Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto revolusi bukan hanya serangkaian seri tentara yang angkat senjata. Melainkan jiwa dan suasana hati masyarakat. Semangat, harapan, daya hidup rakyat. Jepretan dua bersaudara fotografer Frans Sumarto Mendur (1913-1971) dan Alexius Impurung Mendur (1907-1984) memperlihatkan hal itu.
Indonesia saat itu masih muda. Baru berumur tahunan. Dengan passion yang menyala-nyala, Frans dan Alex mengabadikan Sukarno, Sjahrir, Hatta, dan Sudirman di berbagai momen. Kamera mereka juga diarahkan ke massa yang dengan hangat menyambut tokoh-tokoh itu. Kita tak tahu siapa orang-orang yang berpeci, berkemeja putih, berdesak-desakan, dan bersorak-sorai itu. Kita tak tahu apa yang bergemuruh dalam dada mereka. Tapi tataplah ekspresi-ekspresi mereka. Pancaran jiwa mereka saat itu menggetarkan.
The past is never dead. It’s not even past. Sekali waktu sastrawan Amerika, William Faulkner, menyatakan hal ini. Dan benar. Itulah yang bisa kita lihat pada pameran Dari Pegangsaan sampai Rijswijk di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Pasar Baru, Jakarta. Sebulan penuh sampai September, pameran ini memajang 66 foto bersejarah karya Frans Sumarto Mendur dan Alexius Impurung Mendur serta beberapa pewarta foto yang tergabung dalam Indonesian Press Photo Service (IPPHOS Coy Ltd).
Sebagian foto yang dipamerkan mungkin sudah tidak asing lagi. Salah satunya foto masterpiece Frans Mendur yang merekam saat Sukarno membacakan naskah proklamasi di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945. Juga foto prosesi pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota Pembela Tanah Air.
Tapi tengoklah foto Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berkunjung ke Banjarmasin dan Denpasar. Di salah satu foto terlihat Sri Sultan diarak sambil dipanggul di bahu seorang lelaki. Simaklah juga foto puluhan ribu orang menyemut di depan Istana Rijswijk (Istana Merdeka), gegap-gempita menyambut kedatangan Sukarno di Jakarta setelah tersingkir ke pengasingan di Yogyakarta. Di situ terpancar rasa rindu masyarakat, rasa memiliki masyarakat.
Kita membayangkan bagaimana Mendur beraksi pada 29 Desember 1949 itu. Seperti ditulis pengamat fotografi Yudhi Soerjoatmodjo, Alex Mendur saat itu berdiri di tangga Istana Rijswijk. Alex mengambil posisi tepat di depan podium, tempat sang Presiden berpidato.
Hari itu dia tidak sendiri. Di susur tangga Istana, di lokasi berbeda, koleganya, Frans Umbas, juga bersiap mengabadikan momen bersejarah itu dengan kamera Busch-Pressman 6x9, yang baru dibelinya dari fotografer Johnny Waworuntu. Ketika Sukarno dan rombongan tiba, mereka bergerak cepat memotret peristiwa itu. Hasilnya: beberapa foto Sukarno di antara lautan manusia dengan beragam sudut pandang berbeda.
Foto Frans-Alex tak melulu merekam adegan-adegan heroik, rapat-rapat raksasa yang dipenuhi lautan manusia, tapi juga sejumlah momen yang lebih intim dan personal. Tengok saja foto Sukarno ketika berlibur dengan keluarganya. Dengan caption "Presiden Soekarno & Ibu Fatmawati di desa, Juni 1947", foto itu memperlihatkan Sukarno dikawal seorang prajurit bersenjata laras panjang duduk santai di atas getek, perahu kecil yang terbuat dari susunan bambu, sambil menggendong Guntur kecil. Orang nomor satu negeri yang waktu itu baru dua tahun diproklamasikan ini kelihatan begitu bersahaja. Mengenakan kemeja lengan pendek dan bertopi bundar, Sukarno tampil sebagai seorang bapak yang hangat.
Kesan serupa terlihat pada foto Hatta yang tengah duduk menikmati secangkir kopi dan kudapan sambil memangku salah seorang putrinya. Foto itu diambil ketika Hatta dan keluarganya tengah berada di Kaliurang pada Januari 1947.
Foto-foto itu memperlihatkan kemesraan hubungan antara pewarta foto dan para petinggi negeri. Menurut Yudhi, sejak semula pemerintah Sukarno memanfaatkan kejelian dan loyalitas para juru foto Indonesia. Bung Karno tak akan pergi ke mana-mana tanpa didampingi juru foto. Sebaliknya, para fotografer itu selalu diperlakukan secara istimewa. Bahkan Bung Karno biasa mengajak Frans dan Alex sarapan pagi. Persahabatan dan rasa saling menghormati ini memungkinkan para juru foto membuat potret-potret eksklusif dan dramatis.
Nunuy Nurhayati, SJS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo