu penantian panjang menjelang kelahiran buah hati. Ini adalah waktu gawat bagi seorang ibu. Rika diliputi kecemasan selama itu. “Rasanya seperti hidup dan mati, bayi selamat atau tidak,” katanya.

Buritan. TEMPO/Shinta Maharani

Lukisan lain berjudul Monggang terasa dramatis. Karya berukuran 200 x 235 sentimeter ini menggambarkan proses kelahiran seorang anak manusia. Tampak sebagian kepala si bayi yang berambut tipis itu keluar dari vagina yang menganga. Lagi-lagi Rika mengeksplorasi selangkangan yang jauh dari kesan mulus dan putih dalam warna cokelat bercampur hitam. Dia justru menampilkan selangkangan yang penuh luka dan kerutan. Sekuntum bunga berwarna putih mekar di bawah salah satu bokong. Sebuah narasi yang kontras.

Visual yang ekstrem muncul pada karya berjudul Mramong. Perempuan telanjang bertubuh besar dia gambarkan sedang duduk mengangkang di depan tungku. Selangkangan dan paha bagian bawah menyala terkena panas api. Lukisan berukuran 200 x 235 sentimeter ini membawa makna pentingnya keberadaan seorang ibu yang membawa kehidupan dan kehangatan.

Tidak hanya peristiwa yang dia alami, Rika juga menggambar temannya, seorang musikus perempuan, dalam posisi berdiri dan telanjang. Rika melukis figur bertubuh gemuk itu dari belakang dengan pantat penuh bintik-bintik berwarna merah. Sebagian punggung dan bokong perempuan itu berwarna hitam, penuh lipatan dan selulit. Rika juga mendatangkan model lukisannya saat Tempo melihat satu per satu lukisannya.

Rika menjelaskan proses berkaryanya, dia lebih dulu memotret model itu sebelum melukis. Ia memberi judul lukisan itu Buritan. Menurut Rika, bagian belakang tubuh perempuan adalah hal yang tersembunyi. Manusia sulit melihat tubuhnya sendiri, terutama bagian belakang, dan cenderung hanya memperhatikan bagian depan.

Lewat karya-karya itu dia ingin menonjolkan tubuh perempuan sebagai sesuatu yang beragam, tidak melulu indah versi masyarakat umum. Tubuh indah yang orang bayangkan selama ini: mulus, ramping, bersih, bahenol, dan putih. Menurut dia, hal itu hanya dipandang dari sisi estetis dan membatasi keunikan tubuh perempuan. “Menjadikannya tidak manusiawi,” tuturnya.

Karya Rika yang dipamerkan sebelumnya memang dikenal banyak mengeksplorasi torehan luka pada tubuh perempuan. Pada 2020 dia membuat tugas akhir di ISI Yogyakarta dengan judul “Bahasa Tubuh Manusia sebagai Ide Penciptaan Seni Lukis”. Dia mengolah rasa sakit, depresi, terluka, dan tidak nyaman perempuan, sebagian berasal dari pengalaman pribadinya.

Dalam perjalanannya, Rika terus mempelajari simbol-simbol yang muncul pada tubuh manusia yang dia kenali dalam kepercayaan Jawa. Contohnya tanda plus atau tapak jalak. Dalam ilmu Jawa kuno, orang mengenalnya sebagai tapak jalak. Di Bali, simbol itu dikenal sebagai tapak dara atau simbol penyatuan dualitas kehidupan atau Rwabhineda. Tapak dara digunakan untuk menolak marabahaya atau memberi ketenangan kepada seseorang setelah terjadi berbagai kejutan.

Rika Ayu Nilasari. TEMPO/Shinta Maharani

Bagi Rika, proses kelahiran anaknya memberikan kejutan dan pelajaran berharga dalam hidup. Rika harus menjalani operasi Caesar dalam kondisi sesak napas. Bayinya keluar dalam kondisi tubuh berwarna kebiruan. Operasi itu membuat jari-jarinya sulit menggenggam kuas selama tiga bulan selepas melahirkan. Rika memutar mencari cara agar tetap bisa melukis. Dia menggunakan media pastel dengan teknik menggosok di atas kanvas. Selain lebih mudah, bahan itu lebih aman untuk anaknya ketimbang cat minyak dan akrilik. Dia kerap mengajak anaknya melukis bersama. Anaknya mencoret-coret gambar Rika dan dia membiarkannya menjadi bagian dari karyanya.

Penulis pameran itu, Yaksa Agus, menyebutkan dalam lima tahun terakhir karya Rika membetot perhatian publik dan membuat mereka mengernyitkan dahi. Karya Rika makin matang sejak 2017. Dia berfokus mengeksplorasi tubuh yang tidak melulu menonjolkan sisi estetik dan bentuk erotis sisi luar tubuh. Tubuh yang dihadirkan menolak stigma realitas tubuh yang diyakini masyarakat seni hari ini. Tubuh dihadirkan bukan dalam bentuk indah, melainkan penuh dengan ekspresi dan penafsiran. Hal itu seakan-akan mengungkapkan banyak kisah yang disembunyikan dan dirahasiakan.

Karya Rika Ayu Nilasari menggabungkan citra, tanda, dan penanda. Citra adalah apa yang bisa ditangkap secara perseptual. Tanda bicara adalah sesuatu yang mengandung makna. Penanda merupakan citraan atau kesan dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual. Rong, salah satu kata dalam tajuk pameran itu, menurut Yaksa, bermakna rumah. Rong artinya sebuah lubang, semacam gua tapi kecil sebagai tempat tinggal binatang. Rong menjadi tempat bernaung, berlindung, berkembang biak, dan menyembunyikan anak-anak dari binatang pemangsa. “Pameran ini sebagai upaya untuk menunjukkan rumah, sekaligus ruang pribadi Rika,” ucap Yaksa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus