Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lukisan kaca kita

Beberapa pelukis kaca ikut ambil bagian di pasar seni, kampus ugm, yogyakarta november lalu. walau mereka tak berpendidikan senirupa, tapi pandai menggambar. (sr)

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Kampus Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, tanggal 4 dan 5 Nopember yang lalu ada pasar seni. Di samping karya seni rupa modern, berhasil dikumpulkan juga karya seni rupa tradisional antara lain ukir-ukiran. Tetapi yang menarik ialah hadirnya empat pelukis kaca. Ini hasil penemuan Dr. Umar Kayam, Direktur Lembaga Pengkajian Kebudayaan Indonesia UGM, yang juga ketua panitia pasar seni tersebut -- yang tentu saja dibantu para mahasiswa. Lukisan kaca, atau jelasnya melukis langsung pada kaca, memang sudah tidak populer. "Dulu kalau kita jalan-jalan di sepanjang Malioboro (Yogya) banyak kita jumpai pajangan lukisan kaca," tutur Kayam. Mungkin para pelukis kaca menganggap cara itu tidak praktis lagi. Kecuali melukisnya harus terbalik, beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari lukisan kaca sekarang toh bisa diperoleh tanpa lukisan kaca. Pasal warna cat yang susah berubah, karena terlindung kaca, misalnya. Sekarang sudah diselesaikan oleh mutu cat yang tambah baik. Soal kaca lebih awet dan murah, kini toh bisa diusahakan kain yang murah dan bisa awet sebagai kanvas. Dan yang jelas, melukis pada kanvas lebih cepat kering. Mewarna kaca harus satu persatu dan menunggu cukup lama. Seperti pelukis rakyat umumnya, pelukis kaca yang terkumpul di Pasar Seni UGM itu juga tak berpendidikan khusus seni rupa. Seperti Sastrodihardjo, 63 tahun, dari Desa Pucung, Kecamatan Muntilan, Magelang, hanyalah tamatan HlS. Tapi ia pandai menggambar, dan sejak 1935 benar-benar hidup dengan membuat lukisan kaca. Hebatnya ia juga mampu menghidupi keluarganya yang terdiri dari dua isteri dan sembilan anak. Wayang & Mesjid Ia banyak melukis tokoh wayang dan mesjid -- sebab itulah yang disenangi saudara-saudara kita di desa. Harganya toh cuma seribu perak untuk ukuran 40 x 30 sentimeter. Risiko menjadi pelukis memang sama saja. Pelukis modern atau tradisional, kalau tak ada lukisan laku ya apa saja yang di rumah dijual atau digadaikan. Hanya pada hari-hari menjelang lebaran pak Sastro bisa bangga banyak pesanan mengalir. Tjiptosutjitro, 60 tahun, juga dari Magelang, baru benar-benar mencurahkan waktunya untuk melukis tahun 1974 Soalnya dia ini dulunya bekerja sebagai polisi -- sekarang pensiun, setaraf dengan inspektur. Ia juga banyak melukis wayang -- tidak hanya pada kaca, tapi juga pada kertas. Dan pernah kejatuhan rejeki: 70 lukisan wayangnya dibeli seorang turis Jerman. Itulah kenapa seorang anaknya yang kini sekolah di Jerman sempat juga membawa 90 lukisan ayahnya untuk dijual di sana. Mendingan, satu bisa laku 20 DM (kira-kira Rp3 ribu). Dan karena harga itulah, belum lama ini Pak Tjipto mengirimkan lagi 130 lukisan wayang ke sana -- tapi bukan lukisan kaca, hanya lukisan kertas. Sebagai pelukis profesional baru sejak tahun 1974, menurutnya sulit hidup dengan mengandalkan hasil lukisan -- meski ia kini hanya menanggung seorang isteri dan seorang anak. Konon, asal-muasal lukisan kaca adalah sebuah kota di Yugoslavia yang penduduknya sebagian besar suka melukis. Karena harga kanvas atau semacamnya tak terjangkau, mereka menggunakan kaca. Kita juga punya seorang pelukis kaca yang sempat berpameran tunggal di berbagai negara Eropa, dan tahun 1975 unjuk diri pula di Taman Ismail Marzuki. Namanya Devi Tana, kelahiran Purwokerto, 1944, sempat mengenyam pendidikan seni lukis di Belgia. Yan menjadi pertanyaan sekarang, apa yan harus dipertahankan pada lukisan kaca -- sementara bahan-bahan lain yang mutunya lebih tinggi menjanjikan kerja yang lebih praktis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus