PERAWAN Desa ditolak beredar di Yogyakarta. Alasannya, demikian
suatu Surat Keputusan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), film tersebut akan membawa pengaruh buruk bagi pelajar
yang menontonnya. Tidak dijelaskan koran Yudha Minggu dan Pos
Film terbitan 21 September bilamana keputusan itu ditelurkan.
Tak ayal berita tersebut akan mengingatkan kembali pada kejadian
hampir tiga tahun lalu. Ketika itu terbetik berita pemerintah
daerah - terutama aparat kepolisian--menyatakan keberatan
terhadap upaya memfilmkan peristiwa pemerkosaan Sum Kuning,
gadis penjual telur. Bila tetap difilmkan, Musyawarah Pimpinan
Daerah Yogyakarta juga meminta, agar judul dan jalan ceritanya
diubah demikian rupa hingga tak memojokkan suatu pihak.
Alasannya, karena film itu hanya akan mengungkap luka pribadi
seseorang.
Bahkan Ny. Lamyah Moeljatno SH, hakim yang mengadili peristiwa
tersebut juga tak menyetujui pembuatan filmnya. Konon film itu
dianggapnya hanya akan menguntungkan segelintir orang -- betapa
pun dikerjakan dengan alasan kemanusiaan. Akibat keberatan
berbagai pihak, Badan Sensor Film kemudian menahannya selama dua
tahun hingga Perawan Desa (semula berjudul Balada Sumirab) gagal
mengikuti Festival Film Indonesia 1979 di Palembang. Baru
setelah 16 kali disensor, dan produser bersedia mengubah
beberapa adegannya, ia lolos juga, dan berhasil nengantungi
empat Citra di FFI 1980 Semarang.
Jadi benarkah Perawan Desa dilarang? Hubungan Masyarakat
Pemerintah Daerah Yogya meragukan kebenaran berita penerbitan SK
Wakil Gubernur DIY itu. Pernyataan serupa juga dikemukakan Badan
Pembinaan Perfilman Daerah (Bapfida). "Secara resmi kami belum
pernah membicarakan Perawan Desa," kata Pratomo, staf Bapfida
DIY . "Pengedar belum pernah menyodorkan film itu kepada kami."
"Masuk akal," sambut Thomas Soegito. Ketua BSF, "bila benar
Yogya melarang film itu beredar." Kenapa? Sekalipun
sesungguhnya BSF sudal, memberinya Surat Tanda Lulus Sensor.
Bapfida masih memiliki wewenang penuh untuk menerima atau
menolak suatu film beredar di wilayahnya. "Dari kacamata
kepentingan nasional film itu memang tidak apa-apa, tapi untuk
daerah bisa lain soalnya," lanjut Thomas. "Mungkin saja Yogya
menolak karena mempertimbangkan efek psikologis akibat
pemutarannya kelak."
Orang yang akan paling kecewa dengan berita tersebut adalah
Bucuk Soehato, pimpinan PT Safari Sinar Sakti Film, produsernya.
la begitu ingin agar filmnya diputar di Yogya, karena kisahnya
bersumber dari suatu peristiwa yang terjadi di kota gudeg itu.
Dari sini, ia mengharapkan pemasukan Rp 5 juta. Maka bila
penolakan atas filmnya terjadi, Bucuk tidak akan menyerah begitu
saja. Untuk menggolkan filmnya bisa beredar di Yogya, ia
bertekad, "meminta bantuan semua instansi," katanya.
Kalau Bucuk gagal, maka kebijaksanaan Bapfida Yogja, akan
merupakan suatu publisitas ekstra buat film yang dibuat dengan
biaya Rp 98 juta ini. Buat Sum Kuning yang sudah memulai hidup
baru, agaknya ini juga akan mengurangi tekanan psikologis --
siapa tahu orang Yogya sudah melupakan tragedi itu. Sebab adalah
Sum juga yang pernah menyatakan keberatan pengalaman pahit
perjalanan hidupnya tadi difilmkan.
Bahkan Sum sejak Perawan Desa dibuat hampir tiga tahun yang lalu
sampai siap diedarkan, pernah berusaha menggugat sang produser.
Tapi setelah mengingat kelak, perkara dan kesaksiannya di
pengadilan akan membuka luka lama, sekitar dua bulan lalu kuasa
itu dicabutnya -- dan Sum tidak akan mengajukan gugatan apapun.
Safari Sinar Sakti Film boleh lega, meskipun Sum belum tentu.
Rekaman pahit itu toh seolah terbeber kembali manakala orang
menyebut Sum Kuning -- dan soal keadilan yang tak tuntas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini