Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merapikan lembaran uang lecek pernah menjadi rutinitas Ning Utami. Dia bukan pegawai tempat penukaran uang. Ning adalah sekretaris Gereja Salib Suci, di Jalan Tugu Raya, Koja, Jakarta Utara. Menghitung uang derma dari jemaat setelah misa kebaktian menjadi salah satu tugasnya.
Sekitar 1988, pada awal bertugas di gereja itu, Ning masih kerap menjumpai uang lusuh—sebagian besar malah—yang didermakan jemaat ke gereja. Ratarata pecahan Rp 100. ”Banyak uang yang amis bau ikan,” katanya. Jumlah uang derma kebaktian pun tidak pernah mencukupi untuk kebutuhan operasional gereja. Uang yang terkumpul seusai misa ratarata Rp 30 ribu.
Wujud dan jumlah uang derma itu mencerminkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar gereja saat itu. Uang kumal bau ikan berasal dari jemaat yang bekerja sebagai nelayan. Sebagian hasil penjualan ikan langsung dibawa mengikuti misa untuk didermakan. Berlokasi di pinggiran Jakarta Utara, Gereja Salib Suci memang dekat dengan perkampungan nelayan.
Lingkungan masyarakat pinggiran Jakarta Utara itu tak lepas dari perhatian Romo Mangunwijaya saat merancang arsitektur Gereja Salib Suci pada 1982. Bagi pastor, budayawan, sastrawan, sekaligus arsitek itu, masyarakat tak boleh ditinggalkan. Sikap berpihak pada masyarakat bawah ini sudah terbukti dalam proyekproyeknya yang lain, semisal pembenahan permukiman Kali Code, Yogyakarta.
Romo Mangun merancang Gereja Salib Suci dibantu arsitek Han Awal. Konsepnya: gereja harus terbuka, bersahaja, akrab dengan lingkungan, baik alam maupun sosial. ”Pesannya siapa saja boleh masuk, bisa berteduh,” kata Antonius Wahyuliana, biasa dipanggil Romo Wahyu, pastor kepala di gereja itu. Tentu aspek estetika tak ditinggalkan.
Jadilah Gereja Salib Suci yang terbuka. Tampak luar, bangunan utama gereja berukuran sekitar 40x40 meter itu laiknya balai desa berbentuk pendapa. Tak ada dinding, hanya teralisteralis besi besar yang memisahkan ruang luar dan dalam. Teralis sekeliling gereja membentuk gambaran pohonpohon kehidupan, seperti dilukiskan dalam Kitab Yeremia. Sebagai pagarnya, ditanamlah bungabunga soka di sisi yang dekat dengan jalan.
Bangunan gereja disangga empat pilar utama besar berbentuk payung obor yang melambang empat Injil. Ornamen lidah api di puncak payung mengingatkan peristiwa Pantekosta, Roh Kudus turun atas para rasul. Bangkubangku besi membentuk setengah lingkaran menghadap altar di depan. Meja altar terbuat dari batang kelapa (gelugu) berbentuk kayu bertumpuktumpuk.
Memayungi bangunan, atap berbentuk joglo dengan kemiringan atap utama hampir 90 derajat. Agar tak longsor, gentingnya diikatkan pada kayu dengan tali tembaga. Lantai granit warna kusam dan kayu penyangga genting berwarna hitam. ”Seperti gereja desa di tengah kota,” kata Romo Wahyu. ”Gerejanya ndeso banget, tapi adem,” Ning mengisahkan kesan pertama melihatnya.
Menurut Yori Antar dari Kantor Han Awal & Partners Architects, justru itu ciri khas sekaligus kelebihan arsitektur rancangan Romo Mangun: modern tetapi menonjolkan unsur lokalitas. Pilar soko guru megah menunjukkan struktur yang sungguh modern. Tapi atap joglo memunculkan suasana khas lokal. ”Atap joglo itu keluar dari jiwa Romo Mangun yang romantis,” katanya. Jika ditanya langgam arsitektur apa yang diterapkan, ”Romo selalu bilang arsitektur Nusantara.”
Yori, yang juga putra Han Awal itu, masih mencamkan pertimbangan Romo Mangun yang merancang gereja tak berdinding. ”Ini rumah Tuhan, rumah siapa saja, jadi tidak eksklusif,” katanya mengingat Romo. Keterbukaan itu sekaligus menjadi kritik atas arsitektur rumah ibadah yang glamor tapi eksklusif sehingga membuat jeri umat untuk mendatangi. Komposisi ruang terbuka gereja dengan struktur seperti tenda itu menjadi koreksi pola gereja abad pertengahan yang menjulang dan bersuasana mencekam.
Gereja Salib Suci menegaskan bahwa Romo Mangun termasuk di antara sedikit arsitek yang mampu menerjemahkan arsitektur yang baik dan benar. ”Arsitektur yang baik itu asal indah saja, tapi yang benar adalah yang bisa diterima lingkungannya,” Yori menjelaskan. Selain keterbukaan dan kesederhanaan yang menjadikan gereja itu luwes dengan lingkungan sosialnya, desain gereja juga ramah terhadap lingkungan alam.
Memasuki lokasi gereja, pohonpohon rindang seakan menyaring udara panas pesisir Jakarta. Dua pohon sawo kecik tumbuh di depan bangunan utama, menjadi semacam gapura, dan beragam pohon tumbuh mengelilingi gereja. Pepohonan memang sengaja dipertahankan. Untuk itu, bangunan pastoran di samping gereja, misalnya, bentuknya tidak simetris benar, agar tak harus menebang sebatang pohon rindang di lokasi yang bersinggungan.
Pendirian Gereja Salib Suci sudah dirintis sejak 1960. Umat di lingkungan itu sebelumya masuk Stasi Timur Gereja ST. Franxiscus Xaverius, Tanjung Priok, meliputi Kring TNI Angkatan Laut Dewa Ruci, Kring Polisi Airud Kebantenan, dan Kring TNI Angkatan Darat Jon Air. Pada 1 Januari 1977, barulah umat Stasi Timur memiliki administrasi sendiri terpisah dari gereja induknya.
Pencarian lahan untuk gereja sudah dimulai sejak 1960an itu. Setelah beberapa calon lahan batal, diperolehlah lokasi yang ada sekarang. Seorang agen titipan barang menawarkan tanahnya seluas 7.980 meter persegi di daerah Tugu, yang segera dibeli Keuskupan Agung Jakarta. Meski terpencil, lokasi gereja ini sarat catatan sejarah.
Daerah Tugu merupakan lokasi penemuan prasasti berbahasa Sanskerta berhuruf Pallawa, dari masa Kerajaan Tarumanegara (sekitar abad ke5 Masehi). Lokasi gereja diyakini sebagai lokasi gereja tua Portugis pada 1678, yang dipindah setelah rusak menyusul pemberontakan Cina. Orang Portugis memang pernah ditinggal di daerah ini. Sebagian orang meyakini kata ”porTuguese” menjadi asal nama daerah. Setelah Malaka jatuh ke tangan Belanda, 1641, banyak orang Portugis yang menjadi tawanan perang dibawa ke Jakarta. Setelah bebas, mereka bermukim di daerah itu. Jejak mereka, misalnya, berupa musik keroncong—dikenal sebagai keroncong tugu.
Begitu lokasi diperoleh, pembangunan Gereja Salib Suci dimulai. Romo Mangun diminta merancang arsitekturnya. Dia merancangnya setelah meninjau dan berbicara dengan Keuskupan Jakarta. Konstruksinya kemudian dihitung oleh Wiratman dari PT Wiratman & Associates, dan pengerjaannya oleh PT Guna Bangun, yang meneken kontrak pada 28 Oktober 1982.
Romo Mangun mengawal pelaksanaan rancangan desain gereja itu dengan dialog bersama para pelaksananya. Menurut Yori, dalam hal ini Romo Mangun tak mengenal kompromi demi mempertahankan karakternya. Tetapi juga menyerap masukan dari pekerja. ”Seperti dirigen yang menghasilkan orkestra bangunan,” tuturnya.
Waktu terus berjalan, Gereja Salib Suci pun tak luput dari kerusakan. Sekitar tahun 2000, kerusakan mencapai puncaknya. Sebagian genting pecah, kayu lapuk, plafon hancur, tiang utama bocor. Selain karena usia, kerusakan bangunan gereja juga dipicu oleh pesatnya perkembangan lingkungan yang mungkin silap diperhitungkan ketika rancangan awal disusun. Jalan di depan gereja kini padat dengan lalu lintas truk kontainer. Getaran roda truk kontainer sarat muatan merontokkan genting, selain menghamburkan debu yang pekat.
Pada 2007, renovasi dicanangkan. Gereja diambrukkan, tinggal tersisa empat tiang utama. Bermodalkan kekuatan dana umat, renovasi dilakukan bertahap sekaligus mengubah sedikit elemen bangunan untuk menjawab perkembangan zaman. ”Semangat rancangan awal tetap dipertahankan,” kata Romo Wahyu. Upaya renovasi terinspirasi semangat Romo Mangun yang mengedepankan kemandirian dengan melibatkan umat.
Yori, yang dipercaya merancang desain renovasinya, bekerja sangat hatihati. Dia ingat pesan Romo Mangun bahwa arsitek adalah sosok yang memberikan jiwa pada bangunan. ”Saya tak mau kurang ajar, jadi meredam ego dan hanya mengupgrade, meningkatkan kualitasnya saja,” katanya.
Untuk itu, struktur bangunan, bentuk, dan tata ruang tetap dijaga. Perubahan kecil hanya berupa penambahan kanopi di atap untuk meluaskan area bangunan, dan dinding di sisi luar sebagai pagar penahan debu. Material dinding pun dipilih dari batu bata terakota yang terkesan lokal. Selain itu, direncanakan penambahan dua pendapa kecil di depan bangunan utama untuk ruang sosial. Dua pendapa itu kini belum dibangun.
Perubahan lainnya sebatas peningkatan material. Genting yang sekarang tak perlu diikat lagi karena menggunakan genting terbaru dengan sistem perekat yang lebih kuat dan tidak rawan bocor. Lantai granit lama yang kusam diganti dengan granit warna krem untuk mendukung pencahayaan. Penampang bawah genting yang dulu ditutup kayu tripleks sekarang ditutup plafon cokelat.
Yori meyakini Romo Mangun di alam lain tidak keberatan gereja rancangannya sedikit disesuaikan dengan masanya. Jiwa bangunan gereja yang ditatahkan Romo Mangun masih terpahat kuat hingga sekarang. Mewujud dalam suasana kesegaran dan keterbukaan.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo