Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syu’bah Asa*
Tidak dijelaskan dalam berita, bagaimana cara Pujiono Cahyo Widianto, 42 tahun, ”membatalkan” pernikahannya dengan Lutfiana Ulfa, 12 tahun, berkat campur tangan Kak Seto dari Komisi Nasional Perlindungan Anak. Semestinya ”pembatalan” itu dilakukan lewat perceraian, karena bagaimanapun mereka sudah menikah. Dan pernikahan mereka sah. Nabi Muhammad sendiri mengawini Siti Aisyah pada usia gadis itu yang sembilan tahun, sementara Nabi di atas 50.
Irfan Awwas, tokoh Majelis Mujahidin Indonesia, menyatakan di televisi: kalau orang mau menghukumi tindakan Puji, tak lain kriteria yang dipegang harus kriteria syariah. Dan kriteria syariah yang dimaksudkannya tentu akan menunjuk pada praktek Nabi. Itulah, memang, syariah dalam keadaan baku.
Sebab, sementara itu terdapat syariah yang lain, yang ”sudah terjabarkan”. Di sini, seperti dikatakan Amidhan Pahuluan dari Majelis Ulama Indonesia, juga di televisi, dalam kasus Puji itu, kita akan bertemu dengan Undang-Undang Perkawinan (1974), yang dalam kenyataannya merupakan hasil kerja keras para ulama—atas dasar rancangan undang-undang yang mula-mula diajukan pemerintah dan ditolak beramai-ramai oleh kalangan Islam.
Dan Undang-Undang Perkawinan menetapkan, pada Pasal 7 ayat 11, usia minimal seorang gadis untuk pernikahan adalah 16 tahun. Kurang dari itu berarti melanggar Undang-Undang Perkawinan. Dan ini lebih berat daripada kebiasaan yang sering disebut kawin sirri, yang hanya tidak mencatatkan perkawinan yang dilakukan ke Kantor Urusan Agama. Perkawinan sirri memang tidak diakui, tapi dipraktekkan di luar pengetahuan pemerintah, dengan konsekuensi khususnya pada istri yang tidak terlindungi. Perkawinan itu sendiri sama sekali sah.
Sebaliknya, mengganti ketentuan usia 16 tahun dalam Undang-Undang Perkawinan dengan 12 tahun, atau berapa pun, adalah pelanggaran. Dan melanggar Undang-Undang Perkawinan, seperti yang tampaknya ingin ditekankan Amidhan, berarti melanggar syariah. Ya. Ingin di sini penulis menambahkan kesimpulan Nakamura, peneliti Islam asal Jepang, yang menganggap Undang-Undang Perkawinan (dalam satu ceramahnya di kediaman Lukman Harun, almarhum, di Jakarta) sebagai ”hukum Islam di bawah nama Pancasila”. Ia hukum Islam yang pertama, seperti dikatakannya, yang diberlakukan tanpa lebih dulu menjadi hukum adat seperti yang ditentukan dalam teori receptie pemerintah kolonial Belanda.
Dan sesudah itu, keluar beberapa undang-undang serta peraturan yang juga berakar pada syariah. Ada Kompilasi Hukum Islam. Ada Undang-Undang Peradilan Agama. Ada juga, seperti yang diklaim Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, di televisi, usaha-usaha pembuatan undang-undang dengan pengajuan beberapa rancangan undang-undang yang bersemangat syariah, semasa ia menjabat menteri. (Ia menyebut sebagai contohnya Undang-Undang Antiteror.) Lalu kita lihat pula aturan-aturan baru di dunia perbankan, yang memungkinkan beroperasinya, dan kemudian makin maraknya, lembaga-lembaga keuangan berdasarkan syariah.
Mesti dilakukan sosialisasi, kalau dianggap perlu: bagaimana membuka mata mereka yang selama ini mengira hukum Islam sebagai hanya ketentuan yang tertulis, dalam huruf Arab, di kitab-kitab fikih lama, atau simbol-simbol eksotik tapi tidak esensial, seperti penggunaan cambuk dalam penghukuman di Aceh, dan dengan anggapan seperti itu mempertentangkan ketentuan seperti dalam Undang-Undang Perkawinan dengan teks asli Al-Quran ataupun praktek Nabi yang justru merupakan sumbernya.
Masalahnya ialah, kalau begitu, tidak digunakannya pertimbangan kesejarahan dalam menatap Quran ataupun hadis. Praktek Nabi yang mengawini Aisyah pada usia sembilan tahun itu hanya contoh kecil dari masa peralihan besar dari alam jahiliah ke alam modern yang waktu itu diwakili Islam.
Contoh-contoh lain adalah ayat yang melarang membunuh anak-anak laki-laki karena takut miskin (Q. 6:151) dan anak perempuan karena malu (Q. 16:58). Atau yang melarang mewarisi istri-istri bapak yang meninggal untuk menjadi istri-istri kita (Q. 4:19). Kita, yang hidup di zaman yang terang benderang ini, tentunya tidak memerlukan larangan-larangan seperti itu. Tapi bahkan ayat tentang poligami dan perbudakan (Q. 4:3) memantulkan satu zaman yang khas. Ayat-ayat itu haruslah dibaca dengan satu kesadaran tentang waktu. Juga masalah perkawinan anak-anak, yang tidak ada dalam Quran, tapi dalam praktek Nabi.
Perkawinan anak-anak itu adat lama di berbagai belahan bumi. Di Aceh, terutama di masa-masa lalu, anak-anak usia 5 dan 7 tahun biasa dipersatukan lewat upacara kawin gantung. Mereka tidak langsung hidup bersama, tapi kapan hubungan badan dimulai tentunya banyak bergantung pada pasangan dini itu sendiri. Dan tidak seorang, dari zaman kuno, yang menyatakan kejelekan kawin anak-anak itu dari segi kesehatan. Bahkan Snouck Hurgronje, orientalis kolonial itu (Van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam), dua kali berturut-turut mengawini anak-anak penghulu di tanah Sunda dalam usia mereka yang 12 dan 13 tahun (dan meninggalkan keturunan yang tidak diakui hukum Nederland).
Tidak, kita tidak menyamakan perkawinan Snouck dengan perkawinan Nabi, atau perkawinan Puji. Pada Nabi, kawin dengan Aisyah itu merupakan sarana pengikat yang kuat sekali dengan ayah si gadis, Abu Bakar Shiddiq. Harap diketahui bahwa empat orang sahabat, yang bersama Nabi kemudian menjadi lima figur utama dalam Islam, sengaja beliau ikat dengan hubungan darah: Abu Bakar dan Umar beliau jadikan mertua (Nabi juga kawin dengan putri Umar, Hafshah, yang janda, dan diriwayatkan bukan perempuan cantik), sedangkan Utsman dan Ali beliau jadikan menantu.
Memang, pada Abu Bakar tidak ada anggota keluarga lain yang lajang kecuali kanak-kanak Aisyah, perempuan jenius yang kemudian menjadi guru para sahabat sepeninggal Nabi. Sesudah menikahi Aisyah itu, Nabi mengawini janda yang lain, dan baru sesudah itu, Aisyah beliau boyong.
Jelas sekali bahwa sebagian besar perkawinan Nabi punya motif politik. Seperti ketika beliau mengawini putri kepala suku Yahudi yang beliau kalahkan dalam perang dan kemudian seluruh suku masuk Islam. Tidak bisa kita bayangkan Nabi, yang belum terlalu lama ditinggal mati istri satu-satunya, Khadijah, yang hidup bersama beliau lebih dari 25 tahun, menikahi kanak-kanak Aisyah dengan semangat petualangan.
Berbeda kiranya dengan orang yang di zaman modern ini mengawini anak-anak, atau bermaksud, seperti yang diakui Puji, mengumpulkan para istri anak-anak, dan mengira meneladani Nabi. Apa yang digariskan para ulama dalam ketentuan yang kemudian menjadi Undang-Undang Perkawinan itu lahir dari pemahaman tentang kemungkinan (bila bukan keniscayaan, kadang-kadang) pengambilan hukum syariah secara ”tidak sama dengan bunyi aslinya”.
Contohnya banyak. Ayat Quran yang membatasi kebolehan perkawinan laki-laki pezina hanya dengan perempuan pezina, atau perempuan musyrik, dan demikian juga sebaliknya (Q. 24:3), dengan penegasan bahwa perkawinan yang tidak mengikuti aturan itu ”diharamkan bagi para mukmin”, tidak dianggap sebagai ayat hukum. Tidak pernah penghulu bertanya lebih dulu kepada masing-masing calon pengantin: ”Sudah pernah berzina?”
Ketentuan talak tiga sekaligus adalah ciptaan Khalifah Umar. Quran hanya menentukan dua, dalam arti berselang-seling antara dua kali talak dan dua kali hidup bersama, dan baru talak ketiga dijatuhkan kalau memang tidak bisa dipertahankan (Q. 2:229)—tapi orang Arab suka menalak istrinya tiga sekaligus, dan Umar menjadikannya berlaku tak lain dengan maksud ”agar mereka kapok”.
Dalam kasus tanah-tanah rampasan perang di Irak, Umar tidak mau membagikan sebagian besarnya kepada para tentara seperti ditentukan Quran (Q. 8:1) dan dipraktekkan Nabi, dengan alasan akan membawa akibat tidak baik pada generasi mendatang. Umar tetap membiarkannya dalam pemilikan penduduk Kristen dan, sebaliknya, menarik retribusi dari mereka. Dan itulah pajak tanah yang pertama.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah menafsirkan ungkapan ”dibuang dari bumi” (yunfau minal ardh), salah satu dari empat alternatif hukuman dalam ayat tentang perampokan bersenjata (Q. 5:32), sebagai ”dipenjara”. Lalu menyeret hukuman potong tangan untuk pencuri (Q. 5:38) ke hukuman penjara juga, dengan alasan tindak pencurian jauh lebih ringan dibanding perampokan bersenjata. Khalifah Hisyam ibn Abdul Malik mengamalkan hasil penafsiran itu selama setahun: mengganti hukuman potong tangan dengan pemenjaraan. (Hasilnya memang mengecewakan: tindak pencurian meningkat—mungkin karena perekonomian yang buruk.) Tapi itu contoh tentang kemungkinan penafsiran.
Dan penyediaan kemungkinan bagi penafsiran itu mutlak. Tidak sepotong ayat pun dalam Quran yang mengharamkan perbudakan, sedangkan tindakan membebaskan budak diasung baik sebagai salah satu bentuk denda keagamaan maupun sebagai kebajikan besar. Berdempetan dengan perbudakan adalah poligami. Ia bukan ajaran, tapi, seperti halnya perbudakan, ia tradisi.
Penafsiran yang kontekstual semestinya mengharuskan perbudakan dihapus (dan sudah, meskipun bukan oleh orang Islam, melainkan Serani), sementara poligami dipertimbangkan konteksnya dengan gaya hidup aktual masyarakat-masyarakat muslim. Seperti juga perkawinan anak-anak, poligami bisa dibiarkan berlangsung (dengan pengawasan ketat pengadilan), dan bisa pula dilarang bila pemerintah melihat kemudaratan sosial (atau kesehatan, dalam hal perkawinan anak) sebagai ’illat (motif)-nya. Kaidah fikihnya berbunyi: ”Barang yang halal boleh dilarang, tapi barang yang haram tidak boleh dihalalkan.”
Penjabaran kembali—dan restrukturisasi—hukum syariah barangkali mendekati tingkat gawat. Jangan nanti tiba-tiba kita mendengar saudara-saudara di Aceh ingin ”meningkatkan” pelaksanaan hukum Islam dengan menerapkan hukuman rajam.
*) Mantan Redaktur Agama Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo