Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Gubernur Jakarta Anies Baswedan membangun monumen sepatu lengkap dengan merknya.
Monumen sepatuh umum ada di negara-negara maju.
Pengamat seni rupa Agus Dermawan membandingkan monumen sepatu serupa di negara lain.
PADA Agustus-September lalu, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, menggelar pameran seni rupa publik (public art), terutama patung monumen di seluruh Indonesia. Karena patung monumen itu difungsikan sebagai titik pengingatan akan memori, dan tanda pengingat akan tempat (landmark), pameran tersebut dijuduli “Poros”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran ini mengajak banyak orang mengamati, menghitung, dan berefleksi: patung monumen apa saja yang banyak dipresentasikan, juga patung monumen bermuatan apa yang terlupa dibangun sampai masa kini. Dari sini muncul jawaban: ternyata monumen yang menjunjung ikon politik dan revolusi mengisi poros pandang di mana saja. Sedangkan patung monumen yang menyentuh tema di luar itu sangatlah langka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seolah-olah membaca realitas “Poros”, pada pertengahan September lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tiba-tiba memajang patung monumen sepatu di beberapa sisi kota. Patung sepatu raksasa berwarna-warni tersebut dicokolkan di beberapa kawasan.
Masyarakat menyambut Monumen Sepatu itu dengan lihatan beragam. Sebagian menganggapnya sebagai obyek pemandangan baru, yang lumayan bisa dipakai sebagai latar swafoto. Namun, bagi yang memahami sosio-ekonomi, industri, serta putaran benda-benda produksi, Monumen Sepatu jelas-jelas alat promosi. Sebab, ditampilkan mentah-mentah model beberapa sepatu merek tertentu. Apalagi sepatu yang ditaruh di situ hanya sebelah sehingga persis seperti yang terlihat di etalase toko. Monumen ini tak berbeda dengan patung sepatu raksasa di hall pertokoan sepatu di ION Orchard, Singapura. Atau patung sepatu jinjit (high heel) serat kaca merah menyala yang kini sedang marak terpajang menjulang di berbagai mal besar di Tiongkok.
Instalasi tugu sepatu di Lapangan Banteng, Jakarta, 17 September 2021. ANTARA/Sigid Kurniawan
Sedangkan bagi yang memahami seni publik, Monumen Sepatu tidak memiliki makna selain makna niaga. Spiritnya mirip dengan monumen sepatu di Bandung, yang menandai keberadaan sentra pabrik sepatu Cibaduyut. Padahal sebuah monumen publik selayaknya memiliki muatan yang jauh lebih dalam. Karena itu, pemerintah DKI sebaiknya ingat apa yang dikatakan pematung monumen legendaris Edhi Sunarso (1932-2016) jauh sebelum hadirnya Monumen Sepatu:
“Patung monumen punya janji untuk selalu hadir dengan estetik dan artistik. Patung monumen punya tugas menyampaikan dimensi pesan untuk masa sekarang sampai masa mendatang. Pesan itu bisa disampaikan secara realistik dan simbolik lewat berbagai metafora. Patung monumen punya tugas untuk menandai suatu titi mangsa, dan berkesanggupan menembus titi mangsa yang jauh di depannya. Sebuah monumen punya janji untuk selalu faham mengapa ia berdiri di situ. Jangan sampai ia berada di tempat yang keliru.”
Merespons kritik masyarakat, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjelaskan bahwa patung sepatu itu adalah “monumen kolaborasi” lantaran Jakarta adalah “a city of collaboration”, seperti tertulis di alas monumen. Kata “kolaborasi” bisa diartikan bahwa pemasangan monumen adalah kompensasi untuk perusahaan sepatu, yang dalam kalkulasi telah memberikan kontribusi kepada Jakarta. Dan pendirian patung tersebut dikaitkan dengan Festival UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah). Lantaran festival itu temporer, usia monumen pun hanya sementara. Itu sebabnya patung dibikin instalatif alias bisa dipasang-bongkar. Padahal anggaran instalasi beberapa monumen tersebut bisa digunakan untuk membangun satu monumen permanen yang menyandang kedalaman muatan.
Hasrat bermain instalasi monumen ini agaknya dibawa dari pengalaman sebelumnya. Pada 2018, pemerintah Jakarta membikin Monumen Getah Getih di Bundaran Hotel Indonesia. Lantaran terbuat dari bambu dan dipastikan rapuh, monumen dibongkar setelah 11 bulan unjuk rupa. Sebagai pengganti, dibangunlah Monumen Batu Bronjong, yang banyak dikritik oleh ahli seni sebagai “gundukan gabion” yang tidak tepat lokasinya dan hanya dekorasi. Monumen ini juga dibongkar pada akhir 2019. Padahal biaya dua monumen instalatif itu bisa dipakai untuk membangun monumen kota yang beneran.
Mendirikan patung publik memang harus melewati pemikiran panjang, dan melibatkan banyak pakar dari segala sisi. Peristiwa di Belanda lebih dari 30 tahun lalu bisa menjadi contoh. Kala itu, Amsterdam dan Otterlo akan menggelar peringatan “100 Tahun Van Gogh”. Untuk menandai perhelatan, sejumlah kalangan mengusulkan pendirian patung monumen yang terinspirasi lukisan Van Gogh, A Pair of Shoes, 1886. Mereka menganggap sepatu lusuh itu sebagai simbol penderitaan yang pada akhirnya membawa kemasyhuran sang pelukis.
Diskusi mendalam untuk membahas ide itu diselenggarakan dengan melibatkan kritikus seni, ahli monumen, ahli psikologi massa, art historian, dan ahli tata kota. Dalam perbincangan tersebut, muncul argumen yang mengutip tesis dukungan filsuf Martin Heideger, teori keraguan dari ahli sejarah seni Meyer Schapiro, juga teori penolakan dari Jacques Derrida. Ujungnya: monumen sepatu Van Gogh batal didirikan.
Monumen atau patung sepatu Klopen khas Belanda di kota Delft, Belanda. Arsip Agus Dermawan T
Pemerintah Belanda juga berpikir jauh tatkala mematangkan gagasan pendirian monumen ikon kebudayaan bangsanya. Para sejarawan dan ahli kebudayaan diajak berembuk, yang lantas memunculkan ide mengangkat klompen (sepatu kayu) sebagai maskot. Klompen, yang ditengarai ada sejak awal abad ke-13, dianggap sebagai benda yang menandai jejak peradaban pertanian dan perkebunan bangsa Belanda. Bahkan klompen sudah menjadi mitos ekonomi karena diam-diam digubah menjadi kerajinan khas Belanda dengan angka produksi 3,1 juta setahun. Sampai kini, monumen klompen raksasa dengan warna mencolok gampang kita lihat di ruang publik Kota Delft.
Pendirian monumen publik memang memerlukan pemikiran berlapis. Alkisah, di Sungai Danube, Budapest, Hungaria, pada 1944-1945, terjadi pembantaian terhadap perempuan dan anak-anak Yahudi oleh milisi Cross Arrow. Pemerintah kota sudah lama berhasrat membangun monumen elegi di tepi sungai legendaris itu. Namun gagasan yang paling empatik baru muncul dari János Can Togay beberapa puluh tahun kemudian. Gagasan sutradara film Hungaria tersebut lantas direalisasi oleh pematung Gyula Pauer pada 2005. Bentuknya: puluhan sepatu anak-anak dan perempuan dalam berbagai ukuran. Sepatu-sepatu logam itu diserakkan dan digelimpangkan berjajar di salah satu sisi Sungai Danube.
Kota-kota di dunia selalu melakukan penelitian serius tatkala hendak membikin monumen publik. Apalagi dengan tema yang sangat spesifik seperti sepatu. Dari situ, lahirlah monumen sepatu puitis Los Zapatos Viejos (Sepatu Tua, didedikasikan kepada penyair Luis Carlos López), di Cartagena, Kolombia serta monumen balada di Jembatan David Hall di Malmo, Swedia, yang berupa jajaran sepatu 16 penyanyi dan bintang film ikonik negeri itu. Juga monumen historis di San Antonio, Texas, Amerika Serikat, yang berbentuk patung sepatu koboi tinggi menjulang ciptaan seniman besar Bob “Daddy-O” Wade.
Bukan hanya aparat kota, individu pun memerlukan konsep mendalam untuk membuat monumen sepatu. Zheng Changgan di Fujian, Cina, memberikan amsal. Ia menciptakan sepatu tembaga berpanjang 2,3 meter dengan berat 1,2 ton. Sepatu raksasa itu dibuat untuk mengingatkan fakta ganjil dalam sejarah: betapa Kaisar Qin Shihuang, yang ingin terus gagah berdiri dan berkuasa, ketika dimakamkan ternyata mengenakan sepatu logam!
Pada akhir artikel ini, saya mendadak ingat ungkapan yang sangat tua: “Sepatu itu seperti teman. Mereka bisa mengajakmu berjalan amat jauh, tapi juga bisa membuatmu tiba-tiba jatuh.” Mungkinkah pemerintah DKI Jakarta membangun monumen sepatu yang memvisualkan ungkapan filosofis itu?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo