Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Memahami Dunia 'Bacaan Liar' 1920-1926

Bacaan liar—bagi kaum pergerakan sebelum masa kemerdekaan—menjadi media penyadaran kaum kecil. Kajian atas gagasan-gagasan progresif anti-Belanda.

 

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Penulis Mas Marco Kartodikromo dan istri di kamp interniran di Tanamerah, Boven Digul, 1932/KILTV
Perbesar
Penulis Mas Marco Kartodikromo dan istri di kamp interniran di Tanamerah, Boven Digul, 1932/KILTV

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Resensi buku Bacaan Liar, Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan karya Razif.

  • Bacaan liar adalah istilah Balai Pustaka untuk buku-buku karangan kaum pergerakan yang mengganggu.

  • Memberi gambaran bagaimana gagasan-gagasan progresif anti Belanda saat itu disebarluaskan.

“BACAAN liar” adalah istilah dari Balai Pustaka untuk buku-buku karangan kaum pergerakan yang dianggap mengganggu ketertiban dan merusak ketenteraman. Sepanjang 1920-1926 muncul bacaan-bacaan progresif populer dan artikel-artikel kritis dari pengarang-pengarang seperti Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, Darsono, Raden Mas Soetjipto, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Alimin, dan Rangsang. Pemerintah kolonial berusaha keras membendung dan menjauhkan “provokasi” bacaan-bacaan itu dari orang ramai. Balai Pustaka, salah satunya, merupakan benteng pemerintah kolonial 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sudah banyak informasi mengenai tema bacaan liar. Melalui buku berjudul Bacaan Liar: Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan, Razif memilih sudut pandang menarik. Ia menelisik bagaimana para aktivis pergerakan saat itu mencetak, menyebarluaskan, dan menjual buku—yang mereka sebut sebagai literatuur socialistisch—kepada kalangan buruh untuk bisa menjadi counter hegemony media-media dan buku cetakan pemerintah serta pemikiran kaum kolot pribumi sendiri. Razif—sejarawan lulusan pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta—melihat bacaan liar memiliki posisi penting. Ia menolak pendapat pengamat sastra Prof A. Teeuw yang “menyepelekan” kontribusi bacaan liar—karena memiliki kualitas sastra rendah. Teeuw berpendapat novel seperti Hikajat Kadiroen karya Semaoen hanya merupakan risalah komunis yang hitam-putih menyajikan perwatakan. Cara pandang Teeuw, menurut Razif, tak tepat karena Teeuw tidak meletakkan novel itu dalam konteks pergerakan.

Buku setebal 191 halaman ini cukup bisa menggambarkan dinamisnya kaum pergerakan memproduksi karya-karya perlawanan. Selain menghadapi terbitan-terbitan Balai Pustaka, mereka mengkonfrontasi, misalnya, artikel media-media yang diterbitkan pabrik-pabrik gula. Banyak pabrik gula di Jawa memiliki penerbitan sendiri. Sindikat pabrik gula di Sidoarjo, Jawa Timur, misalnya, diutarakan Razif memiliki koran Soerabaiasch Handelsblad. Sedikit-banyak berita pada surat kabar semacam ini tentu lebih banyak memihak kestabilan pemerintah Hindia Belanda daripada mengangkat kesejahteraan kaum buruh. Sebab, pabrik gula saat itu menyumbang devisa tinggi bagi pemerintah kolonial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Bacaan Liar, Budaya dan Politik Zaman Pergerakan karya Razif.

Buku ini membuat kita mengetahui peta percetakan-percetakan mana milik orang Belanda, peranakan Tionghoa, Arab, atau bumiputra yang menjadi tempat bagi penerbitan “bacaan liar”. Percetakan Van Dorp dan Drukkerij VSTP, misalnya, pernah menjadi tempat Kommisi Batjaan Hoofdbestuur Partai Komunis Indonesia mencetak buku-bukunya. Rumah Cetak Insulinde, NV Setia Oesaha, Firma Masman & Stroink, serta percetakan PFB (Personeel Fabriek Bond) juga merupakan percetakan yang pernah menjadi tempat “lahirnya” beberapa bacaan liar. Razif menyajikan argumen bahwa sirkulasi dan distribusi bacaan liar sepanjang 1920-1926 jauh lebih tinggi daripada terbitan Balai Pustaka. Promosi-promosi advertensi gencar dilakukan di koran-koran. Dan juga harganya lebih murah daripada buku-buku keluaran Balai Pustaka.

Salah satu kunci lakunya bacaan liar di kalangan rakyat kecil adalah penggunaan bahasa Melayu Pasar. Bahasa Melayu Pasar adalah bahasa yang banyak digunakan kaum pedagang, buruh, dan peranakan Tionghoa. Itu sebabnya para pengarang bacaan liar juga dekat dengan penerbit dan percetakan milik peranakan Tionghoa. Balai Pustaka, sebaliknya, menganggap bahasa Melayu Pasar sebagai bahasa kaum tak berpendidikan. Politik bahasa Belanda tidak menginginkan adanya bahasa persatuan, sehingga bahasa Melayu Pasar dicap sebagai bahasa Melayu kacau. Kenyataannya, bahasa Melayu Pasar itu adalah bahasa lingua franca sehari-hari.

Dalam telaahnya, Razif mengulas banyak buku karya para aktivis pergerakan, di antaranya karya-karya Mas Marco Kartodikromo. Selama ini Mas Marco dikenal sebagai pengarang Student Hidjo dan Sair Rempah-rempah. Ternyata, berdasarkan data Razif, ditemukan Student Hidjo adalah bagian dari tiga jilid karya berjudul Mata Gelap. Dua jilid lain berjudul Matahariah dan Rasa Mardika. Di samping itu, Mas Marco mengarang Sair Sama Rasa Sama Rata dan Babad Tanah Djawa.

Dalam pandangan Razif, Babad Tanah Djawa adalah karya Mas Marco yang paling serius. Dalam buku itu, Mas Marco ingin menyusun sejarah Hindia-Belanda secara ilmiah dan kritis sejak zaman Majapahit. Mas Marco ingin “mengambil kembali” masa lalu orang Jawa yang selama ini direkonstruksi orang Belanda. Sejarah Jawa masa Hindu-Buddha direkonstruksi demikian ideal oleh para Javanolog Belanda sehingga kehilangan penglihatan terhadap berbagai kontradiksi di dalamnya. Saya kira gagasan Mas Marco ini masih sangat relevan dengan studi-studi arkeologi sekarang. Sebab, hingga kini masih banyak studi arkeologi yang mengglorifikasi masa lalu Sriwijaya, Syailendra, Singosari, dan Majapahit tanpa berusaha kritis terhadap unsur-unsur kekuasaan pada masa-masa itu yang menyumbang akar-akar feodalisme, eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi.

Fasilitas perpustaakn keliling pada zaman penjajahan Kolonial Belanda, di Jawa, 1920an/collectie.wereldculturen.nl

Periode keemasan bacaan liar, menurut Razif, berakhir pada sekitar 1927. Kita tahu pada akhir 1926 sampai awal 1927 PKI memberontak terhadap kolonialisme dan gagal. Sebuah pemberontakan yang—seperti pernah dikemukakan sejarawan Budiawan yang juga dari UGM—gamang dicatat dalam historiografi resmi Indonesia. Sebab, selama ini PKI diposisikan sebagai pengkhianat, kaum makar, atau musuh bangsa. Sementara itu, pemberontakan pada 1927 adalah pemberontakan nasionalis melawan penjajah yang semestinya bisa dipandang sebagai tindakan kepahlawanan.

Pemberontakan itu dimulai di Batavia dan Tangerang, Banten, pada November 1926, kemudian menyebar ke Banten, Bandung, Priangan Timur, Surakarta, Kediri, Banyumas, Pekalongan, Kedu, dan pada Januari 1927 merembet ke Sawahlunto, Sumatera Barat. Pemberontakan itu ditumpas pemerintah Hindia Belanda pada Maret 1927. Ribuan aktivis PKI ditangkap dan dibuang ke Boven Digul. Bagi Razif, bacaan liar menyiapkan tungku bagi pemberontakan-pemberontakan itu. Sebetulnya, menarik membaca data-data bagaimana “bacaan liar” beredar di berbagai kota tersebut sebelum meletusnya pemberontakan—misalnya Sawahlunto. Namun bagian ini kurang diuraikan panjang lebar oleh Razif.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus