Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Kultur Arsitektur <font color=#CC3333>Rakyat</font>

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, yang dikenal sebagai Romo Mangun, meninggal sepuluh tahun silam. Erwinthon P. Napitupulu, arsitek alumnus Institut Teknologi Bandung, menelusuri dan mendokumentasi karyanya. Buku dokumentasi menggambarkan secara lengkap cara berarsitektur Romo Mangun, yang 6 Mei lalu genap 80 tahun. Rencananya tahun ini bisa disuguhkan kepada publik.

18 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika membaca berita itu di Internet, Erwinthon Parulian Napitupulu menangis tersedu: Romo Mangun meninggal dunia. Erwin adalah dosen arsitektur dan Kepala Laboratorium Komputer Institut Teknologi Bandung (ITB) ketika itu, dan belum pernah bertemu Romo Mangun. Namun dia langsung berangkat ke Yogyakarta untuk melayat. Di Gereja Kidul Loji, jenazah pastor dan arsitek itu, yang berpulang pada 10 Februari 1999, dibaringkan.

Di situ Erwin berjumpa dengan Romo Sandyawan Sumardi. Keduanya berbincang tentang karya-karya arsitektur Romo Mangun. Romo Sandi menyarankan Erwin menemui Romo Martin, yang kemudian mengenalkannya dengan Dini, asisten Romo Mangun. Penuturan Dini membawa Erwin pada 15 karya arsitektur Romo Mangun—semula Erwin cuma tahu empat karya. Ini kisah 10 tahun silam.

Menginap di tempat tinggal Romo Mangun di Wisma Kuwerta, Yogyakarta, setelah pelayatan itu, Erwin—kini 44 tahun—mengaku seolah ”kemasukan”. Sehingga dia makin bertekad menelusuri karya arsitektur Romo Mangun lainnya. Informasi masih amat terserak. Perlu napak tilas yang panjang untuk me­nelusuri dan menemukan cerita serta karya-karya arsitektur Romo Mangun.

Berkat ketekunannya, Erwin menemukan 82 karya lain. Dia juga mencatat lebih dari 1.000 tanda khas dalam arsitekturnya. Umpama, bentuk ­matahari dari pecahan keramik, coretan semen dua ekor ikan dan lima butir roti. ”Masih ada kemungkinan bertambah. Karyanya tidak hanya rumah tinggal, bangunan besar, atau gereja, tetapi juga masjid,” kata Erwin.

Erwin juga mendapat berbagai kisah tentang Romo Mangun yang mengerjakan proyek arsitektur hampir tanpa gambar. Dia hanya menggunakan selembar dua lembar kertas berisi coretan, dengan bahasa yang tidak umum. Desain arsitektur Mangunwijaya lebih mirip petunjuk pengerjaan pada tukang. Dia langsung mengerjakan pekerjaan tukang untuk memberikan contoh. Orang-orang bilang, tangan Romo Mangun kasar seperti tangan tukang.

Semua hal ini membikin Erwin makin mabuk kepayang. Dia memberani­kan diri melepas pekerjaannya sebagai dosen ITB demi melanjutkan pendokumentasian karya arsitektur Romo Ma­ngun. Tak terhitung berapa kali dia bolak-balik Bandung-Yogyakarta. Dia mengukur sendiri secara manual bangunan karya Romo Mangun, karena tak ada sketsa tertulis. Bahkan Erwin sempat tersesat dan kebingungan ketika mencoba membuat denah rumah Kuwera. ”Arsitektur Romo Mangun yang ini rumit luar biasa. Saya tidak bisa paham,” katanya.

Dokumentasi aneka catatan, foto, karya arsitektur itu telah dikomputerisasi. Erwin mengaku beruntung mendapat kesempatan membuka lemari—yang belum pernah dibuka orang lain—berisi catatan dan sketsa Romo Ma­ngun. Semua data yang dia kumpulkan ada sekitar 1.600 halaman. Menurut Erwin, kerjanya kini sudah mencapai 80 persen.

Berkat ketekunannya, Erwin mendapat penghargaan khusus Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk kategori Pendokumentasian Terbaik 2002. Puluhan mahasiswa yang tertarik pada karya Romo Mangun menjadikan Erwin sebagai rujukan. Dia juga pembicara di berbagai diskusi memperingati 80 tahun kelahiran Romo Mangun dan 10 tahun meninggalnya arsitek besar itu. Salah satunya di Goethehaus, Jakarta Pusat, dua pekan lalu.

l l l

Mangunwijaya adalah pastor kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, 6 Mei 1929, dan kini sudah tenang di pembaringan Tuhan sejak 10 Februari 1999. Dia berhasil membuktikan bahwa dia adalah arsitek yang paling dikenal. Ini berdasar survei sederhana Erwinthon kepada mahasiswa baru arsitektur. Ketika mereka diminta menyebut 10 arsitek Indonesia yang ada dalam pikir­an mereka, Romo Mangun menempati ­urutan pertama di atas arstitek Masjid Istiqlal, Jakarta, F. Silaban.

Rumah kaum papa di pinggir Kali Code merupakan karya Mangunwijaya yang paling banyak diingat. Karya arsitektural tersebut dianugerahi penghargaan arsitektur internasional bergengsi, Aga Khan Award, pada 1992. Bahkan namanya sempat menjadi pembicaraan di dunia internasional pada akhir 1980an.

Romo Mangun dengan para mahasiswanya dan masyarakat sekitar mengubah permukiman di pinggir kali yang biasanya identik dengan kumuh dan jorok menjadi kawasan bersih, apik, dan artistik. Bedengbedeng kardus kaum pendatang menjadi rumah susun berdinding anyaman bambu dicat warnawarni, sealur dengan garis ­anyaman.

Karya Romo Mangun itu, menurut arsitek senior dan ahli konservasi Han Awal, sangat progresif. ”Memang kelihatannya kontradiktif. Walaupun di emperan kali, karyanya tetap menjadi jawaban urbanic life,” katanya. Menurut Han, Romo ingin membuktikan tradisi tak hanya perlu tempat tapi perlu prediksi ke masa depan. Ada dua macam metode yang digunakan Romo Mangun, pendekatan intuitif serta rasional transparan.

Metode rasional transparan tampak pada karya permukiman Kali Code. Romo Mangun mengikutsertakan masyarakat dalam berkarya, sejak pembentukan konsep sampai hasil akhir. Romo Mangun hanya memberikan contoh cara mengecat. Lalu, dengan bantuan asistennya, warga mengecat sendiri bangunan tersebut. ”Sehingga timbul perasaan bangga dan rasa memiliki. Ini sesuai dengan keinginannya mengangkat harkat manusia,” kata Han, peraih penghargaan Profesor A.A. Teeuw 2007.

Ciri khas lain karya Mangunwijaya di Kali Code—dan yang lainnya—adalah menggunakan bahan yang dapat ditemukan di tempat, juga barang bekas. Han Awal ingat, ketika menemukan pipa pembolong beton untuk drainase, Romo Mangun langsung menyambar, ”Wah, ini bisa digunakan untuk tiang.” Lalu pipapipa itu diisi beberapa besi dan semen cor, jadilah tiangtiang untuk menopang pendapa tempat pertemuan warga di pinggir­an kali, yang berdiri tanpa mengganggu jalannya air.

Sayangnya, kawasan Kali Code tak secantik dulu lagi. Dilihat dari atas jembatan, bangunan warisan itu tak tampak istimewa lagi. Tak beraturan, kusam, tak beda dengan rumahrumah lain di pinggir kali. Jendela bambu miringmiring, reot. Catnya yang dulu berwarnawarni tak lagi moncreng, kelihatannya sudah lama tak disentuh kuas dan pewarna baru.

Menelusuri kompleks rumah ­susun bambu itu, tampak sebagian besar kayu gelugu blandar bawah, penyangga dinding yang memanjang, keropos. Talang sengnya bolongbolong, temu besi berkarat dimakan hujanpanas. Keceriaan dan keindahan kampung bambu Code seakan tercerabut.

Bagaimanapun, menurut Han, karya arsitektur Romo Mangun merupakan pengecualian pada zamannya. Pada masa itu, banyak arsitek terpengaruh arsitektur modern Barat seperti karya Oscar Niemeyer dan Le ­Corbusier. ”Nah, Romo Mangun lain,” katanya. Padahal, jika melihat pendidikan arsitektur, Romo Mangun, setelah tiga tahun di ITB dan melanjutkan di Rhei­nishWestfaelescher Technische Hochschule, Aachen, Jerman, seharusnya berada pada arus besar itu.

Tepatnya, menurut Han, Romo Ma­ngun membuat karya dengan selalu melihat situasi masyarakat. Misalnya, ketika membangun Gereja Katolik di Ci­lincing, Jakarta Utara, Romo Mangun ingin ada corak Betawi, dengan atap sedikit miring. Tetapi di ruang dalamya modern: ada empat tiang berpayung, parabolik yang merupakan teknologi yang didapat Romo Mangun dari Barat. ”Dia terpengaruh arsitek spesialis pembuat kapel asal Jerman, Felix Schmid,” kata Han Awal, yang sempat membantu Romo Mangun dalam proyek tersebut.

Pada awalnya Han dan Mangunwijaya tak mudah mengawinkan konsep arsitektur seperti itu. Menurut Han, arsitektur Betawi sendiri agak sulit diformulasikan. Tak ada yang khusus dari corak Betawi, melainkan sudah tercampur gaya kolonial dan kultur lain. ”Jadi diputuskan gaya modern, tapi diberi corak,” ujarnya.

Keberpihakan Romo Mangun untuk mewujudkan hunian untuk rakyat memang tak diragukan lagi. Keberpihakannya begitu jelas. Pada masa­nya juga masih ada arsitek setipe itu. Di Surabaya ada Johan Silas. Guru besar dan pendiri Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) itu merupakan salah satu tokoh di balik program perbaikan kampung, Kampung Improvement ­Program (KIP). Di Bandung, almarhum Hasan Poerbo, guru besar Teknik Arsitektur ITB, juga dikenal sebagai arsitek prorakyat yang mempertimbangkan aspek manusiawi dalam setiap pembangunan.

Jejak arsitek prorakyat juga diikuti Rektor Universitas Diponegoro, Semarang, Profesor Eko Budihardjo. Menurut Eko, belajar seni membuat bangunan harus kembali ke kehidupan nenek moyang. ”Dari nenek moyanglah kita belajar tentang kearifan menentukan bahan bangunan yang murah dan kuat,” ujarnya. Dewan Penasihat Pembangunan Kota Semarang ini yakin bisa menciptakan perencanaan pembangunan rumah sederhana. ”Masyarakat kita mempunyai kemampuan membangun rumah yang lebih baik, sederhana, dan murah,” katanya.

Tapi, tetap ada kritik untuk Mangunwijaya. Dia intuitif dan tak ­mengikuti aturan baku dalam arsitektur. ”Dia mem­bongkar sesuatu yang sudah perfect di dalam tradisi, karena ingin memasukkan unsurunsur baru,” ujar Han. Selain itu, menurut Han, Romo Mangun dikenal sebagai orang yang pemarah dan otoriter. Tentang ini, Erwinthon berseloroh, ”Untung, saya tidak pernah bertemu langsung.”

Ahmad Taufik, L.N. Idayani (Yogyakarta), Soh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus