Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Membelah Ombak, Menembus Dinding

Sejumlah penulis belia dan belum ternama "nekat" menerbitkan dan memasarkan sendiri karyanya—tapi sukses.

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lihatlah deretan buku di rak-rak toko buku. Jika Anda sering absen mengunjungi toko buku belakangan ini, silakan tercengang atau berdecak menghadapi fenomena ini: sejumlah karya "sastra" karya penulis baru, pada usia 20-30-an tahun. Menariknya lagi, sebagian menerbitkan karyanya sendiri, bahkan ada yang mempromosikan dan memasarkannya sendiri.

Memang istimewa. Selama ini, dunia buku adalah jagat yang didominasi penulis senior: punya nama, dengan penerbit mapan dan gurita jaringan distribusi. Hampir semua penulis muda tak ternama langsung terbentur pada "dinding" distribusi. Dengan kata lain, tak mudah meyakinkan toko buku agar menerima buku hasil karya penulis pemula yang diterbitkan penerbit yang belum punya nama. Distributor dan penerbit biasanya telah menjalin kesepakatan dalam bentuk standing order—artinya, distributor bersedia menjajakan buku tertentu dalam jumlah tertentu.

Dunia tak berubah. Ratih Kumala, pemenang ketiga "Lomba Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003", misalnya, berencana menerbitkan sendiri karyanya, Tabula Rasa. Rencana itu kandas. Dan pertengahan Maret, mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menyerahkan naskahnya ke sebuah penerbit di Yogyakarta. Pengakuannya: ia nihil pengalaman dan sibuk kuliah. Tapi dunia penerbitan juga mengenal Rachmania Arunita, pengarang novel Eiffel I'm in Love, yang bahkan menolak lamaran sejumlah penerbit mapan.

Nia, begitu pengarang novel itu biasa disapa, mengawali penyebaran novelnya empat tahun lalu dengan cara bersahaja. Ia memfotokopi naskah novelnya, lalu membagi-bagikannya di antara teman. "Aku tidak menyangka kalau sambutan mereka begitu antusias," ungkap gadis kelahiran Jakarta, 30 Juli 1985, ini mengenang reaksi sepuluh orang kawan satu SMU (SMU Negeri 28) yang membaca karyanya saat itu. Nia terlecut. Ketika novel itu rampung, Nia memfotokopi dan menjilidnya dengan lakban, lalu menjualnya Rp 10 ribu sebagai ganti ongkos fotokopi. Eh, 20 novel edisi fotokopi jilid lakban setebal 300 halaman itu ternyata laku keras. Peminatnya bertambah. Ia pun memfotokopi 30 eksemplar lagi, tapi dengan penampilan lebih serius: sudah dijilid spiral. Harganya dinaikkan menjadi Rp 12 ribu, tapi edisi jilid spiral itu habis terjual.

Eiffel I'm in Love sukses bukan kepalang. Perkenalannya dengan publik menjadi lebih luas setelah Nia mencetak 500 eksemplar dan menitipkannya di Toko Buku Gramedia Mal Pondok Indah dan Mal Cinere. Dari prestasinya, karyanya dilamar dua penerbit. Sejak pertama kali diterbitkan Terrant Books sekitar November tahun lalu, novel Eiffel I'm in Love telah tujuh kali dicetak ulang. Menurut mahasiswa D-3 Sastra Prancis Universitas Indonesia ini, novel setebal 294 halaman yang kini dibanderol seharga Rp 32.800 itu hingga kini telah dicetak sekitar 50 ribu eksemplar. Terakhir, novel itu melampaui dunia tulis-menulis: diangkat ke layar lebar dan menjadi film berdaya jual aduhai.

Kita tahu, sebelum Nia, ada Dewi Lestari, eks anggota kelompok vokal Rida-Sita-Dewi, yang menyedot atensi dengan Supernova, novel yang dilempar ke pasar secara bergerilya. Dari lingkungan kerabat dan teman dekat, Supernova merambah ke kampus-kampus. Terutama di antara anak muda yang sedang demam bacaan fiksi setelah meledaknya Saman karya Ayu Utami. Permintaan meningkat, Supernova pun dicetak ulang. Edisi ini diluncurkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Februari 2001, dengan sambutan luar biasa: 12 ribu buku ludes dalam sebulan.

Ya, sebelum Nia dan Dewi, ada banyak nama yang mencoba menembus pasar—tapi hampir tiada yang sukses seperti mereka. Zaman berubah, buku adalah komoditas dagang. Supernova melalui taktik pemasaran modern. "Iklan di media massa, direct marketing lewat Internet, pasang poster dan baliho, diskusi buku, book signing, hingga membuat soundtrack dan gimmick," kata Aries R. Prima, Direktur Bisnis BarkCom, perusahaan pemasaran yang digandeng Dewi.

Ada beragam nawaitu di balik semangat menembus dinding dan membelah ombak pasar di buku ini. Nia dan Dewi tidak ingin karyanya disentuh ataupun diubah editor atau penerbit—sikap yang mendudukkan penulis sebagai "tuhan" atas tulisannya. Kesimpulannya dua: itulah kemandirian sekaligus keangkuhan, warisan para penulis-seniman zaman romantik yang bertahan, atau sekadar permainan ego.

Nurdin Kalim, Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus