Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENDANG sumbang tentang investasi Jamsostek kembali berkumandang. Kali ini yang menjadi sorotan adalah pembelian surat utang berjangka menengah?lazim disingkat MTN (medium term notes). Sepanjang tahun silam, Jamsostek menghapusbukukan investasi MTN yang mampet sekitar Rp 79 miliar (lihat tabel). Hal ini tak lepas dari kegagalan perusahaan penerbit (issuer) MTN untuk melunasi angsuran utang.
Alokasi penyisihan untuk surat utang yang tak tertagih itu termuat dalam laporan investasi Jamsostek per akhir 2003.
"Kerugian itu hanya mencakup nilai pokok MTN yang dihapus," ujar seorang sumber TEMPO yang mengetahui persis jeroan Jamsostek. Padahal pendapatan bunga yang seharusnya diterima oleh Jamsostek, tapi tak terbayar, tak kurang dari Rp 40 miliar.
Direktur Investasi Jamsostek, Samuel Tobing, menyebut angka penyisihan sebagai bukti kebijakan akuntansi yang prudent. Hak tagih memang lazim disisihkan jika kemungkinan penagihan dianggap rendah. Tapi adanya penyisihan juga mengundang pertanyaan. Apakah investasi Jamsostek benar-benar runyam seperti temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)?
Selama dua tahun terakhir, BPK dalam auditnya tak putus-putusnya mempersoalkan investasi dalam bentuk MTN. Jamsostek tercatat rajin membeli MTN pada 2001-2002. Pada periode itu, surat utang ini memang terlihat jauh lebih menggairahkan dibandingkan dengan deposito. "Bunganya bisa mencapai 22 persen, sementara deposito paling tinggi hanya 17 persen," tutur Ahmad Djunaidi, Direktur Utama Jamsostek.
Samuel Tobing menambahkan, kalaupun ada MTN yang "bermasalah", jumlahnya relatif kecil jika dibandingkan dengan dana yang dikelola Jamsostek. "Berapa sih nilai investasi MTN kami?" Samuel malah bertanya, "Kecil sekali, satu persen (dari seluruh dana yang dikelola) juga tak sampai."
Nilai investasi tertinggi Jamsostek dalam bentuk surat utang, pada 2002, hanya Rp 1,6 triliun, sementara total dana yang dikelola Jamsostek lebih dari Rp 20 triliun. Argumentasi Samuel bisa dipahami. Tapi sejarah juga menunjukkan banyak persoalan besar dimulai dari hal kecil.
Sebagai pengelola jaminan sosial, Jamsostek dituntut ekstra-hati-hati melakukan investasi. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28/1996 tegas menyatakan, Jamsostek harus mempertimbangkan nilai risiko, nilai hasil, dan nilai likuiditas dalam mengelola kekayaannya. "Kehati-hatian itu prinsip pertama yang tidak bisa ditawar," kata Suparwanto, komisaris Jamsostek.
Jika melihat hasil laporan audit BPK, Maret 2003, unsur kehati-hatian itu tak jelas sosoknya ketika Jamsostek memborong sejumlah MTN. Apalagi, dalam peraturan pemerintah tersebut, MTN masuk wilayah abu-abu: tak dilarang, tapi juga tidak diizinkan. Peraturan itu hanya menyebutkan, Jamsostek boleh menaruh uang di surat utang. Yang disebut "surat utang" itu tidak dirinci.
BPK mendapati banyak jejak kecerobohan Jamsostek kala mengucurkan uang untuk membeli MTN. Keteledoran itu muncul dalam berbagai rupa, dari kelalaian mengecek jaminan, analisis yang asal jadi, hingga proses pengikatan hukum yang lemah.
Kelalaian Jamsostek dalam mengecek jaminan terlihat paling telanjang dalam pembelian MTN PT Sapta Prana Jaya senilai Rp 100 miliar. Surat utang ini disebutkan dijamin oleh aset berupa beberapa bidang tanah senilai Rp 101,5 miliar. Setelah diteropong BPK, tanah-tanah yang dijaminkan Sapta Prana ternyata bermasalah.
Misalnya, tanah seluas 962 ribu meter persegi di Desa Kahuripan, Cileungsi, Bogor, ternyata tidak dilengkapi sertifikat kepemilikan saat dijaminkan. Yang ada hanyalah akta jual-beli antara pemilik tanah terdahulu dan salah seorang komisaris Sapta Prana. Jaminan lainnya, tanah seluas 62.065 meter persegi di Lebak Bulus, jauh lebih tidak jelas klaim hukumnya.
Tanah itu ternyata dimiliki atas nama pihak lain. Tak aneh jika BPK menemukan, jaminan tanah Sapta Prana yang telah diikat oleh Jamsostek hanya senilai Rp 33 miliar. Sisanya sama sekali belum mencapai pengikatan.
Soal analisis keuangan yang serampangan, menurut BPK, tampak pada pembelian MTN Volgren pada 2001. Jamsostek hanya menggunakan laporan keuangan Volgren yang tidak diaudit saat menganalisisnya. Yang mengherankan, Jamsostek tak ragu membeli surat pernyataan utang senilai Rp 33 miliar, padahal perusahaan karoseri bus dan aluminium itu hanya memiliki aset Rp 6,8 miliar pada akhir 2000.
Kinerja operasi Volgren juga mengecewakan. Pada 2000, Volgren harus menanggung rugi Rp 129 juta. Hari-hari kelam Volgren masih berlanjut sampai 2002, tatkala PPD, perusahaan angkutan bus di Jakarta, memutus kontrak kerja sama operasi. Jamsostek semakin tersudut karena jaminannya juga tidak memadai. Hingga 2003, nilai jaminan yang terkumpul baru sekitar Rp 21 miliar.
Contoh lain kecerobohan analisis Jamsostek yang disodorkan BPK adalah kasus MTN PT Surya Indo Pradhana. Pada pertengahan 2001, Jamsostek berani menempatkan uang Rp 80 miliar hanya dengan menganalisis ikhtisar keuangan Surya tahun 2000 serta proyeksi keuangan lima tahun berikutnya. BPK menilai ikhtisar keuangan tadi bukanlah laporan keuangan karena Surya tak menerbitkan laporan keuangan per 2000 dan 2001.
BPK menyodorkan bukti lain betapa Jamsostek sangat kedodoran dalam menganalisis kelayakan investasi MTN Surya. Pada memo unit manajemen risiko Jamsostek tertanggal 11 Juli 2001, Surya disebut sebagai pemegang hak tunggal penyaluran mobil Daewoo. Sedangkan hasil penelusuran BPK menemukan, hak eksklusif sebagai distributor Daewoo baru dikantongi Surya pada Oktober 2001.
Contoh lain, dalam pembelian MTN Sapta Prana (Rp 100 miliar) dan PT Arutmin Indonesia (Rp 470 miliar), masing-masing pada Juli dan Oktober 2001, kajian yang dilakukan Jamsostek bernuansa asal ada. Jamsostek hanya menengok proposal penempatan dana sebesar Rp 570 juta yang diajukan Rivan Financindo, sebagai manajer pengelola dana, tanpa melongok isi kantong Sapta Prana ataupun Arutmin.
Khusus untuk pembelian MTN Arutmin, Jamsostek malah melakukan kekonyolan lebih fatal. Perjanjian investasi ditandatangani pada 19 Oktober 2001, dua pekan sebelum unit manajemen risiko Jamsostek mengeluarkan memo kelayakan investasi MTN Arutmin.
BPK juga menjewer Jamsostek karena menyepelekan tetek-bengek legalitas saat membeli MTN Surya. Perikatan jual-beli MTN Surya tak dilakukan di depan notaris, dan hanya dibuat di atas kertas polos, tanpa registrasi. Praktek semacam ini di luar kelaziman investasi Jamsostek.
Samuel enggan mengomentari berbagai keanehan itu. Pria yang dikenal dekat dengan Laksamana Sukardi ini mengaku tak tahu-menahu soal kejanggalan di seputar investasi MTN Jamsostek. Samuel diangkat sebagai Direktur Investasi Jamsostek pada 2003. "Saat itu Jamsostek sudah tidak berinvestasi di MTN," katanya singkat.
Bagi pihak di luar Jamsostek, kecerobohan macam itu mengundang waswas. Beberapa anggota DPR, dimotori Alvin Lie, mengusulkan pembentukan panitia khusus untuk menyelidiki dana Jamsostek pada pertengahan tahun silam. Tapi angin berbalik cepat ke Djunaidi.
Usul pembentukan panitia khusus ditolak dalam rapat paripurna DPR. Ini melengkapi keberhasilan Djunaidi cs mengantongi opini wajar tanpa pengecualian dari BPK pada awal 2003. Audit laporan keuangan BPK 2003 memang belum selesai. Tapi seorang sumber TEMPO menyebut Jamsostek berpeluang mengantongi opini yang sama. "Hanya, investasi di MTN akan tetap dijadikan catatan," kata si sumber.
Dia juga memperkirakan, ini akan menjadi audit terakhir BPK yang mempersoalkan investasi MTN di Jamsostek. Pasalnya, rancangan pengganti untuk Peraturan Pemerintah Nomor 28/1996 sedang digodok. "Peraturan itu sudah tidak sesuai dengan kondisi pasar sekarang," ujar Firdaus Djaelani, Direktur Asuransi Departemen Keuangan.
Berbagai produk investasi yang kini marak, termasuk surat utang negara, luput dicantumkan. Persyaratan kelayakan surat utang juga akan diperketat, Firdaus menambahkan. Dari dalam Jamsostek, terlontar juga niat berbenah. Seperangkat aturan good corporate governance, termasuk standar berinvestasi, dirancang sejak beberapa bulan silam.
"Kami hanya akan membeli surat utang yang memiliki peringkat A minus," ujar Samuel. Semoga saja aturan main baru itu diikuti peningkatan ketaatan para petinggi Jamsostek dalam melakukan investasi, sekecil apa pun nilainya.
Thomas Hadiwinata, Amal Ichsan (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo