Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Mata Sunaryo, Sayap Shofianto

Pameran Seni Rupa Nusantara ke-10 digelar di Galeri Nasional Indonesia. Menyoroti krisis keterampilan pada karya-karya seniman.

4 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAMBAR mata kanan manusia dilukis besar-besar pada kain kanvas berukuran 3 x 2 meter. Arang menjadi material utamanya dengan sedikit cat akrilik berwarna putih pada bagian bola mata dan sekitar kelopak. Lukisan itu disusun bersama empat cermin berukuran hampir serupa sehingga membentuk kotak besar. Bagian depan kotak sengaja hanya ditutupi kain hitam sebagai penanda pintu masuk bagi pengunjung yang ingin melihat lukisan tersebut.

Ada nuansa intimidasi ketika masuk ke kotak besar itu. Sebab, dengan dukungan cahaya yang cukup, empat cermin memantulkan lukisan mata di hadapan pengunjung ke kanan, kiri, atas, dan bawah. Terkesan ada ratusan mata raksasa dari segala penjuru yang melihat ke arah pengunjung tanpa sekali pun berkedip. Pantulan bayangan pengunjung pun seolah-olah tak henti diawasi mata-mata raksasa tersebut.

Lukisan dengan instalasi cermin itu diberi judul Sejuta Mata. Pembuatnya perupa senior Sunaryo. Karya tersebut merupakan salah satu yang dipajang dalam Pameran Seni Rupa Nusantara di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 23 April-12 Mei 2019. Sunaryo menciptakan Sejuta Mata selama satu bulan pada Maret lalu. Idenya berasal dari keresahan perupa 75 tahun itu terhadap sisi lain kemajuan teknologi, yakni menghilangkan privasi dan memunculkan gesekan antarmanusia. “Teknologi seperti mata yang selalu mengawasi kita,” kata Sunaryo.

Pameran seni rupa yang digelar untuk kesepuluh kalinya ini (pertama kali digelar pada 2001) juga menampilkan karya 54 perupa Indonesia lain dengan rincian satu karya satu perupa. Sebanyak 19 karya, termasuk Sejuta Mata, dibikin oleh para perupa ternama yang diundang mengikuti pameran, antara lain Entang Wiharso, Heri Dono, dan I Made Djirna.

Berbeda dengan perhelatan serupa sebelumnya, pameran kali ini tidak lagi menitikberatkan pada keterwakilan suatu wilayah, tapi lebih menekankan pada tema yang diusung, yakni “Kontraksi: Pascatradisionalisme”. Tim kurator—terdiri atas Asikin Hasan, Sudjud Darnanto, Suwarno Wisetrotomo, Bayu Genia Krishbie, dan Teguh Margono—mengambil istilah kontraksi (contraction) dari kamus Oxford yang berarti proses mempersingkat kata dengan kombinasi dan peniadaan bunyi dalam ucapan.

Ada dua poin utama dalam tema kuratorial itu, yakni gagasan baru dan aspek keterampilan para perupa. Gagasan baru dikaitkan dengan ada-tidaknya perkembangan dalam seni rupa saat ini. Adapun aspek keterampilan berhubungan dengan terjadinya “krisis” akibat miskinnya aspek keterampilan pada karya-karya seni rupa belakangan ini. “Para seniman lebih asyik dengan narasi, wacana, atau ide pada karya-karyanya, sementara aspek keterampilan diabaikan,” ujar Suwarno Wisetrotomo.

Melalui bingkai itulah tim kurator memilih 55 karya yang terdiri atas lukisan, patung, grafis, batik, dan instalasi untuk dipamerkan. Semuanya dianggap sebagai ciptaan seniman yang selalu bergerak dengan ide dan terus mengeksplorasi teknik serta material dalam berkarya. Entang Wiharso, misalnya, menampilkan lukisan interaktif berjudul Hibernation: Ground Zero. Karya yang belum selesai itu menarik karena mesti melibatkan partisipasi pengunjung sepanjang pameran dengan cara menempelkan cap jari mereka di kain putih berukuran 3 x 5 meter yang beberapa bagiannya sudah bergambar, antara lain, bentuk lingkaran dan sosok pria tanpa kaki.

Ada instalasi burung garuda berbahan kayu jati yang memeluk globe pada bagian antara perut dan kedua kakinya. Karya itu diciptakan Dedy Shofianto dan diberi nama Jadilah Dirimu dari Bagian Dunia yang Terus Bergerak dan Berputar. Instalasi tersebut unik karena kedua sayap burung dapat bergerak jika ada pengunjung yang mendekat. Ini terjadi karena ada sensor gerak dan dinamo yang terpasang pada instalasi garuda. Selain itu, ada lukisan berjudul Hendra dan Topeng karya Supar Madiyanto yang menggambarkan sosok pelukis legendaris Hendra Gunawan (1918-1983) bersebelahan dengan seseorang yang seperti memakai topeng. Lukisan berukuran 120 x 160 sentimeter tersebut menarik karena terbuat dari kolase kertas pada pelat aluminium dan polywood.

PRIHANDOKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus