Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dari Diktat Gombal Sampai...

Ada guru yang menyesal jadi pendidik. Angket Tempo memperlihatkan, delapan dari sepuluh guru sekarang membutuhkan pekerjaan sampingan buat nafkah tambahan. mereka menghendaki buku wajib direvisi.

5 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GURU sejarah itu menceritakan kembali aksi PKI dalam peristiwa Jengkol 15 November 1961 lewat diktat stensilan. Bahasanya kacau dan sukar dipahami. Diktat 41 halaman - dicetak timbal balik, harganya Rp 700 - yang mungkin gagal menguraikan kisah sejarah itu akhirnya hanya sekadar jadi penguat "citra komersial guru" dewasa ini. "Dia pasti banyak untung," ujar seorang siswa SMP Negeri III, Manggarai, Jakarta Selatan, tempat diktat itu ditemukan. Diktat ini sebenarnya bisa berharga kurang dari separuh harga jual itu. Diktat yang terasa mahal ini agaknya lahir dari keadaan seperti yang terdengar dalam "suara guru" yang direkam angket TEMPO sejak pertengahan Maret hingga awal April lampau. Angket ini menghimpunkan pendapat 701 guru, atau 93,5% jumlah yang direncanakan: 750. Ada kesan bahwa, dalam menjawab, guru-guru ini cenderung membatasi diri. Hasil angket ini antara lain memperhhatkan, cuma dua d antara sepuluh pendidik itu kini yang mengaku mendapat nafkah yang cukup dengan gajinya. Kebanyakan guru sekarang membutuhkan pekerJaan sampingan buat memenuhi biaya hidup, begitu pengakuan 80,5% dari mereka. Sepertiga dari kaum pendidik ini (34%) menyatakan tidak akan menolak hadiah yang diberikan orangtua murid langsung kepadanya. Lantas, separuh mengakui bahwa pemberian pelajaran tambahan (les) - yang mungkin sudah menjadi cara menambah penghasilan bagi guru - kini memang banyak dlselenggarakan. Sementara itu, Badan Pembantu Pelaksana Pendidikan (BP3) - yang direncanakan akan diubah lagi menjadi Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG) - oleh 22% dari 701 guru itu dikatakan tidak memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan mereka. Walau tak langsung disebutkan sebagai pekerjaan sampmgan, produksi diktat tadi yang merupakan sari dari buku wajib Sejarah Perjuangan Bangsa (SPB) tadi boleh jadi mendatangkan penghasilan tambahan yang lumayan bagi produsennya: sang guru. Sampai sekarang buku SPB terbitan Departemen P dan K tersebut itu dalam jumlah yang memang masih sangat terbatas. Karena itu, bagi 500 murid kelas 3 SMP III Jakarta, diktat buatan gurunya ini penting sebagai pegangan - walau harus dibelinya dengn harga yang agak berlebihan. Tapi simaklah ringkasan peristiwa sejarah yang ada di dalamnya. Peristiwa Jengkol - dikutip seperti aslinya - kisahnya ditulis sebagai berikut: "Gara-gara Bld merobek robek merah putih dirumah penduduk dan terjadi waktu genjatan senjata. Penduduk desa Jengkol Kecamatan Plantungan,Temanggung. Peristiwa ini meluas menjadi tanah garapan milik Pemerintah/PPN yg digarap liar oleh petani.Setelah diganti kerugian, secara tiba-tiba datang 3000 orang angg BTI, Pemuda Rakyat, Gerwani dan PKI menyerbu dengan arit, sabit, cangkul dan klewakng, shg banyak yg menderita luka-luka." Diktat macam beginilah yang menjadi pegangan murid, walau buku wajibnya sendiri yang tersedia sekarang dianggap tidak memuaskan para pengajar ini. Sepertiga (35%) responden menganggap buku wajib yang kini ada belum memadai sebagai bahan mengajar dan belajar. Malah, 86% dari mereka menyatakan, buku-buku wajib tadi masih harus diperbaiki isinya. Agaknya, perhatian para guru kini masih tinggi terhadap sarana buku wajib itu, walau ternyata ada yang memanfaatkannya untuk bikin diktat sebagai pekerjaan sampingan yang mendatangkan penghasilan tambahan. Dan makna penghasilan tambahan bagi banyak guru sekarang ternyata sangat penting. Misalnya bagi Guru Djumain, 34. Selain mengajar di SD Desa Biromaru Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, guru ini juga jadi petani. "Gaji saya bisa terlambat sampai empat bulan," katanya. Pada saat seperti itu, ketela pohon dan jagung, yang ditanamnya di sebidang kebun pinJaman orangtua muridnya, men)adl penopang hidup Djumain sehari-hari. Dalam memberikan jaminan hidup sehari-hari ini pula, sekolah pemerintah dan swasta tampaknya tak berbeda. Di antara 488 guru sekolah negeri, 81% mengaku membutuhkan pekerjaan sampingan buat memperoleh penghasilan tambahan. Jawaban yang serupa juga diberikan 79% dari 209 guru swasta - persentase yang hampir sama dengan yang diperlihatkan guru sekolah negeri. Hanya saja, kesibukan mengurus pekerjaan sampmgan tentu dapat menyita waktu sang guru dalam membuat persiapan buat mengajar. Sebagian besar dari mereka membenarkan kemungkinan itu: 59%. Tai 24% lagi ragu-ragu. Yang yakin bahwa pekerjaan sampingan tak bakal mengganggu guru nembuat perslapan sebelum ke kelas cuma 7%. Iskandar Wiryokusumo, 48, yang memperoleh gelar doktor di IKIP Jakarta pertengahan April lalu, mengkritik guru sekarang dalam hal membuat persiapan mengajar. Kini,begitu Wiryokusumo dalam disertaslnya, sebagian besar guru maslh menganggap bahwa tanpa persiapan yang cukup pelajaran toh bisa berjalan. Ia membuat kesimpulan ini setelah melakukan penelitian di Mojokerto, Madiun, Probolinggo, dan Blitar tahun lalu. Penelitiannya ini melibatkan 700 guru, 1.500 siswa dari 80 SMTP dan SMTA, serta lebih dari 80 pejabat pendidikan - misalnya Kepala Dinas Departemen P dan K - sebagai responden. Tidaklah jelas bagaimana tanggapan kaum pendidik terhadap kesimpulan Wiryokusumo. Tapi, ketika kepada responden angket TEMPO diajukan pernyataan "guru kini tidak lagi sempat menambah pengetahuan dengan membaca", yang setuju cuma 24%. Yang membantah, lebih besar, 39%. Namun 37% lagi memberikan jawaban ragu-ragu. Entah ada kaitannya dengan persiapan guru sebelum mengajar, entah tidak, pemberian pelajaran tambahan (les) sudah menjadi mode dalam beberapa tahun belakangan ini. Ia mengisyaratkan bahwa pemahaman murid yang merasa perlu ikut les itu "tidak sempurna" ketika dia berhadapan dengan gurunya di kelas. Separuh dari guru yang memberikan pendapat dalam angket ini mengakui, kini banyak guru memberikan pelajaran tambahan macam ini kepada anak didiknya sendiri. Kepada mereka diaiukan dua kemungkinan yang bisa jadi penyebab. Pertanyaan pertama: Mungkinkah kurikulum yang terlalu berat yang menyerahkan banyak guru memberikan pelajaran tambahan di luar sekolah ? Hanya 46% membenarkan kemungkinan ini, 16,5% mengatakan tidak, dan 37% lagi ragu-ragu. Tapi, 55% responden memang menyatakan, banyaknya mata pelajaran dalam kurikulum yang dipakai sekarang menyebabkan murld tak sanggup memahaml pelajaran secara mendalam. Pendapat seperti ini ditolak oleh 13,5% dari guru itu, sedangkan yang lainnya ragu-ragu. Pertanyaan kedua: Apakah les harus diberikan karena guru tidak terampil menerangkan pelajaran di kelas? Yang mengakui kemungkinan ini bahkan kecil sekali, hanya 8,5%. Ada 56,5% yang membantah tapi 35% lagi ragu-ragu. Dengan kata lain, mereka tidak begitu percaya bahwa latar belakang penyelenggaraan les adalah kelemahan guru dalam menerangkan pelajaran. Kedua jawaban ini boleh jadi akan memperkuat dugaan orang bahwa guru memberikan pelaJaran tambahan bukanlah terdorong olel keinginan mempercerdas muridnya Barangkali, les yang diberikan guru kepada murid asuhannya telah menjadi "kegiatan sampingan" yang bisa memberikan penghasilan tambahan. Seorang murid kelas dua IPA SMA Negeri V Bandung mengungkapkan kekecewaannya tentan im. Guru ilmu pastinya memberikan les dua jam dalam seminggu Untuk satu mata pelajaran, pcr bulan, murid yang mengambil pelajaran tambahan itu membayar R 5.000. "Yang ikut," katanya, "pasb mendapat nilai rapor lebih baik dari yang tak ikut." Di balik ini semua, di sekolahsekolah kini terdapat perbandingan jumlah murid yang tak berimbang dengan jumlah guru. Jumlah anak didik dalam satu kelas, demikian pendapat 76% responden melebihi kemampuan guru sehingga sulit mengawasi perkembangan mereka. Meledaknya jumlah siswa dan kurangnya tenaga guru, menurut Iskandar Wiryokusumo, membuat alat bantu dalam proses pengajaran di kelas jadi perlu. Agar pelajaran blsa tertanam pada siswa dengan lebih mantap, katanya. Yang dia maksud ialah segala sesuatu yang bisa menunjang proses pengajaran di sekolah dengan lebih baik. Misalnya film, foto, gambar-gambar, sampai dengan wawancara langsung dengan tokoh yang dlperlukan atau melihat mesin yang harus diketahui cara kerJanya. Begitu juga dengan pemanfaatan perpustakaan. Iskandar Wiryokusumo menyimpulkan, sebetulnya para guru menyadari pentingnya sumber belajar di luar buku teks itu. Tapi kenyataannya, mereka memang tak bisa berbuat banyak. Untuk perbaikan mutu pendidikan, pemerintah kini merencanakan peningkatan penataran guru di samping memperbaiki buku teks. Niat ini dinyatakan Menteri P dan K, Prof. Nugroho Notosusanto, Maret lalu. Tetapi, menurut pendapat 47% responden, biaya yang dipakai untuk penataran guru itu sebaiknya digunakan saja untuk melengkapi sarana pendidikan. Hanya 15% yang masih percaya akan manfaat penataran ini. Walau begitu, orang agaknya mendapat kesan bahwa di sekolah hingga kini murid hanya sekadar diajar menghafal dan belum diantar buat memahami materi pelajaran. Betulkah? Hampir separuh dari responden (46%) mengakui bahwa memang lebih mudah melihat perkembangan mund dengan Jalan mengecek hafalannya, ketimbang memeriksa pemahaman. Lebih-lebih lagi, seperti dikatakan 53% dari guru-guru ini, murid umumnya malas bertanya. Tapi apakah guru juga mengajak muridnya berdiskusi? Ada 31% yang menyatakan bahwa diskusi sulit dilakukan. Menurut mereka, lebih mudah menyuruh murid mencatat dan menghafal pelajaran. Dan cara ini tampaknya lebih banyak dipakai daripada metode menerangkan pelajaran dengan jalan bercerita. Hanya 18% yang tidak setuju menyebutkan bahwa menyuruh murid mencatat dan menghafal lebih banyak dilakukan guru daripada menjelaskan pelajaran secara bercerita itu. Yang memberikan jawaban ragu-ragu untuk ini ada 47% . Dan 31 % responden mengatakan bahwa kini sedikit saja guru yang menguji kemampuan muridnya dengan cara tanya jawab. TANPA mempersoalkan praktek yang sesungguhnya, dari jawaban yang diberikan para guru ini terlihat kesan bahwa di dalam diri mereka masih tersimpan kesadaran bahwa tugas guru adalah sebagai pendidik, di samping sebagai pengajar. Hal ini dinyatakan oleh 68% responden. Cuma 8% yang berpendapat bahwa tugas guru sebaiknya dibatasi sebagai pengajar saja. Yang ragu-ragu tentang peranannya ini 24%. Tapi, kesadaran tentang fungsi sebagai pengajar dan sekaligus pendidik ini justru diperlihatkan dengan lebih baik oleh guru yang berasal dari perguruan tinggi nonkeguruan, dibandingkan dengan lulusan IKIP. Dari 60 responden lulusan perguruan tinggi nonkeguruan, 59 orang (98%) mengatakan bahwa peranannya adalah sebagai pengajar dan pendidik. Sementara itu, dari 159 lulusan IKIP, yang mengakui peranan seperti itu cuma 147 orang, atau 92%. Perbandingan persentase ini sama dengan yang diperlihatkan guru tamatan SGB/SPG dan lulusan sekolah (bukan perguruan tinggi) nonkeguruan. Tamatan PGSLP/PGSLA, PGA/PGAA, dan Program Diploma IKIP masing-masing hanya mencapai 90%,88%, dan 88%. Sisanya, melihat tugas guru dibatasi sebagai pengajar saja - tak perlu sebagai pendidik. Responden angket TEMPO ini tersebar di Jakarta 26,8%, Jawa Barat 16,7%, Jawa Tengah 15%, Jawa Timur 15,4%, Sumatera Utara 12,7%, dan provinsi lainnya 13,4%. Mereka terdiri dari guru pria (62,2%) dan guru wanita (37,8%). Sebagian besar berasal dari keluarga pegawai negeri (Sipil dan ABRI) serta keluarga petani masing-masing sebanyak 27%. Yang datang dari keluarga pedagang 19,1%, dari lingkungan pegawai swasta sebanyak 10,9%. Yang berasal dari keluarga guru sendiri ada 14,8% dan yang 1,4% dari golongan di luar itu. Inilah sebagian dari guru di Indonesia yang pada awal 1980-an tercatat hampir 990 ribu: 665.264 (guru SD), 202.062 (SLTP), dan guru SLTA 120.466 orang. Para responden ini (61%) masih percaya bahwa masyarakat tetap menghargai profesi guru dewasa ini. Tetapi 9,5% merasa bahwa guru tidak lagi dihargai oleh masyarakatnya. Sedangkan yang 29,5% ragu-ragu. Mungkin karena kesan ini, atau boleh jadi pula karena tak puas akan gaji, 9,5% dari mereka menyebutkan akan memilih pekerjaan lain sekiranya terbuka kesempatan untuk itu. Yang menyatakan akan tetap menjadi guru, dan tak berpikir tentang pekerjaan lain, mencapai 71,5%, sedangkan 19% lagi menyatakan ragu-ragu. Sikap seperti ini agak merata untuk semua tingkatan. Dari 272 guru SD, 28% memperlihatkan sikap seperti itu. Begitu juga dari 243 guru SLTP dan dari 185 guru SLTA masing-masing 29% dan 28% menunJukkan slkap yang sama. Bahkan 5,6% dari guru yang sudah mengajar lebih dari 15 tahun mengatakan, masih ada keinginannya untuk beralih ke pekerjaan lain jika kesempatan terbuka. Keinginan buat pindah profesi yang terendah justru diperlihatkan oleh mereka yang belum sampai setahun menJadi pengajar: hanya 3,7%. Dan setelah itu, kian lama masa dinas, kecenderungan untuk beralih bidang pekerjaan makin surut: 13,3% untuk yang sudah menjadi guru antara satu dan lima tahun 9,9% dari yang sudah bekerja 6-10 tahun dan 6,4% dari mereka yang sudah menjadi guru antara 11 dan 15 tahun. Dalam kelompok yang masih ingin pindahbidang pekerjaan ini, 67,7% adalah guru pria, dan 32,2% guru wanita. Tapi kecenderungan beralih profesi itu diperlihatkan lebih tlnggi oleh para guru laki-laki - yakni 10,1% dari 436 guru pria yang jadi responden. Angka yang ditunjukkan guru wanita hanya 8%. Yang agaknya tak disadari para murid sekarang ini ialah adanya kemungkinan bahwa empat di antara sepuluh guru itu adalah orang yang sebetulnya tak bercita-cita menjadi guru dahulunya. Hal itu dinyatakan oleh 41% dari responden. Yang memastikan bahwa sejak semula dia punya keinginan jadi guru cuma 38%, sedangkan yang 21% lagi ragu-ragu. Tetapi, dalam barisan guru yang sejak dahulu memang tidak bercita-cita ja& guru ini, ada juga yang kemudian "betah" jadi pendidik. Jumlah ini lebih dari separuhnya, atau 56% dari mereka yang tak bercitacita jadi guru pada mulanya. Yang ragu-ragu hanya 27%. Tapi 17% lagi rupanya memang tak bisa menghayati pekerjaannya ini, sehingga masih berpiklr buat beralih ke bidang lain. Sebaliknya, di antara mereka yang sejak semula memang bercita-cita jadi guru, yang betul-betul "terpaut" dengan bidang ini tidaklah seluruhnya. Tapi, 91,1% dari mereka yang bercita-cita sejak semula itu kini yang menyatakan akan tetap setia dengan bidangnya ini. Yang 5,6% lagi menyebutkan jawaban ragu-ragu. Tapi, 3,3% dari mereka rupanya masih ingin berpaling ke profesi lain - jika ada kesempatan tentunya. Jumlah ini sama dengan 1,3% dari seluruh responden. Dan itu berarti, satu di antara kira-kira 78 guru dewasa ini adalah orang yang semula bercita-cita jadi pendidik, tapi kemudian "menyesal" memilih jalan yang sebetulnya diidamkannya dulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus