Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dan hanya seekor kera yang akhirnya selamat.…
Itulah tafsir Garin Nugroho. Semuanya mati dalam asmara segi tiga itu. Setio, Siti, Ludiro sebagai alegori Sita, Rahwana, Rama. Mereka terkapar, setelah saling membunuh. Di bawah sorot cahaya, hanya seekor kera (dimainkan seorang aktivis teater bernama Helmi) yang sedari awal menjadi saksi pernikahan dan perselingkuhan ketiganya itu yang dapat hidup. Ia meloncat, menggeliat, menjerit.
Sebagai pembuka Indonesian Dance Festival ke-9, Garin Nugroho menampilkan versi panggung film Opera Jawa-nya. Dua medium ini memang berbeda. Garin dikenal sebagai seorang yang memiliki insting eklektik. Kekuatan itu diperlihatkan dalam film Opera Jawa. Berbagai perupa dan penari, yang memiliki karakter berbeda-beda, mampu disatupadukan dengan editing yang kuat. Ingat bagaimana selendang merah panjang yang dibikin perupa Sunaryo itu bisa seolah memanjang berkilo-kilometer meliuk melewati sungai, sawah, dan pepohonan. Dunia panggung tapi membutuhkan bahasa lain.
Di tengah Graha Bakti Budaya dipasang sebuah ranjang besi berkelambu putih. Ranjang besi itu menjadi poros. Semua penari masuk dan keluar dari ranjang. Di pojok panggung terdapat satu set drum. Terasa di sini ciri Garin. Ia sering mengawinkan sesuatu yang kontras dari unsur tradisi dan anasir pop. Sebuah pastiche—dalam istilah para cendikia postmodernisme.
Mulanya adegan slametan. Setio (Martinus Miroto) dan Siti (Astri Kusuma Dewi) bersimpuh di ranjang. Penghulu mendoakan mereka. Para pendoa membawa kukusan-kukusan bambu. Selanjutnya, tontonan menuju inti persoalan: erotisme.
Setio tak mampu memenuhi hasrat Siti. Hadirlah orang ketiga, Ludiro (Eko Supriyanto). Eko mengendap di bawah ranjang. Masih dalam pelukan suaminya, tubuh Siti dicumbu Ludiro. Jemari tangan Ludiro gemulai membelai kaki Siti. Kemudian kepalanya pun menyusup ke dalam jarit Siti. Siti melenguh.
Garin ingin menggambarkan Siti lebih bergelora. Saat Siti kangen pada sentuhan Setio yang lama tak pulang, kukusan bambu menjadi punya arti. Dalam dekapan Siti, kukusan itu menjadi simbol payudara. Sementara itu, dalam kepitan dua kakinya, kukusan menjadi farji—yang rindu penetrasi.
Tapi adegan itu tak sampai menancap benar ke benak. Sebab, adegan tersebut tak bisa disampaikan secara sublim. Juga ketika Garin menambahkan sosok Trijata. Saat Siti lelah menanti Setio, Trijata, keponakan Ludiro yang diperankan Titi Aksan, datang. Jemari Trijata meremas payudara Siti, membelai tubuh perempuan itu tanpa henti. Kehadiran Titi Aksan justru mencuri perhatian ketika ia menggebuk drum, mengekspresikan suasana kemarahan Setio.
Selain itu, pada malam pertama Indonesian Dance Festival, koreografer Retno Sulistyarini menampilkan karya Samparan Moving Space. Tiga penari berdiri di gelondongan kayu. Mereka mengenakan kostum dodot tari bedhaya. Ketiganya kemudian mengeksplor kain samparan. Torso mereka mengekspresikan hal berbeda. Saat turun dari gelondongan, gasing-gasing tiba-tiba menyerbu panggung. Musik yang digarap Rudy Sulistanto—menggunakan instrumen tradisi tapi dengan notasi-notasi modern—menguatkan gerak penari.
Tiga koreografer Jepang, pada malam kedua, di Teater Luwes menampilkan karya solo. Bertajuk Diagonally, Megumi Kamimura, dengan kaki seakan terlem di lantai, menghadirkan gerakan yang cenderung bisu, lambat, penuh repetisi. Penonton terenyak saat penari selanjutnya, Yukio Suzuki, tampil. Dalam dentuman musik, pria berambut kribo itu mengentak-entak, meliuk. Ia seakan boneka yang ditarik-tarik dalang. Penonton yang memadati Teater Luwes pun sempat menjerit tertahan ketika Yukio mengentakkan kepalanya ke lantai. Ia jatuh, bangun, jatuh, bangun.
Giliran Natsuko Tezuka. Dengan ramah ia menyapa penonton. Ia membagikan kertas kepada hadirin, yang bertulisan berbagai ekspresi gerakan. ”Anda tinggal memilih nomor mana yang harus saya kerjakan,” katanya dalam bahasa Indonesia patah-patah. Seorang penonton meminta Natsuko memperagakan bagaimana seandainya lidahnya selalu menjulur. Penonton lain meminta Natsuko mengekspresikan bila rahimnya naik ke dada. Saat seorang penonton meminta Natsuko memperagakan seandainya lubang di tangannya semakin membesar, Natsuko menjulurkan tangannya ke atas, dan mimik mukanya yang ketakutan seakan mengajak penonton menikmati adegan film horor dari Jepang.
Penampilan ketiga koreografer ini mungkin sulit dinikmati penonton Indonesia. Beberapa penonton terdengar ngedumel. Tapi kemudian terpuaskan oleh penampilan kelompok MK asal Italia yang dipimpin koreografer Michele Di Stefano. Mereka menampilkan nomor Comfort.
Dua penari pria, Phillippe Barbut dan Lorenzo Bianchi, menari seperti anak kembar. Gerakan mereka menjadi satu kesatuan gerak. Persis saat kita tengah memandang bayangan diri di cermin. Dua penari pria itu bersama seorang penari wanita, Cristina Rizzo, kemudian menari bertiga secara lekat. Salah satu bergerak, dua penari lain harus ikut bergerak.
Indonesian Dance Festival kali ini juga menghadirkan Min Tanaka, penari butoh Jepang yang pernah tampil memukau di panggung Indonesian Dance Festival beberapa tahun lalu. Kini ia memberikan workshop. Ia juga membawa film dokumenternya berjudul Min Tanaka Dance Road Indonesia. Ini adalah rekaman pengembaraannya, berkelana selama 45 hari ke pelosok desa seluruh Nusantara. Ia menapaki pegunungan suku Toraja barat yang terpencil, ke Pulau Kangean, bertemu dengan masyarakat nelayan Bajau, ke Flores, ke Parapo, dan seterusnya.
Bagai pengembara tanpa nama, ia berjalan dan menari semau yang dia inginkan—di mana saja—di jalan, sawah, pantai, hutan. Ia terkapar diendus oleh anjing dikira orang mati, ia membenamkan dirinya dalam lumpur, ia ikut ritual, ia ikut membajak sawah bersama petani. Seperti orang gila ia berjalan—mengenakan kimono lusuh di jalan berdebu, terseok-seok di bawah terik matahari. Di kawasan-kawasan terpencil Indonesia itu, ia ingin mencari inti tari.
Ia lalu berkata, ”Lalu di manakah tari dimulai? Bisakah aku mengatakan di mana? Tidak mudah untuk mengatakannya. Tapi aku ingin menelusuri kembali asal-usul tari... sebelum terbagi-bagi menjadi permainan, pekerjaan, seni….”
Sita Planasari Aquadini, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo