Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menerbitkan Buku, Menerbitkan Untung

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak reformasi bergulir pada pertengahan 1998, penerbit buku layaknya cendawan di musim hujan. Tumbuh subur, terutama di kota besar. Sekitar 650 penerbit tercatat sebagai anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) sampai akhir 2003. Sebuah "lompatan", dibandingkan dengan masa sebelum reformasi yang cuma 100 penerbit. Jumlah tersebut belum termasuk 60 penerbit Yogyakarta yang enggan bergabung dengan organisasi penerbitan yang didirikan Sutan Takdir Alisjahbana, M. Yusuf Ahmad, dan Ny. Achmad Notosoetardjo pada 17 Mei 1950 itu. Mereka lahir karena berbagai faktor. Selain permintaan yang besar, penerbit tak perlu berbelit mengurus izin. Cukup berbekal International Standard Book Number (ISBN) seharga Rp 25 ribu dari Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta, sebuah naskah layak diterbitkan sebagai buku. Kemudahan itu mendorong pendatang baru mencoba peruntungan. Sebagian berhasil dan terus berproduksi. Namun banyak pula yang tumbang gara-gara tak tahan digempur persaingan. Dalam catatan Ikapi: 500 penerbit anggotanya bertahan dan melahirkan buku baru hingga hari ini. Penerbit bermunculan, tapi bisnis ini tidak mudah. Bisnis yang butuh kejelian membaca pasar dan punya jaringan distribusi agar produk sampai ke tangan konsumen. "Distribusi biasanya menjadi kendala utama penerbit baru," kata Sari Meutia, General Manajer Penerbit Mizan Bandung. Para distributor ini berperan sebagai jembatan antara penerbit dan toko buku. Sebagai bagian dari mata rantai bisnis, wajar jika distributor turut menjala keuntungan. "Karena itu biaya distribusi dimasukkan dalam komponen biaya," katanya. Penerbit Mizan biasanya memberikan rabat kepada distributor sekitar 47 persen dari harga jual. Langkah berikutnya distributor memberikan rabat ke toko buku sebesar 35 persen dari harga jual. Selisih rabat itu merupakan bagian mereka. Untuk distribusi wilayah Jakarta, misalnya, Mizan bekerja sama dengan Lutfi Agency, yang memasok produk Mizan ke toko buku di seluruh Jakarta. Hal serupa juga dilakukan penerbit Gramedia lewat distributor PT Gramedia Asri Media. "Besarnya rabat tergantung produk dan kesepakatan di awal," kata Wandi S. Brata, Manajer Produksi Gramedia. Selain komponen biaya tersebut, penerbit harus menyertakan royalti penulis 8 sampai 12 persen. Royalti terbesar penulis Indonesia masih dipegang Pramoedya Ananta Toer. Penerbit Harta Mitra sanggup membayar royalti 15 persen dari harga jual. "Tapi, kalau diambil rata-rata, royalti penulis sekitar 10 persen," kata Wandi. Besar royalti ini sepadan dengan keuntungan bersih yang dipatok penerbit dari setiap buku yang diterbitkan. Komponen biaya itu masih ditambah biaya produksi mulai pracetak sampai pencetakan yang besarnya 25 persen sampai 30 persen dari harga jual, dan biaya promosi 5 persen. Komponen biaya tersebut juga berlaku bagi penulis yang menerbitkan buku sendiri. Hanya, penulis punya keuntungan menentukan besar royalti. Kelebihan lain jika penulis mampu menjalin hubungan langsung dengan toko buku tanpa melewati jaringan distributor. Meski agak sulit, pemotongan mata rantai ini bukan tak mungkin dilakukan. "Memang ada yang bekerja sama langsung dengan toko buku," kata Wandi. Toko buku biasanya meminta rabat 35 persen dari harga jual ditambah 10 persen pajak. Menerbitkan buku sendiri memang punya kelebihan. Bentuk buku dan materi bisa disesuaikan dengan keinginan pribadi tanpa campur tangan penerbit. Besar royalti didongkrak lebih tinggi dan mata rantai distribusi bisa dipotong. Cara ini sebenarnya tak luput dari kekurangan seperti risiko produk tidak terjual, penyebaran buku kurang merata, minim promosi, dan perlu dana tambahan untuk urusan administrasi. Penulis yang belum dikenal harus mampu meyakinkan toko buku. Menyerahkan naskah ke penerbit juga tak luput dari kekurangan. Setidaknya besar royalti sudah ditentukan dan jumlah buku dicetak berpulang pada keinginan penerbit. Pembayaran royalti tak bisa diambil setiap saat karena penerbit memberikan dua kali dalam setahun. Namun, penulis punya keuntungan lain. Penyebaran buku merata, promosi lebih tertata, judul buku masuk dalam katalog penerbitan. Penulis tak perlu direpotkan urusan pemasaran karena proses itu menjadi tanggung jawab penerbit. Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus