TAKBIR berkumandang di muka pejabat pengadilan. Tiga hari
sebelumnya, 25 pemuda telah pula berbondong-bondong ke
Pengadilan Negeri Yogya membaca petisi berjudul "Umat Islam
Indonesia Yogya menuntut keadilan sosial dan keadilan sejarah."
Diperkuat pula dengan spanduk yang berbunyi antara lain "Saya
pertahankan sampai titik darah penghabisan."
Tak ada yang gawat. Hanya saja, sebuah gedung tua yang terletak
di Jalan K.H.A. Dahlan 94, Yogya, sampai 18 September lalu belum
juga selesai dipersengketakan--walaupun proses hukumnya sudah
berlangsung selama 27 tahun. Pemuda-pemuda, yang menyatakan diri
"sebagai bagian umat Islam Indonesia di Yogya", menghambat
eksekusi keputusan pengadilan yang hendak mengembalikan gedung
tersebut kepada pemiliknya. Alasannya, hendak mempertahankan
"salah satu monumen sejarah perjuangan" yang kini telah menjadi
"pusat kegiatan sosial".
Akan Diobrak-abrik
Persengketaan mulai 1953, ketika Nyonya Lie Padang Nio menggugat
Pengurus Partai Masyumi Wilayah Yogyakarta. Tuduhannya Masyumi
menempati dan berkantor di rumahnya, di Jalan Ngabean 40
(sekarang Jalan K.H A. Dahlan 94), tanpa permisi kepadanya.
Masyumi memang berkantor di sana sejak 1949. Sebelumnya tempat
itu diduduki Tentara Pelajar dan dijadikan asrama tentara karena
dibiarkan kosong oleh pemiliknya yang pergi mengungsi. Lalu TP
dan Masyumi bertukar tempat. Masyumi sebelumnya berkantor di
Jalan Senapati.
Setelah keadaan tenteram Nyonya Lie, pemilik gedung tersebut,
berusaha meminta kembali gedungnya. Masyumi tak mau memberikan.
Janda tersebut lalu memperkarakannya ke pengadilan sebagai
perkara perdata. Belum lagi perkaranya putus penggugat keburu
mati. Tapi gugatan segera dilanjutkan oleh Kooe Tjay Goan dan
Nyonya Khoe Lik Nio yang mengaku sebagai ahli waris Nyonya Lie
Padang Nio.
Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta jatuh pada 1957. Pengurus
Masyumi harus mengosongkan gedung sengketa tersebut 10 bulan
setelah vonis. Sebab, menurut pengadilan, Masyumi memang
terbukti telah menempati gedung secara tidak sah. Tidak meminta
izin kepada pemiliknya, Nyonya Lie, maupun K.P.Y. (Kantor
Perumahan Yogya), sesuai dengan peraturan Menteri Negara
Koordinator Keamanan (4 Juli 1949) berkenaan dengan penggunaan
gedung-gedung yang ditinggal mengungsi pemiliknya.
Masyumi naik banding. Tapi putusan Pengadilan Tinggi di Surabaya
(waktu itu), 1962, tetap mengalahkannya. Berhubung Partai
Masyumi dibubarkan (1959) kasasi ke Mahkamah Agung diurus oleh
Yayasan Kesejahteraan Umat (YKU) Yogya. Tapj permohonan kasasi
tak dapat diterima. Sebab, menurut Mahkamah Agung, YKU "tidak
pernah menjadi pihak yang berperkara."
Namun sampai 17 tahun kemudian ternyata putusan pengadilan
tersebut tak dapat dilaksanakan. Berbagai upaya yang dilakukan
pihak penggugat -- dari mulai berperkara sampai sekarang telah
memakai jasa 11 orang pengacara secara bergantian -- tak dapat
"mengusir" penghuni. Penyediaan tempat lain sebagai pengganti
yang ditawarkan oleh ahli waris Nyonya Lie Padang Nio juga
ditolak YKU.
Beberapa kali Pengadilan Negeri Yogya memanggil para penghuni
untuk diberitahu tentang keputusan pengadilan. Tapi Pengurus
PII, (Pelajar Islam Indonesia), Muhammadiyah dan PPP (Partai
Persatuan Pembangunan), yang meneruskan kepenghunian Masyumi,
tak mengindahkan. Sampai kemudian datang perintah dari Mahkamah
Agung, 31 Mei lalu, yang mengharuskan pengadilan melakukan
eksekusi.
Pengadilan menentukan 18 September lalu sebagai hari eksekusi.
Tiga hari sebelumnya serombongan pemuda mendatangi kantor
pengadilan dan membacakan pernyataan yang ditandatangani 10
orang, mewakili berbagai organisasi Islam dan perseorangan yang
berkantor maupun tinggal di rumah itu. Isinya, antara lain,
minta agar pengadilan meninjau kembali keputusan eksekusi serta
keseluruhan perkara.
Pada hari eksekusi, ketika tim hakim melangkahkan kakinya ke
gedung sengketa, "demonstrasi" kecil menyambur mereka. Syukur
tak terjadi apa-apa. Wakil jurusita, Supoyo, memang tak dapat
menjalankan tugas eksekusi.
Setelah berunding 30 menit, Supoyo mengumumkan antara lain
Pengadilan menyerahkan rumah sengketa kepada penggugat, pemohon
eksekusi, tapi belum dapat mengosongkannya. Karena ada keberatan
dari penghuni. Oleh karena itu pengadilan memberi kesempatan
kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikannya sendiri.
Bagaimana penyelesaiannya? Abdul Malik mewakili YKU menyatakan,
penyelesaian sengketa perumahan "di samping masalah yuridis juga
harus mempcrtimbangkan masalah sosial". Sedangkan bagi Muchtar
Mansur, kuasa ahli waris Nyonya Lie, "secara yuridis rumah
tersebut sudah kembali kepada pemiliknya." Adapun soal
pengosongan, katanya kepada TEMPO, "tinggal menunggu waktu
saja." Tapi kalau melalui pengadilan, yang sudah berproses
sekian lama belum juga beres, "akan kami obrakabrik," kata
Muchtar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini