Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Limbah Pereda Nyeri di Teluk Jakarta

Peneliti BRIN menemukan kandungan obat pereda nyeri dan demam di Teluk Jakarta. Limbah parasetamol berbahaya bagi kerang biru.

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana pelabuhan Muara Angke, usai temuan kandungan obat pereda nyeri dan demam, di Teluk Jakarta 8 Oktober 2021./TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peneliti BRIN menemukan kandungan limbah parasetamol di perairan di Teluk Jakarta.

  • Mempengaruhi jaringan gonad kerang biru yang banyak terdapat di Inggris.

  • Dari mana limbah parasetamol di perairan Teluk Jakarta itu?

CARMIDI sudah mendengar berita mengenai temuan kandungan parasetamol di perairan muara Teluk Jakarta, tapi ia tidak memahami masalahnya. Warga Muara Angke, Jakarta Utara, yang sehari-hari mengurusi perahu nelayan dan menjual ikan ini mengaku masalah limbah obat pereda nyeri itu belum menjadi obrolan di kalangannya. “Ngertinya limbah doang,” tutur pria yang biasa disapa Iwan itu. “Kalau limbah datang, enggak bisa cari kerang,” ujar Ketua Kelompok Nelayan Tradisional yang anggotanya sekitar 300 nelayan ikan tangkap dan pencari kerang hijau itu.

Menurut Iwan yang lahir di Brebes, Jawa Tengah, 42 tahun lalu dan tinggal di Jakarta sejak 2000, ada sekitar 1.000 warga yang bekerja sebagai nelayan dan hidupnya bergantung pada kerang hijau di pesisir utara Ibu Kota ini. Sebagian menangkapnya dengan bantuan bagan, alat yang terbuat dari bambu yang ditancapkan di tengah laut di lokasi budi daya. Ada juga yang mencari kerang dengan cara menyelam. Para pemburu kerang itu berangkat pukul 06.00 pagi dan pulang pukul 13.00.

Ikhwal adanya parasetamol di Teluk Jakarta ini merupakan hasil penelitian sejak 2017 yang dipublikasikan di jurnal Marine Pollution Bulletin, Agustus 2021, dengan judul “High concentrations of paracetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia”. Penelitinya Wulan Koagouw dan Zainal Arifin dari Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional, serta George W.J. Oliviera dan Corina Ciocan dari School of Pharmacy and Biomolecular Sciences pada University of Brighton, Inggris.

Menurut Zainal Arifin, ini adalah studi pendahuluan untuk menginvestigasi beberapa kontaminan air dari empat lokasi di Teluk Jakarta, yaitu Angke, Ancol, Tanjung Priok, dan Cilincing serta Pantai Eretan di pantai utara Jawa Tengah. Hasil penelitian itu mendeteksi ada kandungan parasetamol di Sungai Muara Angke dengan konsentrasi 610 nanogram per liter (ng/L) dan Sungai Ciliwung Ancol (420 ng/L). “Di tiga lokasi lain tidak terdeteksi atau rendah sekali konsentrasinya,” ucapnya dalam webinar pada Senin, 4 Oktober lalu.

Setelah penemuan kandungan bahan obat ini, kata Zainal, barulah dilakukan uji laboratorium soal dampak parasetamol itu terhadap kerang biru atau Mytilus edulis. Kerang biru ini masih satu saudara dengan kerang hijau atau Perna viridis yang banyak terdapat di perairan Teluk Jakarta. Wulan Koagouw mengatakan, dari studi skala laboratorium, diketahui bahwa parasetamol bisa mengakibatkan perubahan jaringan gonad (organ reproduksi) kerang biru dan perubahan ekspresi gen yang berhubungan dengan reproduksi dan apoptosis—kematian sel terprogram.

Wulan mengatakan belum dapat memastikan apakah efek parasetamol itu akan sama jika diuji ke kerang hijau yang memiliki kemiripan morfologis dengan kerang biru. “Bisa saja dan tidak menutup kemungkinan. Tapi akan lebih baik jika hipotesis ini divalidasi di laboratorium,” kata Wulan dalam webinar yang bertajuk “Limbah Farmasetika di Perairan Teluk Jakarta” itu.

Wulan menyebutkan pengambilan sampel air di Teluk Jakarta dilakukan pada 2017. Setelah itu dilakukan uji laboratorium soal dampak parasetamol terhadap kerang biru, yang banyak terdapat di Inggris, tempat dia melakukan penelitian skala laboratorium. Dia kini menempuh program post-doctoral di School of Pharmacy and Biomolecular Sciences, University of Brighton, Inggris. “Pada saat itu, kami hanya ingin mengetahui apakah parasetamol terdeteksi di laut Indonesia atau tidak.”

Meski sudah diketahui ada dampak terhadap reproduksi kerang biru, hal yang sama belum bisa dipastikan untuk manusia. “Soal dampaknya terhadap manusia, kita belum tahu. Mungkin sangat kecil pengaruhnya,” tutur Zainal. Wulan punya pandangan serupa. “Karena konsentrasinya rendah dibanding parasetamol yang kita minum, secara logika harusnya efeknya kecil,” ujarnya. Untuk memastikan hal itu, penelitian lebih lanjut diperlukan.

Selain dampak bagi manusia, yang juga belum bisa dipastikan adalah penyebab pencemaran parasetamol itu. Menurut Zainal, banyak potensi sumber limbah yang bisa masuk ke Muara Angke dan Ancol. Dia menyatakan setuju dengan peneliti lain yang sebelumnya menyatakan bahwa 60-80 pencemaran di pesisir itu berasal dari daratan. Selain itu, ada faktor obat kedaluwarsa yang dibuang sembarangan, instalasi pengolahan limbah yang tidak optimal, serta teknologi pengolahan yang belum bisa mengendapkan parasetamol.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nelayan mencari kerang hijau di kawasan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta, Mei 2016./TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, mengatakan memang ada industri di aliran sungai yang bermuara ke perairan Jakarta. Lokasinya tak hanya berada di Ibu Kota, tapi juga di provinsi tetangga seperti Jawa Barat dan Banten. “Potensinya (limbah dari industri di aliran sungai) cukup besar dan mesti dikaji lebih lanjut, termasuk soal limbah industri yang tidak dikelola secara baik,” katanya, Kamis, 7 Oktober lalu.

Pemerintah DKI Jakarta merespons cepat hasil penelitian ini dengan mengambil sampel air di Teluk Jakarta dan akan mencari sumber pencemarannya. “Saat ini akan kami telusuri,” ujar pelaksana tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Syaripudin, saat ditemui di ruang rapat Komisi D Bidang Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Gedung DPRD, Jakarta Pusat, Selasa, 5 Oktober lalu.

Kandungan parasetamol, kata Syaripudin, bukan komponen yang wajib diukur dalam baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dinas Lingkungan DKI Jakarta mengambil sampel air pada Sabtu, 2 Oktober lalu, dan membawanya ke Laboratorium Kesehatan Daerah DKI. Hasil pengujiannya diperkirakan bisa diketahui 12 hari kemudian.

Anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan DKI Jakarta, Irvan Pulungan, mengatakan parasetamol memang belum diukur dalam baku mutu air dan perlu menjadi pertimbangan dalam revisi peraturan ini. Alat pengukuran baku mutu yang dimiliki Jakarta juga perlu diperiksa lagi. “Menambah khazanah pengetahuan kita bahwa ada pencemaran dan menambah pekerjaan untuk memperkuat kemampuannya mengevaluasi Teluk Jakarta,” ucapnya soal temuan kandungan parasetamol ini, Kamis, 7 Oktober lalu.

Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jakarta Tubas Soleh Ahmadi mengatakan temuan baru ini menambah fakta soal kerentanan Teluk Jakarta. Ia mengibaratkan kawasan itu tubuh manusia yang kian rentan karena sebelumnya sudah dicemari merkuri, timbal, dan polutan lain. “Kalau badan orang lemah, jika keluar rumah bisa masuk angin,” katanya. Beberapa tahun sebelumnya, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga menemukan mikroplastik pada ikan dan logam berat pada kerang hijau.

Sebenarnya, menurut Arifsyah, perairan seperti memiliki mekanisme alami untuk mengurangi konsentrasi polutan jika sirkulasinya lancar dan tidak tertahan. Reklamasi mengganggu ritme ini dan meningkatkan potensi zat berbahaya berada di suatu tempat dalam waktu lebih lama. Dia menilai proyek reklamasi menambah beban pesisir Jakarta sehingga perlu pengkajian ulang tata ruang jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serius hendak merevitalisasi kawasan perairan ini.

Carmidi juga berharap pemerintah lebih serius menangani pencemaran limbah di Teluk Jakarta karena nelayan sangat merasakan dampaknya. Ia membandingkan situasi saat ini yang sangat berbeda dengan 2010. Saat itu, pencari kerang hijau bisa mendapatkan sampai dua ton kerang setiap kali panen. “Sekarang satu atau setengah ton saja,” tuturnya. Perubahan ini terjadi, kata Carmidi, setelah ada pembangunan Pulau C. Setelah itu mulai banyak ditemukan pengendapan limbah dan kini situasinya lebih parah. 

LANI DIANA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus