Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Malaysia, ketika politik bak "lemah pucuk", Maimun Yusuf tak ubahnya seteguk tonik. Meski sudah 89 tahun, perempuan itu masih berjaya mengayuh sepeda merahnya untuk mengejar satu kursi parlemen di Kuala Terengganu.
Sejak pekan lewat, Maimun, alias Tok Mun, berkampanye keliling Kampung Gong Gemia. Menembus lorong-lorong sempit, menempel poster kampanye berlogo anak kunci. Tok Mun sudah berhajat menjadi politikus. "Banyak yang harus diubah," katanya dengan gaya pemuka kawakan.
Tapi, tentu saja, politik tak segampang bisnis kain songket, pekerjaan sehari-hari sang nenek. Dia, misalnya, harus menguras tabungan hari tuanya. "Saya sediakan RM 3.000 (setara dengan Rp 9 juta) untuk kampanye dan pemilu," ujarnya.
Sebelum itu, dia sudah menyetorkan RM 10 ribu (Rp 30 juta) sebagai syarat pendaftaran kandidat. Anaknya langsung memprotes, keberatan harta Tok Mun timpas buat kampanye. Cucunya saja sudah tujuh orang.
Berjuang lewat jalur calon independen, Tok Mun siap melawan kandidat terkuat dari Partai Islam Se-Malaysia (PAS), juga koalisi penguasa alias Barisan Nasional, di wilayah Terengganu itu. "Saya kan punya pendukung sendiri," ujarnya, terkekeh. "Saya hanya ingin melihat Kuala Terengganu tempat terbaik buat rakyat."
Bersaing dengan 1.588 kandidat dari 20 partai lebih, termasuk 103 calon independen, setidaknya Tok Mun adalah potret gairah rakyat jelata dalam pemilu ke-12 Malaysia. Pemilu itu memperebutkan 222 kursi parlemen nasional dan 504 kursi pada tingkat negara bagian.
Banyak yang bermimpi Malaysia akan berubah setelah pemilu pada 8 Maret ini. Setidaknya mengurangi hegemoni Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu (UMNO), partai politik utama di negeri itu, yang merajai panggung kekuasaan sejak Malaysia merdeka pada 1957.
Setelah sekian lama tampak mulus, Malaysia belakangan repot dengan masalah antar-ras. Warga minoritas resah akan politik diskriminatif pemerintah. Puncaknya, sekitar 20 ribu warga India yang tergabung dalam Hindu Rights Action Force (Hindraf) melakukan aksi protes, November lalu.
Mereka menuntut persamaan perlakuan. Warga India yang Hindu merasa dipinggirkan oleh Melayu Islam. Terutama dalam soal pekerjaan, pendidikan, dan hak beragama.
Tak pelak lagi, aksi itu merupakan pukulan serius buat pemerintah Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi dari UMNO dan koalisi besarnya, Barisan Nasional. Memang, Barisan Nasional dibentuk oleh 14 partai, 35 tahun silam. Selain oleh UMNO, koalisi itu ditopang oleh dua organisasi penting berbasis etnis, Pertubuhan Cina Malaysia (MCA) dan Kongres India Malaysia (MIC).
Tapi orang Melayu, yang berjumlah hampir 60 persen dari 27 juta warga Malaysia, menguasai sektor politik dan ekonomi. Warga etnis Cina berjumlah sekitar 33 persen. Sisanya 8 persen, atau 2,5 juta jiwa, adalah keturunan India.
Itu sebabnya, setelah aksi protes warga India itu, MIC kembali berusaha menarik hati pendukungnya dengan tema kampanye "MIC Peduli" pekan lalu. Partai itu menegaskan dirinya kembali sebagai "pelayan warga India". Menurut mereka, ada berkah yang didapat selama dua dekade mendukung pemerintah.
Setidaknya mereka mampu mendirikan sekolah berbahasa Tamil, memelihara kuil-kuil, serta menghasilkan lapisan terdidik dan profesional. "Kami tak pernah mengatakan 'tidak' kepada Anda," ujar iklan partai itu di media Malaysia.
Rayuan itu rupanya tak begitu manjur. Seorang aktivis Hindraf, N. Surendran, mengatakan MIC tak punya keberanian memperjuangkan hak kaum India di hadapan pemerintah. "Kaum India marah karena merasa dipinggirkan," ujarnya. Jika partai itu sungguh-sungguh berjuang untuk kaumnya, kata dia, hidup etnis India tak begitu menyedihkan. Surendran memastikan akan mencoblos partai oposisi dalam pemilu nanti.
Isu berbau rasial itu sebetulnya sangat sensitif di Malaysia. Dulu, pada Mei 1969, negeri Melayu itu sempat diguncang kerusuhan anti-Cina. Huru-hara terjadi dua tahun setelah Singapura lepas dari Kerajaan Malaysia, dan sehari setelah Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman kalah pemilu.
Berangkat dari kerusuhan itu, Malaysia mengubah pendekatan politik ekonominya, dengan konsep Kebijakan Ekonomi Baru (NEP), dan memberikan kemudahan kepada bumiputera alias puak Melayu. Sejak itu, ketidakpuasan etnis bergerak di bawah selimut pertumbuhan ekonomi.
Memang, kesejahteraan negeri itu bergerak maju sejak Perdana Menteri Mahathir Mohamad memimpin pada 1981. Kini, pada 2007, di bawah Badawi, pertumbuhan ekonomi juga naik sampai 6,3 persen. Setahun sebelumnya, angka itu masih 5,9 persen.
Tapi banyak warga etnis lain tak puas dengan hak istimewa bagi bumiputera. Apalagi setelah UMNO mengalami krisis internal, dan Mahathir memecat deputinya, Anwar Ibrahim, pada 1998, lalu menjebloskannya ke penjara.
Sejak itu, Anwar didaulat menjadi simbol oposisi, menuntut reformasi politik di Malaysia untuk menggusur hegemoni UMNO. Kini Anwar Ibrahim memimpin Partai Keadilan Rakyat (PKR) dan bersama PAS menggalang Barisan Alternatif.
Spektrum oposisi makin berwarna karena disokong partai berbasis etnis Cina, tapi bertendensi kiri, Democratic Action Party (DAP), serta Partai Sosialis Malaysia. Karena itu, kampanye pada pemilu kali ini merupakan duel dua front: Barisan Nasional dan barisan oposisi.
Pada Pemilu 2004, Barisan Nasional menyapu 91 persen suara dari 219 kursi. Tapi banyak analis mengatakan suara Barisan Nasional pimpinan Abdullah Badawi akan mengalami penurunan. Popularitas Badawi, alias "Pak Lah", di mata etnis India turun drastis, dari 79 persen pada Oktober menjadi 38 persen pada Desember tahun lalu.
Meski suara warga India tak begitu signifikan secara angka, Barisan Nasional menyiapkan manifesto baru, Selasa pekan lalu. Mereka akan memperjuangkan "keamanan, perdamaian, dan kesejahteraan" bagi Malaysia yang multietnis itu.
DAP tak mau kalah. Dalam manifesto tandingan berjudul "Malaysia Bisa Berbuat Lebih Baik Lagi", partai dari barisan oposisi itu menuntut persamaan hak bagi semua etnis. Sekretaris Jenderal DAP Lim Guan Eng menyatakan, kemiskinan bukan masalah etnis Melayu saja. Banyak juga warga India dan Cina yang miskin, dan harus diberi hak sama.
Kampanye juga penuh ejekan, sepanjang pekan lalu. Badawi, misalnya, mengatakan oposisi hanya mampu memberi janji kosong. "Mereka bicara begitu karena tahu tak bisa memimpin negeri ini," ujarnya. Isu yang diributkan masih seputar ekonomi, etnis, dan agama.
Sebaliknya, pada kampanye di Pasar Selayang, Anwar mengecam para elite Barisan Nasional. Kaum penguasa itu ditudingnya menaikkan harga minyak dan memicu kenaikan harga barang dan jasa. Ia menuduh para elite mengeruk untung dari Petronas, perusahaan minyak milik negara, sekitar RM 100 miliar per tahun. Celakanya, kata Anwar, laba itu untuk kepentingan sendiri, keluarga, dan kroni Barisan Nasional.
Di luar ihwal korupsi, oposisi seperti mendapat angin dengan bangkitnya ketegangan rasial. Mereka yakin bakal mendepak pemerintah lewat pemilu. "Rakyat tidak puas karena pemerintah tidak bisa mengatasi persoalan," kata Wakil Presiden PKR Syed Husein Ali bin Syahab kepada Tempo. Apalagi semua itu isu lama. Ada pula kecurigaan, pemerintah sengaja menjaga isu perkauman, ekonomi, dan agama untuk kepentingan politik dominasi Melayu.
Keyakinan oposisi itu tampaknya terlalu tinggi. Chandra Muzaffar, intelektual Malaysia, melihat ketiga isu tadi tak akan meruntuhkan Barisan Nasional. "Soalnya, tidak ada ikatan kuat di antara tiga partai oposisi," kata profesor kajian global Universitas Sains Malaysia, Pulau Penang, itu. Jadi, pada hari pencoblosan pekan ini, suara oposisi mungkin hanya sedikit terdongkrak dibanding pemilu lalu.
Rapuhnya ikatan oposisi, kata Muzaffar, disebabkan oleh tidak adanya manifesto bersama. Belum lagi kendala kerja sama ketiga partai. Dia mencontohkan, jika PAS menggandeng DAP, pengikut yang terakhir malah akan marah. Soalnya, "Partai berbasis etnis Cina itu menolak negara Islam yang menjadi impian PAS," kata Muzaffar.
Tapi inilah Malaysia. Di balik politik saling curiga itu, toh rakyat tak begitu peduli. Di Kuala Terengganu, misalnya, etnis Cina malah tak peduli apakah Barisan Nasional atau PAS nanti yang menang. "Keduanya tak pernah melarang kami jualan babi," ujar warga di Kampung Cina.
Nezar Patria (Jakarta), Faisal Assegaf (Kuala Lumpur) (NST, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo