PARA perancang grafis telah bangkit. Diawali dengan pertemuan
awal tahun ini, terbentuklah IPGI (Ikatan Perancang Grafis
Indonesia), diresmikan 24 September lalu dengan sebuah pameran
rancangan grafis di Mitra Budaya, Jalan Tanjung Jakarta.
Dari tangan 40-an peserta dihadirkan bermacam rancangan grafis:
logo, kop surat, kalender, karcis pertunjukan, kulit majalah
atau buku, sampai rencana wadah barang dan uang kertas.
"Meneguhkan profesi perancang grafis," kata J. Leonardo,
Sekretaris-II IPGI, menjelaskan tujuan ikatan ini. "Meski selama
ini karya perancang grafis telah berkembang, si perancang
sendiri seperti dilupakan."
Mungkin Leo agak mendramatisir. Tapi biasanya orang memang tak
peduli siapa si pembuat -- ketika ia tertarik pada sampul buku,
bungkus rokok, prangko, apalagi inisial nama perusahaan yang
tercetak pada kertas surat atau. gambar uang kertas. Ah -- sama
saja dengan lagu: orang senang menerimanya, menggemari
penyanyinya, tapi tak tahu siapa yang menggubahnya. Lain dengan
lukisan -- biasanya ada pertanyaan: "Karya siapa, ini?"
Tapi berkembangnya rancangan grafis memang belum lama --
praktis baru di zaman yang disebut Orde Baru ini. Bisa dipaham.
Pekerjaan merancang segala hal yang berhubungan dengan
pencetakan tentu saja tergantung perkembangan percetakan
sendiri. Dan baru awal 70-an di sini dikenal cetak offset.
Meningkatnya pesanan rancangan grafis juga bisa dilihat dari
meningkatnya jumlah berbagai perusahaan, sehubungan dengan
masuknya modal asing. Tentu saja terutama yang berhubungan
dengan rancangan iklan.
Etik Sosial
Dilihat dari dua aspek tersebut, wajar bila rancangan grafis
dianggap hanya sebagai pelengkap. "Perancang grafis sebctulnya
selama ini berada di urutan belakang saja," kata Wagiono, 31
tahun, Ketua IPGI. Sebagai seni pakai (applied art), apa boleh
buat, rancangan grafis kecuali terikat oleh tujuan -- juga oleh
pemesan. Ini terutama dirasakan oleh kalangan grafis iklan.
Itulah salah satu hal yang menyebabkan pameran ini praktis hanya
menyuguhkan rancangan grafis non-iklan. Menurut Leonardo,
para perancang grafis iklan agak ragu-ragu ikut serta -- karena
hak karya itu telah ada pada pemesan. "Padahal selama ini belum
jelas benar masalah hak karya itu," kata Leonardo. "Dan salah
satu tujuan dibentuknya IPGI ialah untuk menjelaskannya." Sudah
ada konsep yang disusun IPGI tentang kode etik perancang grafis.
Antara lain menyangkut masalah standar honorarium, etik sosial
dan semacamnya.
Tapi absennya rancangan iklan (dalam pameran ini hanya ada
dua-tiga, dan tak menyolok), memberi kesan yang menguntungkan.
Bau konsumtif yang biasanya ditawarkan iklan tak terasa. Pameran
ini terasa 'bersih': lebih menawarkan grafisnya, daripada
barangnya. Sebagian besarnya, kecuali menggarap segi artistiknya
dengan pas, juga terasa punya semangat mencari kekhasan.
Nama-nama seperti T. Sutanto, Wagiono, Priyanto S., Karnadi,
Hanny, S. Prinka -- untuk menyebut beberapa saja -- agaknya
memang mencoba menyuguhkan rancangan grafis yang, yah,
Indonesia, begitu. T. Sutanto misalnya, yang banyak membuat
kulit buku terbitan LP3ES. Profil orang yang digambarkannya
biasanya memang memberi asosiasi "orang kita". Tentu, masalah
Indonesia atau bukan memang tak sederhana. Dan itu sangat
"tergantung pada pribadi perancang iklan masing-masing," kata
Wagiono pula.
Masalahnya menjadi jelas bila menyinggung rancangan grafis jenis
iklan. Misalnya, mengapa satu iklan perusahaan batik atau obat
selalu memakai potret orang Barat. Juga iklan barang keramik --
tak terasa lagi menawarkan barangnya tapi menawarkan satu gaya
hidup. "Yang digarap perancang grafis biasanya terbatas masalah
visualnya saja. Bagaimana membuat huruf yang baik, gambar yang
efektif, agar yang dituju tercapai," kata Ketua IPGI. Jadi bukan
yang lain-lain itu.
Adakah IPGI berkeinginan meniupkan semangat keindonesiaan? Baik
Wagiono, Karnadi atau Leonardo, mengatakan sulit. Meski mereka
setuju lewat pameran ini diharapkan ada dialog antar perancang
grafis mengenai masalah-masalah itu. Tentu dengan mengingat
bahwa rancangan grafis -- terutama yang berhubungan dengan
periklanan -- memang hanya bagian dari satu dunia bisnis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini