SI sandal jepit Iwan Fals, 22, dituduh "mengganggu stabilitas nasional" dan "meresahkan masyarakat". Dan itu, tak lain lagi, karena ia menyanyi. Kali ini di Gedung Olah Raga, Pakanbaru, membantu anak-anak muda di kota itu.mencari dana. Akibatnya, pertunjukan sudah usai pada 13 April lewat, tapi Iwan baru boleh kembali ke Jakarta Sabtu pekan lalu. Sekitar 12 hari ia terpaksa mondar-mandir antara Hotel Riau, tempatnya menginap di Pakanbaru, dan Korem 031, tempat ia diinterogasi. Pada awalnya, Iwan, menilai band pengiring yang disiapkan kurang cocok denan seleranva. Maka. ia lantas tampil sendirian, menenteng gitar danberkalung harmonika, membawakan Demokrasi Nasi dan Mbak Tini - dua lagu yang tak ada dalam 10 albumnya, memang. Yang pertama diciptakan Iwan ketika masih duduk di SMP, di Bandung, 1975. Sebuah lagu yang berkisah tentang "Anak seorang menteri yang membuat- onar, menembak sampai mati kok nggak ada sanksi." Anak kelima dari sembilan bersaudara dari bapak seorang kolonel (purnawirawan) ini pun berang. "Sungguh tak sesuai dengan hukum di negeri ini, yang katanya demokrasi," ia berteriak lewat lirik lagunya. Demokrasi Nasi sudah sering dibawakannya, misalnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Lagu itu tak mengundang reaksi apa pun, selain tepuk tangan dan sorak-sorai penonton. Tapi bagi telinga aparat keamanan di Pakanbaru, konon, cukup menggelisahkan: Apalagi bila mereka mendengarkan lagu yang kedua Mbak Tini. Sebenarnya, Mbak Tini hanya sebuah balada seorang sopir truk pada sebuah proyek pernerintah. Entah kenapa si sopir dipecat, lalu terpaksa cari uang lewat Jalan serong, termasuk Mbak Tini, istrinya. Sampai di situ, sebagaimana kebanyakan lagu-lagu Iwan yang sukses, dua lagu itu memang berkisah tentang kesenjangan sosial. Seperti juga Guru Oemar Bakri, misalnya, dalam album pertamanya, 1981, yang membuat ia populer, berkisah tentang guru matematika yang masih tetap bersepeda dari dulu hingga zaman video ini, sementara tiap bulan gajinya dikebiri. Atau, dengan lagu yang pekat, ia berkisah tentang anak penyemir sepatu "tertidur berbantal sebuah lengan, berselimut debu", di seberang sebuah istana. Lain kali ia berkisah tentang sarjana yang selalu gagal mengetuk pintu kerja. Dan, sudah beberapa kali diciptakannya lirik tentang pelacur klas cri, yang selalu ragu antara dosa dan perut keroncongan. Dulu, ketika bencana Tampomas 11 jadi pembicaraan ramai, Virgiawan Listantyo, demikian nama lengkapnya, Fun menciptakan lagu yang tidak untuk direkam, karena produser menolaknya. Bukan karena lagu itu buruk, tapi dalam lirik disebut-sebut nama Habibie dan Roesmin Noerjadin - dua pejabat tinggi kini. Sedangkan dalam Mbak Tini nama si sopir dan istrinya sebenarnya agak men)urus Juga. Cuma, seperti dikatakan Iwan sendiri, setelah interogasi 12 hari itu, Danrem 031, Kolonel Sutjipto, tak menemukan bukti bahwa lagu itu "mengganggu stabilitas nasional". Iwan cuma dinasihati agar "membikin lagu yang membangun". Ada pun menurut Kolonel Sutjipto, yang dihubungi TEMPO lewat telepon, menyilakan menanyakan kasus ini kepada Iwan sendiri. Sebenarnya, dalam musik bertutur, kritik sosial bukan barang baru. Franky dan Jane dengan suara manis bisa berkisah tentang anak-anak yang heran karena gaji orangtuanya tak cukup untuk membeli pesawat televisi, sementara di luar, gedung dan mobil baru bermunculan. Leo Kristi, dengan suaranya yang agak dibuat-buat itu, meratap ketlka bencana memmpa rakyat kecll. Dan Ebiet G. Ade, sedikit lebih dalam, melihat bencana di dunia terjadi karena kita banyak dosa. Lalu, pernah dengar Mimpi Siang Bolong si Doel Sumbang? Penyanyi berusia 22 tahun yang suaranya kurang mantap ini, yang mengaku pernah diinterogasi sebelas kali karena, yah, lirik-lirik lagunya - berkisah tentang petani yang diperintah seorang raja yang "pabriknya banyak, uangnya di tiap bank". Sang raja suka makan gunung-gunung, sawah, dan kebun. Dalam album itu pula ada kisah tentang Hasyim Munaif, bromocorah yang mati tertembak, meninggalkan tiga istri, sebelas anak, dan seekor anjing. Radio non-RRI di Medan, konon, tidak suka memutar lagu itu yang mereka anggap "menyinggung soal yang rawan". Dan beberapa toko kaset di Surabaya tak berani menjual kaset itu. Tapi, sejauh ini, belum pernah ada larangan resmi - dengan surat keputusan misalnya - terhadap beredarnya sebuah rekaman musik. Yan ada, menurut Iwan Fals, teguran-teguran langsung yang menyarankan, "agar saya tak menyanyikan lagu-lagu tertentu." Juga, pihak produser kaset sendiri, menurut Hendri W.S. dari Musica Studio, produser Iwan, sudah melakukan pengamanan sebelum merekam lagu. Caranya, berkonsultasi dengan pihak yang di sebut dalam lirik lagu. "Seperti Transmigrasi dalam salah satu album Iwan, kami mintakan pertimbangan dari Departemen Transmigrasi," kata orang dari Musica Studio itu. Dalam musik, sebenarnya, kritik bisa terasa lebih lunak. Lagi pula, biasanya, semangat kritik sosial akhirnya akan surut juga sejalan dengan bertambahnya usia para penyanyi dan pencipta lagu. Iwan Fals, mlsalnya, meski mengaku akan terus mencipta menurut kata hati, hari depannya sudah dirancangnya sediklt bergeser dari musik. "Saya akan buka doyo di Condet," kata pemegang Dan I karate ini. "Juga, saya akan buka warung dan penyewaan buku komik," kata ayah satu anak yang gemar membaca buku silat ini. Tanpa mengurangi penghargaan pada niat baik mereka, kegarangan para penyanyi musik bertutur agaknya memang berlangsung pada awal-awal karier mereka. Sesudah itu, sesudah misalnya sebuah rumah gedung berharga puluhan juta berdiri, sebuah mobil atau lebih dimiliki, lirik pun boleh bertukar. Dalam album terakhir, Jangan Bicara (satu-satunya ciptaan Iwan sendiri dalam album ini), Iwan yang pernah ngompreng dengan Colt itu berdendang: Jangan bicara soa idealisme/Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita . . . Jarigan bicara soa nasionalisme/Mari bicara tentang kita yang lupa. . . Memang, itu bisa merupakan sindiran buat kita semua. Tapi juga bisa menjadi semacam permintaan maaf untuk kompromi dengan keadaan, dari mereka yang tak bersedia menjadi konyol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini