Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Pelukis Istana Lee Man Fong Pelopor Akulturasi Seni Lukis Indonesia

Lee Man Fong dikenal sebagai penggabung teknik seni lukis tradisional Cina dan Barat. Bung Karno menjadikannya pelukis Istana.

17 Februari 2025 | 15.00 WIB

Tempo/Ihsan Reliubun
Perbesar
Tempo/Ihsan Reliubun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Lee Man Fong dikenal sebagai pelukis yang memadukan teknik seni lukis tradisional Cina dan Barat.

  • Perpaduan dua unsur yang berbeda itu menjadikan karya-karyanya melampaui zaman.

  • Presiden Sukarno memilihnya menjadi pelukis Istana Kepresidenan.

DI Museum Nasional Jakarta, Titiek Soeharto mengamati sebuah lukisan karya Lee Man Fong di sebuah bidang putih. Di empat sisi dinding museum terpajang delapan karya pelukis Istana Negara era Presiden Sukarno. Gambar dalam pigura berukuran 103 x 50 sentimeter yang diamati Titiek Soeharto, putri Presiden Soeharto, menampilkan cerita hewan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Titiek memasuki ruang pameran bersama Didit Hediprasetyo, putra semata wayangnya dengan mantan suaminya, Presiden Prabowo Subianto. Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan wakilnya, Giring Ganesha, berjalan di sisi mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Di sini, pameran koleksi karya-karya seorang pelukis besar, Lee Man Fong. Dia pelukis yang disukai Bung Karno," kata Fadli di ruang pameran, di sisi kanan Taman Arca Museum Nasional, Gambir, Jakarta Pusat, Senin, 10 Februari 2025.

Peragaan itu bagian dari ekshibisi besar yang berjudul "Kongsi: Akulturasi Tionghoa di Nusantara”. Seperti terpana, Titiek tak berkomentar dan terus mengamati deretan lukisan tersebut.

Kedelapan lukisan ini menampilkan berbagai jenis hewan, menggunakan cat air dengan kanvas berorientasi potret. Pada lukisan pertama terpampang dua anjing di bawah pohon. Anjing pertama duduk dengan tatapan tajam ke depan, sedangkan temannya tiduran dengan mulut terbuka.

Di dinding lain, ada lukisan sepasang merpati putih yang tengah bercengkerama. Salah satunya berdiri di batang pohon kering dengan sayap terbentang, sedangkan pasangannya duduk memandanginya di dahan lain.

Lukisan-lukisan itu seakan-akan membingkai cerita suram satwa—burung kakaktua, singa, anjing, dan merpati—yang hidup di tengah ruang persahabatan yang akur serta damai. Gambar-gambar ini memadukan warna cokelat, kuning emas, dan putih gading.

Keesokan harinya, ruang pameran lukisan Lee Man Fong sepi. Hanya ada dua pengunjung, Vivi Elmiati dan Lilis Karlina Tarigan. Mereka memandangi deretan gambar itu dan sesekali memotretnya.

Vivi mengatakan karya seni lukis tersebut menyuguhkan nuansa sepi. "Binatang-binatang ini berpasangan, tapi menampakkan kesunyian," kata Vivi, 26 tahun, asal Langkat, Sumatera Utara. Dia menggeleng saat ditanya siapa penciptanya.

Lukisan Lee Man Fong bergambar dua burung kakatua dibingkai ukuran 103 x 50 sentimeter dipamerkan di Museum Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat, 11 Februari 2025. Tempo/Ihsan Reliubun

Lee Man Fong lahir di Guangzhou, Cina, 14 November 1913, dan tumbuh besar di Singapura, tempat pertama kali dia belajar melukis. Dia pindah ke Hindia Belanda pada 1930 dan bekerja di perusahaan penerbitan Shih Pao dan Kolff & Co di Batavia. Sembari bekerja, dia terus mengasah kemampuan melukisnya.

Man Fong pernah diikutsertakan dalam pameran lukisan yang diadakan oleh Asosiasi Hindia Belanda di Hotel Des Indes, Jakarta. Biasanya pameran itu hanya memajang karya seniman Belanda dan Eropa.

Namun justru karya Man Fong yang saat itu dikagumi. Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook, pada 1948, memberikan beasiswa kepada Man Fong untuk belajar sekitar lima tahun di Den Haag, Belanda.

Kritikus seni rupa Agus Dermawan T. mengatakan Lee Man Fong dikenal sebagai seniman yang menggabungkan teknik melukis Cina dan Barat. "Dia menjadi sangat khas," kata penulis buku Lee Man Fong: Oil Paintings, volume I dan II tersebut, Kamis, 13 Februari 2025.

Menurut Agus, gaya lukisan Barat lebih menggunakan teknik presisi atau semi realisme fotografi, sedangkan China painting mengandalkan nada lirisisme atau pendekatan perasaan. Dengan demikian, dia melanjutkan, bentuk lukisan Man Fong makin berkembang.

Agus mengatakan, pada masanya, Man Fong adalah satu-satunya pelukis Indonesia yang menggabungkan teknik Timur dan Barat tersebut. Man Fong mengandrungi tiga obyek dalam lukisan, yakni kehidupan sosial, hewan, dan pemandangan.

Lukisan Margasatwa dan Puspita Indonesia karya Lee Man Fong di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta. Dok. Hotel Kempinski

Dalam kehidupan sosial, dia memotret rakyat jelata, seperti nelayan, petani, dan masyarakat tradisional—yang kerap muncul dalam karyanya adalah masyarakat berlatar Bali, Jawa, dan Jakarta.

Penulis buku Melipat Air: Jurus Budaya Pendekar Tionghoa (Lee Man Fong, Siauw Tik Kwie, Lim Wasim) itu mengatakan Man Fong pun melukis berbagai jenis hewan dengan pendekatan shio. Dalam kosmologi Cina, nasib orang ditentukan oleh 12 shio, seperti ayam, ular, naga, kerbau, dan kelinci. Ia banyak membuatnya pada kertas hardboard.

Man Fong, kata Agus, pernah tinggal di Bali. Di sana, ia berjumpa dengan banyak seniman, baik pelukis maupun penari, termasuk Ni Pollok, penari legendaris yang kerap menjadi model lukisan suaminya, Le Mayeur, yang berasal dari Belgia. Para seniman tersebut kebanyakan merupakan kesukaan Presiden Sukarno.
 
Bung Karno pun kepincut pada karya-karya Man Fong. Sang Proklamator memintanya membuat mural besar di Hotel Indonesia berjudul “Puspita dan Margasatwa Indonesia”. Pada 1962, Man Fong ditarik sebagai pelukis Istana. Dia mendapatkan kewarganegaraan Indonesia pada tahun yang sama. “Kalau melihat karya lukis, Bung Karno enggak peduli dengan kebangsaannya,” ujar Agus.

Man Fong, yang saat itu bermukim di Jalan Gedong, Taman Sari, Jakarta Barat, mendirikan organisasi Masyarakat Seniman Cina atau Yin Hua Meishu Xiehui pada 1955. Tempat kongko mereka di Prinsen Park atau Lokasari, yang juga tempat berkumpulnya banyak pelukis Indonesia. "Pelukis Bumiputera, seperti Hendra Gunawan dan Sudjojono, mainnya di situ," kata Agus.

Sentimen anti-Cina pasca-Gerakan 30 September 1965 atau G30S membuat Man Fong memutuskan mengungsi ke Singapura pada 1967 dan baru kembali pada 1977. Sepuluh tahun menepi, Agus melanjutkan, membuat namanya tenggelam dari pembicaraan seni rupa Indonesia.

Menurut Agus, dari aspek mutu artistik lukisan, Man Fong sejajar dengan para maestro seni rupa Indonesia. “Diakui para kritikus bahwa Man Fong adalah satu pelukis besar yang setara dengan Affandi, Sudjojono, dan Basoeki Abdullah,” ujarnya.

Hanya, ada debat soal latar belakang kewarganegaraannya. Suami pianis Lie Muk Lan itu dikenal sebagai pelukis asal Tiongkok di Indonesia. Dengan demikian, dalam buku sejarah Indonesia, Agus melanjutkan, dia tidak disebut sebagai pelukis Indonesia. "Namun sejak dia berganti kewarganegaraan, seniman dan kritikus mengakui Man Fong sebagai pelukis Indonesia," kata Agus.

Lee Man Fong (kiri) dan Presiden Sukarno menghadiri Pameran Yin Hua di Hotel Des Indes, Jakarta, 1956. Dok. Agus Dermawan T

Perdebatan soal kewarganegaraan itu baru tuntas pada 1990-an—setelah Man Fong meninggal di Puncak, Jawa Barat, pada 1988 dalam usia 75 tahun. Saat itu, biro seni rupa internasional melelang karya Man Fong dengan menyebutnya sebagai pelukis Indonesia. Pertengahan 1996, lukisannya dibanderol dengan harga Rp 1-1,5 miliar. "Setara dengan harga lukisan Affandi, Sudjojono, dan Hendra Gunawan," kata Agus.

Kurator seni rupa Jim Supangkat menyebutkan dua hal yang menonjol dari Lee Man Fong, yaitu teknik lukisan yang berakar pada seni lukis tradisional Cina dan seni lukis Barat yang ia pelajari di Belanda. Ketekunannya memadukan unsur itu membuat nuansa lukisan Man Fong berbeda dari pelukis Indonesia lain pada masanya.

Menurut Jim, seni lukis Barat menyalin realitas, sedangkan seni lukis Cina menggambarkan ulang realitas berdasarkan rasa puisi mereka. Teknik itu yang kerap disebut Man Fong sebagai seni lukis kontemplatif. "Artinya, lukisan realistik yang tampil pada lukisannya itu sebetulnya hasil refleksi," katanya.

Bung Karno, Jim melanjutkan, menyenangi karya Man Fong karena perpaduan dua teknik tersebut. "Karena dibanding karya pelukis Indonesia lain, lukisan Man Fong sangat advanced," ujarnya.

Jim mengatakan Bung Karno mendorong Man Fong membuat lukisan bertema kehidupan sosial di Bali. Berkat teknik Barat, Man Fong menghasilkan karya lukis realistis menyerupai sketsa. Berbeda dengan lukisan ikan atau merpati yang bernapaskan seni lukis tradisional Cina.

Realisme yang muncul di kanvas dan sapuan cat minyak dari keragaman sosial di Bali itu menjadi koleksi di Istana Kepresidenan. "Akulturasinya bisa kelihatan jelas," kata Jim.

Soal status Lee Man Fong di antara para maestro seni lukis Indonesia, Jim punya pendapat lain. Menurut dia, Man Fong tidak terlibat pada awal kemunculan seni rupa Indonesia saat masa kolonial yang di antaranya ditandai oleh pendirian Persatuan Ahli Gambar Indonesia pada 1937. "Tapi dia bagian dari perkembangan seni lukis Indonesia," ujarnya. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ihsan Reliubun

Ihsan Reliubun

Menjadi wartawan Tempo sejak 2022. Meliput isu seni dan budaya hingga kriminalitas. Lulusan jurnalistik di Institut Agama Islam Negeri Ambon. Alumni pers mahasiswa "Lintas"

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus