Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gunawan Maryanto meninggal karena serangan jantung pada usia 45 tahun.
Ia melintasi ragam disiplin, dari sastra, teater, film, atau seni rupa.
Beberapa aktor film menjadikannya mentor pemeranan jauh sebelum ia sendiri memasuki dunia film.
DI antara banyak rekan berkesenian Gunawan Maryanto, tak seorang pun yang terkejut ketika ia akhirnya mendapat sorotan publik menyusul perannya sebagai Wiji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-Kata pada 2019. Itu tak jauh berbeda dengan ketika puisi-puisi karya seniman rendah hati tersebut mendapat berbagai penghargaan tertinggi di dunia sastra Indonesia, sejak lebih dari satu dekade yang lampau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di balik semua yang tampak sepantasnya itu, di balik kesederhanaan pembawaannya, Gunawan adalah seorang perajin dan pemikir yang merawat sekaligus melampaui batas-batas. Di antara banyak pengarang yang kami kenal, sedikit selain dia yang paling mengerti pentingnya menulis sebagai cara untuk memanjat, pelan dan perlahan-lahan, meniti tebing curam jalan keluar, ke permukaan, setelah jatuh tak berkesudahan di palung duka. Sebagai aktor, tak banyak yang bisa menubuhkan palung itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Entah sebagai sutradara, aktor, performer, penyair, pengarang, guru, peneliti, entah perancang program kesenian, Gunawan—lebih dikenal sebagai Cindhil—selalu merawat pendekatan pembacaan-ulang, dengan empati yang halus tapi tajam. Sejak 1999, ia menekuni dan mengadaptasi pendekatan ini, baik di sastra maupun di teater. Awalnya sangat harfiah: ia mendekati suatu bahan dan membacanya berulang-ulang, layaknya sewajarnya seorang pelaku teater, sebelum mulai memilih bagian-bagian tertentu dari bacaan itu dan meletakkannya di bawah mikroskop.
Saat itu, sebagai aktor muda, ia sudah memiliki jam terbang tinggi, yang dikumpulkannya sejak masa sekolah menengah atas. Sebelum akhirnya bergabung dengan Teater Garasi saat kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada pada 1994, ia aktif di Sanggar Anom Yogyakarta asuhan Genthong HSA, sanggar yang melahirkan pelaku-pelaku penting kesenian Indonesia dua dekade ini.
Sebagai aktor teater, ia terlatih untuk mendekati naskah sebagai pembaca-aktif—pembaca kesayangan Brecht atau Borges—yang membaca untuk menubuhkan dan menghidupkan bacaannya. Sebagai aktor pula, dia terlatih untuk menghubungkan dirinya secara empatik dengan ragam karakter dan dunia yang hendak ia mainkan. Tak jauh dari tradisi Stanislavski, dalam mencari-cari si karakter, ia kerap menemukan dirinya, baik yang sudah maupun belum.
Ketika mulai serius menekuni sastra, ia menemukan cara lain untuk mengelola berbagai rekaman empati tersebut, terutama pada khazanah puisi liris Indonesia, ala Sapardi Djoko Damono yang dikaguminya. Ia lalu melipat keduanya—pembacaan-aktif pemeranan dan tradisi lirisisme puisi—tepat di tengah metode pembacaan-ulangnya. Dalam setiap karyanya, kita diajak menata ulang katalog perasaan-perasaan usang demi menemukan berbagai kembangan segar.
Repertoar Hujan (Teater Garasi, 2001) adalah contoh awalnya, persis karena karya penyutradaraannya ini sengaja menabrak batas puisi dan teater. Karya ini, menurut Cindhil, berangkat dari puisi-puisi yang tak mau selesai. Disusun dari perca-perca pembacaan ulang kisah Sangkuriang, dihidupkan oleh tubuh-tubuh yang ditempa silat Bangau Putih, tari Jawa, dan pendekatan Butoh, Hujan menuntut sama kerasnya untuk ditonton sebagai teater ataupun didekati sebagai puisi, sekalipun para penampil tak sepatah pun berkata-kata.
Itu pertama kalinya ia mengolah tubuh sebagai pengudar kembangan perasaan yang menolak menjadi bahasa. Diproduksi di tengah ledakan politik golongan di era pasca-reformasi, Hujan memilih nonverbal. Seperti sedang menimbang permutasi negara-paternalistik Orde Baru, Hujan menampilkan Tumang yang menular menjadi Tumang yang jamak.
Di dunia sastra, ia menempatkan khazanah sastra Jawa sebagai sumber utama bacaan-ulangnya. Dia turut mendirikan laboratorium tempatnya pertama kali mengolah khazanah itu dalam serial karya Waktu Batu (Teater Garasi, 2001-2005). Yudi Ahmad Tajudin, sutradara karya ini, mengundang Andri Nur Latif, Cindhil, dan saya sendiri untuk menulis teks pertunjukan berdasarkan pembacaan ulang beberapa babad dan sejarah Jawa. Dalam karya ini, ia injak pedal gas untuk mengakumulasi khazanah pengetahuan Jawa-nya, di tengah berbagai eksperimen bahasa, bentuk visual, dan ketubuhan.
Sesudah itu, Cindhil mulai mengarsir sumbernya, membidik lebih serius pada khazanah Jawa non-keraton, pesisiran, dan budaya pasar. Jelajah ini tampak terang di Bon Suwung (2005) hingga kumpulan puisi Sejumlah Perkutut Buat Bapak (2010), juga beberapa karya kolaborasinya dengan sahabatnya, (almarhum) Ki Slamet Gundono, dalang penting yang juga meninggalkan kita terlalu cepat.
Gunawan Maryanto, di Bantul, Yogyakarta, 1 Desember 2019. TEMPO/Gunawan Wicaksono
Empatinya yang halus, tajam, dan kerap jenaka, lambat-laun menguat sebagai metodologi, sebagai laku. Tak sebatas laku estetik, Cindhil menerapkannya sebagai etika dan laku hidup sehari-hari. Di Teater Garasi, selama 27 tahun keterlibatannya, ia terkenal selalu menghindari konflik, sungguhpun konflik kadang diperlukan bagi penajaman gagasan dan kerja. Sekalipun kerap dikritik terbuka, ia terus bersetia melebarkan batas-batas konsensus. Pada saat yang sama, pendekatan inilah yang membuatnya tak lelah-lelah dalam menjalin dan mengikat kami, menjinakkan keriuhan kami.
Mudahnya, ia orang baik. Tapi, bahkan dalam kebaikannya, ia spesifik. Ia membuat semua orang yang mengenalnya merasa mengenalnya; tapi sesungguhnya ia tak mau bertepi atau mudah dikenali. Obituari ini tidak tak terkena dampaknya: mengelola keluasan jelajahnya dalam satu ruang, tak bisa tak sesak.
Melalui kerja pedagogi pemeranan Garasi, ia merawat beberapa lapis generasi aktor teater sejak awal 2000-an. Beberapa aktor film menjadikannya mentor pemeranan jauh sebelum ia sendiri memasuki dunia film. Karena pintu rumahnya selalu terbuka, banyak penyair, penulis, dan lirikus lintas generasi menyebutnya sebagai guru.
Di Yogyakarta, selain terlibat dalam berbagai kerja kebudayaan, Cindhil makin tekun berdialog dengan seni rupa, di antaranya melalui proyek Wayang Bocor dan ragam kolaborasinya dengan Prihatmoko Moki. Medan teater tetap tak pernah jauh. Bersama Joned Suryatmoko, ia merintis Indonesia Dramatic Reading Festival pada 2010, festival tahunan yang mendorong pertumbuhan penulisan lakon.
Pada awal 2021, ia menerima tanggung jawab baru sebagai direktur artistik Teater Garasi, menggantikan Yudi Ahmad Tajudin. Di tahun pertama kepemimpinannya, Garasi menginisiasi program OpenLab untuk memfasilitasi pertumbuhan generasi baru pelaku pertunjukan di Indonesia.
Siang hari, Rabu, 6 Oktober 2021, Cindhil memimpin rapat program podcast untuk seniman-seniman senior yang terkena dampak Covid-19. Rapat di sanggar Teater Garasi itu belum selesai ketika ia mengeluh sakit. Ia jarang mengeluh. Ia meninggal di hari yang sama, pukul 20.00 WIB, karena serangan jantung pada usia 45 tahun.
Dalam pementasan terakhirnya di studio Garasi, akhir September lalu, ia membagikan refleksi pribadinya.
Ketika bertemu dengan warga yang mempertahankan hajat hidupnya di Kulon Progo, lagi-lagi kudapati sederet pertanyaan usang: apa yang bisa kulakukan, apa yang seni bisa lakukan untuk menghadapi tekanan negara yang tak berpihak kepada rakyatnya, apakah yang kulakukan cukup buat mereka, apakah yang kulakukan cukup untuk ikut mewujudkan: kita.
Kepergian Gunawan Maryanto, kerjanya yang terputus, semestinya kita lihat sebagai undangan keterlibatan. Pelan dan perlahan-lahan, seusai duka ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo