DI Kampus Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, tanggal 4 dan 5
Nopember yang lalu ada pasar seni. Di samping karya seni rupa
modern, berhasil dikumpulkan juga karya seni rupa tradisional
antara lain ukir-ukiran. Tetapi yang menarik ialah hadirnya
empat pelukis kaca. Ini hasil penemuan Dr. Umar Kayam, Direktur
Lembaga Pengkajian Kebudayaan Indonesia UGM, yang juga ketua
panitia pasar seni tersebut -- yang tentu saja dibantu para
mahasiswa.
Lukisan kaca, atau jelasnya melukis langsung pada kaca, memang
sudah tidak populer. "Dulu kalau kita jalan-jalan di sepanjang
Malioboro (Yogya) banyak kita jumpai pajangan lukisan kaca,"
tutur Kayam. Mungkin para pelukis kaca menganggap cara itu tidak
praktis lagi. Kecuali melukisnya harus terbalik, beberapa
keuntungan yang bisa diperoleh dari lukisan kaca sekarang toh
bisa diperoleh tanpa lukisan kaca.
Pasal warna cat yang susah berubah, karena terlindung kaca,
misalnya. Sekarang sudah diselesaikan oleh mutu cat yang tambah
baik. Soal kaca lebih awet dan murah, kini toh bisa diusahakan
kain yang murah dan bisa awet sebagai kanvas. Dan yang jelas,
melukis pada kanvas lebih cepat kering. Mewarna kaca harus satu
persatu dan menunggu cukup lama.
Seperti pelukis rakyat umumnya, pelukis kaca yang terkumpul di
Pasar Seni UGM itu juga tak berpendidikan khusus seni rupa.
Seperti Sastrodihardjo, 63 tahun, dari Desa Pucung, Kecamatan
Muntilan, Magelang, hanyalah tamatan HlS. Tapi ia pandai
menggambar, dan sejak 1935 benar-benar hidup dengan membuat
lukisan kaca. Hebatnya ia juga mampu menghidupi keluarganya yang
terdiri dari dua isteri dan sembilan anak.
Wayang & Mesjid
Ia banyak melukis tokoh wayang dan mesjid -- sebab itulah yang
disenangi saudara-saudara kita di desa. Harganya toh cuma seribu
perak untuk ukuran 40 x 30 sentimeter. Risiko menjadi pelukis
memang sama saja. Pelukis modern atau tradisional, kalau tak ada
lukisan laku ya apa saja yang di rumah dijual atau digadaikan.
Hanya pada hari-hari menjelang lebaran pak Sastro bisa bangga
banyak pesanan mengalir.
Tjiptosutjitro, 60 tahun, juga dari Magelang, baru benar-benar
mencurahkan waktunya untuk melukis tahun 1974 Soalnya dia ini
dulunya bekerja sebagai polisi -- sekarang pensiun, setaraf
dengan inspektur. Ia juga banyak melukis wayang -- tidak hanya
pada kaca, tapi juga pada kertas. Dan pernah kejatuhan rejeki:
70 lukisan wayangnya dibeli seorang turis Jerman.
Itulah kenapa seorang anaknya yang kini sekolah di Jerman sempat
juga membawa 90 lukisan ayahnya untuk dijual di sana. Mendingan,
satu bisa laku 20 DM (kira-kira Rp3 ribu). Dan karena harga
itulah, belum lama ini Pak Tjipto mengirimkan lagi 130 lukisan
wayang ke sana -- tapi bukan lukisan kaca, hanya lukisan kertas.
Sebagai pelukis profesional baru sejak tahun 1974, menurutnya
sulit hidup dengan mengandalkan hasil lukisan -- meski ia kini
hanya menanggung seorang isteri dan seorang anak.
Konon, asal-muasal lukisan kaca adalah sebuah kota di Yugoslavia
yang penduduknya sebagian besar suka melukis. Karena harga
kanvas atau semacamnya tak terjangkau, mereka menggunakan kaca.
Kita juga punya seorang pelukis kaca yang sempat berpameran
tunggal di berbagai negara Eropa, dan tahun 1975 unjuk diri
pula di Taman Ismail Marzuki. Namanya Devi Tana, kelahiran
Purwokerto, 1944, sempat mengenyam pendidikan seni lukis di
Belgia. Yan menjadi pertanyaan sekarang, apa yan harus
dipertahankan pada lukisan kaca -- sementara bahan-bahan lain
yang mutunya lebih tinggi menjanjikan kerja yang lebih praktis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini