Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI tentang Sangkuriang, si lelaki pemburu yang jatuh cinta kepada ibu kandungnya. Di tangan Caravan Studio, legenda dari Jawa Barat itu mewujud dalam buku bervisual kekinian dan ramai warna. Gradasi coraknya lembut dengan penggambaran obyek yang proporsional, mengingatkan pada ilustrasi dalam buku-buku fantasi pengarang asal Denmark, Hans Christian Andersen.
Caravan Studio, yang berbasis di Jakarta, mengemas Sangkuriang ke dalam buku berjudul The Hunter and The Impossible Task. Buku itu dipamerkan dalam Bologna Children’s Book Fair di Italia, 1-4 April lalu, dua pekan setelah hajatan London Book Fair pada 12-14 Maret di Inggris. “Buku ini menjadi salah satu yang terjual di pameran buku anak Bologna,” kata Ketua Komite Buku Nasional Laura Bangun Prinsloo.
Selain buku legenda Sangkuriang, ada 23 buku anak yang laku di Bologna, di antaranya dongeng soal Danau Toba, Timun Mas, dan naga di Puri Besakih, Bali. Tiga buku berbahasa Inggris itu juga produksi Caravan Studio, yang dikomandoi Chris Lie. Sebelum ini, Chris pernah bekerja sama dengan rumah produksi Marvel. Desainnya juga dipakai untuk mainan figur Spider-Man dan Transformers.
Ketua Komite Buku Nasional Laura Bangun Prinsloo. TEMPO/M Taufan Rengganis
Laura menyebutkan buku anak Indonesia makin laku di negeri orang. Pembelinya beragam, dari negara-negara Eropa, Timur Tengah, hingga negara Asia lain seperti Nepal dan Malaysia. Bahkan lebih dari 40 persen penjualan atau sekitar 30 judul buku Indonesia di London Book Fair disumbang buku anak-anak. “Ini karena banyak yang menganggap ilustrasi buku anak-anak Indonesia menarik,” ujarnya.
Namun beda pasar beda selera. Laura menjelaskan, negara Eropa cenderung tertarik pada ilustrasi buku anak Indonesia yang digores manual dengan tangan. Sedangkan penerbit Asia kebanyakan tak mempersoalkan ilustrasi digital atau manual. Begitu pula untuk urusan konten. Ada negara tertentu, seperti Turki, yang menyenangi kandungan religi dalam buku-buku anak. Adapun negara Eropa dalam London Book Fair meminati buku yang ceritanya lekat dengan keseharian anak-anak. Akan halnya Nepal, buku cerita rakyat Indonesia banyak dipinang. Menurut Laura, kekhasan buku anak Indonesia terletak pada konten dan ilustrasinya yang penuh warna. Laura mencontohkan, karya-karya Caravan Studio dengan gambar yang realis dan kaya warna membuat anak-anak mudah memahami maksud cerita di dalamnya.
Peneliti sastra anak-anak dari Universitas Indonesia, Murti Bunanta, menyebutkan masih banyak buku dengan ilustrasi bagus tak “terangkut” ke pameran seperti di London dan Bologna. Di antaranya Putri Kemang serta Masarasenani dan Matahari. Dua buku cerita bilingual itu dikarang Murti dengan Hardiyono sebagai ilustrator. Buku-buku Murti antara lain beredar dan laku di Jerman, Jepang, Kanada, serta Korea Selatan. “Negara itu tinggi minatnya pada ilustrasi artistik dan unik yang bagi kebanyakan orang dianggap tidak bagus.”
Ilustrasi dalam cerita Sangkuriang, The Hunter and The Impossible Task.
Gaya ilustrasi yang unik juga menjadi titik perhatian dalam pameran “Pesta Cerita Anak” di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung, Februari lalu. Salah satunya ilustrasi binatang purba seperti kura-kura raksasa yang ditunggangi seorang bocah dan seekor monyet pada gambar lain. Gambar penuh warna itu karya beberapa ilustrator Indonesia hasil seleksi dan kurasi untuk acara London Book Fair 2019.
The Hunter and The Impossible Task
Kurator “Pesta Cerita Anak”, Riama Maslan Sihombing, mengatakan, dari sekitar 500 ilustrasi buatan 200 ilustrator yang masuk, 35 karya terpilih masuk pameran. “Ilustrasinya punya konsep narasi yang kuat, teknik yang matang, gaya ilustrasi yang orisinal atau unik,” tutur Ketua Kelompok Keahlian Komunikasi Visual dan Multimedia Institut Teknologi Bandung itu, Selasa, 30 April lalu.
Laura menyebutkan buku anak Indonesia makin laku di negeri orang. Pembelinya beragam, dari negara-negara Eropa, Timur Tengah, hingga negara Asia lain seperti Nepal dan Malaysia. Bahkan lebih dari 40 persen penjualan atau sekitar 30 judul buku Indonesia di London Book Fair disumbang buku anak-anak. “Ini karena banyak yang menganggap ilustrasi buku anak-anak Indonesia menarik,” ujarnya.
Riama menyebutkan buku anak di Indonesia berkembang tiga-lima tahun terakhir baik dari segi ragam cerita, kualitas ilustrasi, maupun peruntukan buku yang sesuai dengan tingkat baca anak. Menurut dia, keberagaman ilustrasi itu juga disebabkan oleh mudahnya mengakses referensi visual lewat media sosial. “Kualitas dan gaya khas setiap ilustrator makin muncul,” ucap Riama, yang mengajar desain dan ilustrasi buku anak di ITB. Riama menerangkan, ada tiga cara membuat ilustrasi yang umumnya dipilih ilustrator, yakni digital atau memakai aplikasi di komputer; manual atau gambar tangan dengan cat air, pensil, gouache, dan paper art; serta gabungan keduanya. “Biasanya ilustrator bekerja manual, kemudian menggarapnya ulang secara digital.”
Masarasenani dan Matahari
Secara umum, Riama melanjutkan, karakteristik ilustrasi Indonesia cenderung penuh, senang dengan latar belakang yang terisi dan ramai serta ingin memasukkan atau mengisi ruang dengan banyak obyek. Selain itu, ilustrator masih menampilkan obyek apa adanya seperti dalam kenyataan. “Belum memilih obyek untuk mengembangkan imajinasi anak,” ujarnya. Peraih penghargaan Ilustrasi Buku Anak Terbaik dari Ikatan Penerbit Indonesia pada 1991 lewat buku Katak Hendak Menjadi Lembu itu menyarankan para ilustrator menggali dan memperkuat gaya masing-masing. Ilustrator harus belajar dari karya ilustrasi seniman serta desainer yang berpengaruh.
The Letter Carrier
Meski buku-buku anak kita sudah mulai dilirik pasar internasional, sayangnya, penjualan di dalam negeri justru melempem. “Pasar Indonesia lebih menyukai buku anak impor,” kata Laura Prinsloo. Desainer, penulis, dan ilustrator buku anak, Andi Yudha Asfandiyar, menyebutkan, dalam sepuluh tahun terakhir, buku anak yang dicetak masih dipengaruhi kekuatan industri arus utama atau penerbit besar. “Penerbit kecil mengikutinya dan menilai itu sebagai produk yang laku,” ucapnya.
Chici Is A Special Princess
Penerbit besar, menurut Andi, masih berkiblat pada patron gambar lama. Tipe manga dari Jepang atau manhwa asal Korea berpengaruh. Adapun ilustrator Evelyn Gozali menilai ilustrasi buku anak Indonesia beragam baik secara bentuk maupun teknik. Namun hal itu justru membuat ilustrasi Indonesia belum memiliki kekhasan. Ini berbeda dengan ilustrasi Jepang, yang tidak menunjukkan budayanya tapi kekhasannya bisa teridentifikasi dalam sekali pandang. Begitu pun ilustrasi Iran, yang gaya gambar ilustratornya penuh surealisme.
Mega And Dad's Old Bike
Namun Evelyn menganggap kekhasan karya ilustrasi di dua negara itu bisa muncul karena perjalanan waktu. “Dengan berjalannya promosi yang dilakukan Indonesia lewat pameran buku dan ekonomi kreatif, saya yakin ilustrasi buku anak Indonesia akan teridentifikasi ciri khasnya,” tutur Evelyn, yang juga pemilik sekaligus direktur seni dan kreatif penerbit Yayasan Litara.
Upai Save the Forest
Evelyn pun terus berusaha menciptakan kekhasan ilustrasinya. Ia biasa menggambar dengan cara digital atas pertimbangan lebih praktis dan efisien. Ihwal konten, dia senang menyorot sisi naif anak dan berimajinasi dengan cerita fantasi yang menggabungkan aspek realitas dan budaya. Dalam komiknya yang berjudul The Chair, misalnya, Evelyn membuat cerita tentang kursi yang lahir pada 1974. Kursi itu melewati sejumlah periode, dari kolonial hingga kemerdekaan, sampai dijual di depan toko supermarket lokal di Kota Tua, Jakarta Barat. Komik tersebut memenangi penghargaan dalam Indonesia Art Award 2018.
Momo Loves Water
Salah satu ilustrator yang menjadi kiblat Evelyn adalah animator asal Amerika Serikat yang menggambar untuk Walt Disney, Mary Blair. “Namun biasanya saya lebih mengutamakan gaya dan teknik gambar sendiri, tak menyesuaikan selera pasar,” ujar Evelyn, yang memamerkan karyanya dalam Bologna Children’s Book Fair 2019. Bila pun gaya gambarnya menarik minat pasar luar negeri, dia menganggap hal itu sebagai hasil kecocokan agen dengan penerbit. Adapun Murti Bunanta menilai pasar masih belum terlalu menyorot buku-buku anak karangan ilustrator otodidak, yakni mereka yang memiliki gaya gambar sendiri tanpa berkiblat pada ilustrator lain yang lebih dulu terkenal.
If Only
Di luar masalah teknis, menurut Andi Yudha, banyak cerita yang menunjukkan pemahaman ilustrator akan dunia anak masih kurang. Konsep cara berpikir anak, misalnya, kurang diselami. Padahal soal ini perlu siasat khusus. Makin kecil usia anak, semestinya makin sedikit teks dalam buku bergambar. Sedangkan porsi ilustrasi mesti lebih banyak. “Bagi anak usia dini, sebuah gambar bisa berarti ribuan kata. Ini yang belum banyak diketahui ilustrator,” tuturnya.
Pengunjung pameran seni “Pesta Cerita Anak” menyimak paparan ilustrator buku pop up di Galeri Soemardja, INSTITUT TEKNOLOGI Bandung, 1 Februari lalu.
ISMA SAVITRI, ANWAR SISWADI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo