Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Laut dan Anak-anak Gaza

Film dokumenter Gaza Surf Club diangkat dari kisah para peselancar di Palestina. Mewartakan tragedi dengan cara jenaka.

4 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada yang lebih mendebarkan bagi Sabah Abu Ghanem kecil ketimbang menghamburkan diri ke pelukan ombak. Di lautan di Jalur Gaza, Palestina, Sabah tak sekadar berenang. Ia juga bermain-main dengan papan peselancar. Persoalannya, usia Sabah kini 15 tahun. Keberadaannya di tengah gulungan ombak mulai memancing kegelisahan para pria di sekitar pantai. Tidak hanya karena Sabah perempuan, tapi juga lantaran, saat berenang dan berselancar, ia melepas kerudungnya agar tak tercekik.

Dianggap melakukan aktivitas haram, Sabah mendapat protes dari sepupu lelakinya. Namun Sabah tak mau berhenti. “Saya tak suka bila ada yang usil mengusik urusan orang lain,” katanya. Sutradara Philip Gnadt dan Mickey Yamine merekamnya dalam film dokumenter berdurasi 96 menit, Gaza Surf Club. Film ini menjadi salah satu yang diputar dalam Festival Film Asia Afrika, 24-28 April lalu, di Jakarta.

Philip Gnadt, sutradara asal Jerman, tak hanya membidik pergumulan Sabah di lautan Gaza. Mata kamera juga mengikuti keseharian gadis itu. Seperti saat Sabah curhat tentang keinginannya pelesiran keliling dunia dan kondisi politik yang tak menentu. Juga ketika dia memamerkan kuku berkuteks sambungan sebagai sikap kompromi meski, jika gurunya di sekolah memergoki dia mengecat kukunya, kuku itu bisa dicopot kapan saja karena dianggap haram. “Saya ingin menunjukkan sisi lain Gaza yang jarang terliput media,” ujar Gnadt kepada Tempo.

IMDB

Kisah tentang Gaza didapatkan Gnadt dari kawannya yang lahir dan besar di kota tersebut tapi kuliah di luar negeri. Dari situ Gnadt mulai meriset keseharian warga Gaza di tengah kungkungan konflik. Pada 2013, ia bersama tim menyambangi Gaza dan melobi sejumlah orang agar mau menuturkan kisah mereka. Dalam proses itu, salah satu bagian terumit adalah saat harus meyakinkan Rajab, ayah Sabah, mengizinkan putrinya terlibat dalam film. Namun produser Gaza Surf Club, Stephanie Yamine, akhirnya berhasil mendapat kepercayaan mereka. “Stephanie bicara berjam-jam dengan keluarga Sabah,” tutur Gnadt.

Gaza Surf tak hanya menampilkan Sabah. Ada juga Ibrahim N. Arafat, pria berwajah mirip pemain sepak bola Cristiano Ronaldo yang terobsesi pergi ke Hawaii, Amerika Serikat. Ibrahim berkukuh pergi ke sana karena, selain bisa “ugal-ugalan” berselancar, ia ingin melihat dan meriset berbagai toko olahraga di kepulauan tersebut. Ia bercita-cita memiliki sebuah toko peralatan olahraga. Namun mimpi Ibrahim tak mudah terwujud. Permohonan visa yang ia ajukan sudah lima kali ditolak pemerintah.

Tekad Ibrahim ini menjadi tulang punggung Gaza Surf Club. Sebab, pada Ibrahim-lah penonton menaruh harapan akan upaya seorang anak muda melawan luka perang. Maka, saat akhirnya ia berangkat ke Hawaii—kamera mengikutinya hingga ke sana—penonton dibuat berdebar karena senang. Terlebih dalam perjalanan itu Ibrahim melihat banyak hal yang kontras dengan kondisi Gaza. Misalnya saat ia nyeletuk tak pernah melihat perempuan berpakaian tertutup selama sepuluh hari tinggal di Hawaii.

Humor getir disajikan film ini. Ibrahim bercerita tentang cintanya yang bertepuk sebelah tangan karena perempuan asal Qatar yang ia sukai tak sudi tinggal di Jalur Gaza. Sementara itu, Abu Jayab, pria 40-an tahun, salah satu peselancar senior di sana, dengan entengnya berseloroh bahwa ia lebih khawatir akan papan selancar ketimbang anak-anaknya. “Anak bisa dibikin lagi, sedangkan papan kini mustahil kita datangkan dari Israel.”

Philip Gnadt semula berencana memakai kamera DSLR kecil agar nyaman merekam di Gaza. Namun niat itu diurungkan. “Setelah melakukan riset di sana, kami sadar warga Gaza sangat alami di depan kamera,” ucapnya. “Penilaian ini mungkin agak sinis. Tapi, dugaan saya, mereka terbiasa dengan kamera karena selama perang kehadiran media sangat masif di Gaza.”

Kamera juga merekam sudut-sudut Kota Gaza: bangunan-bangunan yang tak lagi utuh setelah gencatan senjata, ketatnya pagar perbatasan, serta konservatisme yang dibawa Hamas sebagai kelompok politik Islam di sana. Tampilan menyedihkan itu meneguhkan alasan sebagian anak muda mereka pada akhirnya menemukan kebahagiaan di lautan. Seperti kata Abu Jayab, di laut dia seperti berada di dunia lain. Dan, di laut, dia bisa melupakan banyak hal.

ISMA SAVITRI


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMDB

 

Sutradara: Philip Gnadt, Mickey Yamine

Aktor: Ibrahim N. Arafat, Mohammed Abu Jayab, Sabah Abu Ghanem

Produksi: Little Bridge Pictures, Westdeutscher Rundfunk

Bahasa: Arab, Inggris

Rilis: Januari 2017

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus