Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mencari Cahaya Kunang-kunang

Sebuah drama keluarga yang menyentuh tentang ayah yang keji dan anak lelaki yang mencoba tidak dendam. Sayang, skenario tidak matang.

3 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fireflies in the Garden
Sutradara dan Skenario: Dennis Lee
Pemain: Ryan Reynolds, Julia Roberts, Willem Dafoe, Emily Watson, Ioan Gruffurd
Produksi: Senator Entertainment dan Kulture Machine

Sosok itu tumbuh di antara kebun yang bercahaya oleh kunangkunang. Ketika malam turun, Michael Taylor kecil (Cayden Boyd), yang harus menghadapi temperamen ayahnya yang keji, hanya berharap pada ratusan kunangkunang yang menyalakan harapan di kebun belakang. Mereka melayang sembarangan, tanpa aturan, tanpa persoalan.

Sejak kecil, Michael tak pernah paham (demikian juga penonton) mengapa ayahnya, Charles Taylor—seorang dosen sastra Inggris—selalu mencaricari kesalahan dari tingkah lakunya. Kesalahan kecil akan membangkitkan kemarahan sang ayah; kesalahan besar akan menyuburkan kebuasan sang ayah hingga Michael pasti mengalami hukuman fisik yang mengerikan. Michael tumbuh dalam penderitaan, sembari rajin mengasah bakatnya dalam menaklukkan katakata. Dia seorang penulis berbakat yang tumbuh menjadi pemuda yang sinis dan penuh kemarahan karena sang ayah yang keji dan sang ibu, Lisa (Julia Roberts), yang hidup hanya sekejap dan tewas dalam sebuah kecelakaan mobil.

Film drama keluarga ini dimulai dari adegan Michael Taylor dewasa (Ryan Reynolds) yang tengah duduk di atas pesawat, sementara seorang penggemarnya menghampiri dan meminta dia menandatangani novelnya. Dia sudah menjadi penulis terkemuka. Tapi wajahnya memperlihatkan kemurungan yang luar biasa dalam. Perjalanan ke kampung halamannya kemudian membawa dia (dan penonton) mondarmandir ke area gelap dalam hidupnya: masa kecil yang buruk dengan ayahnya. Juga pencarian soal kisah cinta sang ibu dan problem yang dihadapi tantenya (adik ibunya), Jane Lawrence (Emily Watson), dengan keluarganya sendiri.

Charles Taylor (dimainkan dengan baik oleh Willem Dafoe) jelas seorang ayah dan lelaki sialan. Tak sulit membenci dia dan tak sulit untuk menya­lahnyalahkan dia sebagai penyebab penderitaan istri serta anakanaknya. Tapi pertanyaan yang lebih pen­ting adalah apakah Michael harus memendam dendamnya dan menyelenggarakan pembalasannya di saat dewasa dengan mencurahkannya dalam novel terbarunya? Atau dengan membiarkan alam menyiksa ayahnya dengan rasa bersalah seumur kehidupannya yang sudah renta?

Dendam, apalagi kepada orang tua yang telah membesarkan dengan kekerasan serta penyiksaan fisik dan mental, adalah sesuatu yang sulit disetrika, apalagi dihapus. Diralat, tak mungkin. Orang tua itu, entah untuk alasan apa, sudah telanjur terbentuk sebagai sosok yang keji. Sang ibu (di sini Julia Roberts tidak tampil istimewa) menyembunyikan sebuah rahasia besar dan tak bisa menghalangi kelakuan suaminya. Michael menanggung kekejaman ayahnya sendirian.

Film drama keluarga yang rontok (dysfunctional family) mungkin salah satu genre yang ”tersulit” untuk meraup penonton, karena genre ini sudah terlalu tua; sudah diubekubek, bolakbalik dari persoalan perceraian, perselingkuhan, anak yang bejat, orang tua yang kalap, dan seterusnya. Jika seorang sineas mengusung drama keluarga, tidak bisa tidak, dia harus menampilkan sesuatu yang baru. Jika persoalannya sudah basi, paling tidak sang sineas harus mampu menyajikan format yang baru.

Ingat film Little Miss Sunshine karya Jonathan Dayton dan Valerie Faris, film indie yang menghebohkan, yang juga bertutur tentang keluarga yang ”rontok”. Persoalannya juga sama, sang ayah yang terlalu bermimpi, kakek yang bejat, paman gay yang depresi ingin bunuh diri, dan abang yang tak ingin berbicara karena ”saya membenci semua orang”. Namun film ini bisa meledak, selain karena memang penampilan semua pemain luar biasa, terutama karena para sineasnya meng­usung sesuatu yang baru. Pengungkap­an ”rahasia keluarga” dalam sebuah road trip, sebuah perjalanan mengungkap diri.

Film Fireflies in the Garden juga mencoba membuat sebuah teknik yang sama. Kita mengikuti perjalanan pulang Michael Taylor ke rumah masa kecilnya; di mana terungkap apa yang sebetulnya terjadi. Tapi ”rahasia” yang kita temukan adalah tentang ibunya di masa hidupnya belaka. Kita tak pernah tahu kenapa sang ayah tumbuh menjadi lelaki yang keji. Kenapa sang ayah hanya jahat kepada anak lelakinya, tapi lembut kepada anak perempuan.

Begitu banyak pemain terkemuka yang terlibat, begitu mubazir karena cerita film ini tidak terasa matang. Justru penampilan Cayden Boyd sebagai si Michael kecil yang berkacamata besar itu yang menyentuh hati. Tapi terlepas dari semua catatan itu, film ini tetap layak dinikmati sebagai drama keluarga yang realistis, yang terjadi di sekitar kita.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus