Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Seniman muda asal Yogyakarta, Dionisius Caraka, 25 tahun, menggelar pameran seni rupa di Galeri Ruang Dini, Bandung. Berjudul Apel + Newton = Gravitasi, acara pameran tunggal itu berlangsung pada 13-24 Juni 2023. Sebuah mainan lato-lato ikut dipajang bersama rumus perhitungan benturan sepasang bolanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya berjudul 'Tumbukan Lato-Lato' itu tergolong baru yang dibuatnya pada 2023. Memakai papan triplek yang dicat hitam seperti papan tulis berukuran 88,5 x 73,5 sentimeter persegi dan dibingkai kayu coklat, Dionisius alias Dion, memasang lima lembar kertas. Isinya gambar lima posisi bola lato-lato yang diayunkan disertai rumus perhitungan benturannya. Di sudut kanan bawah, digantung sebuah lato-lato berwarna merah jambu.
Pameran Seni Rupa Gunakan Media Papan Kayu
Judul karya terbaru lainnya yang juga menggunakan media papan kayu seperti 'Agere Contra'. Sementara 'Catatan Binokuler', 'Cahaya Tampak', kemudian 'Mataku, Miopi dan Astigmatisma', dibuat pada lembaran kain kanvas. Dion juga menggunakan cat akrilik, arang, dan kapur, serta benda seperti tabung uji, kayu, batu, paku dan gerendel berkarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran seni rupa Apel + Newton = Gravitasi di Bandung. TEMPO/ANWAR SISWADI
“Sebagian besar karya seni yang saya hadirkan menggabungkan unsur visual papan tulis, teks, rumus ilmiah, dan kertas catatan,” katanya dalam katalog pameran, Ahad, 18 Juni 2023.
Pada sebagian karya terbarunya itu, Dion memunculkan ketertarikannya soal mata. Proses awalnya dimulai dari keinginan untuk belajar lebih banyak tentang mata manusia, struktur, dan gangguannya. Pembelajaran itu kemudian mengarah pada eksplorasi hubungan antara warna dan panjang gelombang cahaya, hingga soal persepsi.
Tiga Hal yang Saling Berhubungan: Mata, Fisika, dan Fenomena Sosial
Dia melihat tiga hal yang saling berhubungan, yaitu mata dengan fisika, khususnya dalam hal warna sebagai suatu panjang gelombang cahaya tertentu. Kedua, persepsi sebagai hasil kesan indrawi atau pengalaman empiris. Lalu hubungan mata dengan fenomena kehidupan sosial keseharian. “Keterkaitan antara ketiga elemen tersebut disajikan dalam bentuk visual karya seni,” ujarnya.
Selain itu, Dion membawa karya buatan 2022 dan 2021 yang kental dengan pelajaran fisika. Semasa sekolah, dia mengaku pernah panik saat ujian fisika karena rumus-rumus yang dihafalnya seketika menghilang begitu melihat kertas soal.
Pameran seni rupa Apel + Newton = Gravitasi di Bandung. TEMPO/ANWAR SISWADI
Kurator, Alia Swastika dalam tulisan di katalog pameran menyebutkan, kekaryaan Dion menangkap memori kolektif mengenai pengalaman masa sekolah sebagian besar siswa Indonesia lewat simbol visual papan tulis yang dipenuhi teks dan rumus fisika. Selain mengekspresikan rasa prihatin atas kurangnya pemikiran kritis dalam sistem pendidikan Indonesia, Dion juga menyelidiki fisika secara khusus dalam sistem produksi pengetahuan dan memori manusia.
Hubungan Manusia dengan Ilmu Pengetahuan
Pada karya berjudul 'Apel + Newton = Gravitasi', kata Alia, seniman mempertanyakan bagaimana hubungan kita dengan ilmu pengetahuan. Belajar memahami ilmu pengetahuan, lebih banyak dipaksa sebagai rutinitas traumatik dari pengalaman belajar, bukan sebagai taman bermain yang menyenangkan untuk memahami dunia.
Seniman lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta 2021 itu pada kurun tiga tahun terakhir ini menggali hubungan sains dan kehidupan sosial, ingatan pribadi dan kolektif, serta refleksi kritis pada lingkungan sekitar. Aktif ikut pameran bersama sejak 2018, Dion menggelar pameran tunggal perdananya pada 2022 dengan judul Ngitung Gegojekan di Yogyakarta.