Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Anulir, Konfrontir, Legalisir

5 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Sahidah*

Kemelut surat palsu antara Komisi Pemilihan Umum dan Mahkamah Konstitusi menimbulkan pertanyaan lain, di luar masalah legal. Di tengah perseteruan ini, terdapat dua kata yang sering muncul, yakni "anulir" dan "konfrontir". Ada sebuah keputusan yang "dianulir" sehingga menimbulkan silang sengketa. Demikian pula, kata "konfrontir" berhamburan di media elektronik.

Kita memahami maksud dua kata di atas dalam sebuah konteks kalimat. Namun, jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat, 2008), tampak ada kejanggalan, karena kata "anulir" dianggap lema yang baku, sementara "konfrontir" diikuti tanda panah (—>), yang berarti harus diganti dengan kata yang ditunjuk, yaitu "konfrontasi". Kata "konfrontasi" juga digunakan oleh banyak narasumber, yang menunjukkan bahwa keduanya telah dikenal sebagai kata yang bermakna sama. Kalau memang kata "konfrontasi" dianggap lebih tepat, mengapa masih banyak orang berdegil menggunakan kata "konfrontir"?

Aturan ketatabahasaan bahasa Indonesia tidak mengenal sufiks (akhiran) ir. Meskipun akhiran ir tidak diterakan dalam kamus, sebagaimana kan dan i, ada banyak lema yang berakhiran ir. Uniknya, satu sama lain mendapatkan pemerian yang berbeda. Selain tanda panah, ada ark (arkais) dan cak (ragam cakapan). Selain dua kata di atas, kita menemukan kata lain, "legalisir", yang sangat dikenal karena terkait dengan kebutuhan orang ramai, pengesahan dokumen penting. Sayangnya, ia bernasib sama dengan "konfrontir", bertanda anak panah. Harus diakui, kita lebih sering mendengar dan menemukan kata "legalisir" dibanding "legalisasi". Yang menarik adalah perbedaan nuansa antara "lokalisir" dan "lokalisasi". Sementara yang pertama digunakan untuk pembatasan pada suatu tempat secara umum, "lokalisasi" acap kali dikaitkan dengan pelacuran. Orang cenderung tak akan menyebut kata "lokalisir" untuk menggantikan tempat pelacuran, bukan?

Mengapa kejelasan akhiran ir perlu diungkap? Dari pengesahan terhadap lema "sinyalir", seakanakan bentukan kata turunan semacam ini bisa dibenarkan dalam keaksaraan, sehingga dengan sewenangwenang orang mengiaskan pada kata dasar lain. Tidak aneh, kita sering menemukan atau mendengar kata "mendinamisir" dan "mendramatisir", yang tidak ditemukan dalam kamus. Anehnya lagi, kegairahan untuk menyuburkan model ini mencuat. Seorang penerjemah mengalihbahasakan kata kerja "introduce" menjadi "mengintrodusir". Memang, kata "introdusir" ditemukan dalam kamus, tapi dianggap sebagai lema yang bertanda cak sebagai penanda kata tidak baku—anehnya, kata ini disebut sebagai kata benda, sementara "anulir", yang mempunyai susunan yang sama, kata dasar yang diakhiri ir, dianggap kata kerja.

Hal lain yang membuat saya mengernyitkan dahi adalah kata "akomodir". Alihalih diberi tanda —>, di dalam kamus kata yang juga sering digunakan ini ditandai dengan ark, yang berarti arkais atau dianggap tidak lazim. Mengapa kata ini tidak diperlakukan sama dengan susunan kata yang serupa, setakat ini tidak ada penjelasan. Meskipun tak lazim, kata yang sama artinya dengan "akomodasi" ini sering diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan. Seharusnya, jika ingin memanfaatkan akhiran ir, kita harus mengucapkan dan menuliskan "akomodasir" atau "akomodatir", mengikuti pola "sinyalir", yaitu "sinyal" ditambah ir.

Lalu bagaimana kita memahami ketidaktunakan kedudukan sufiks ir di atas? Agar tak disandera kerumitan ini, kita mungkin bisa melirik pembagian pembentukan kata dalam bahasa Inggris, teratur (regular) dan tak teratur (irregular), atau yang terakhir ini disebut dengan sama’i dalam bahasa Arab. Dengan mengatakan bentukan kata yang berakhiran ir yang tidak banyak itu sebagai ketidakberaturan, kita tak perlu mempersoalkan kaidah yang digunakan.

Masalahnya, meskipun kata "meminimalisir" dianggap tidak baku karena mendapat pemerian tanda cak, kata ini sering digunakan oleh para penutur dalam acara resmi dan media massa. Padahal ada dua kata yang bisa digunakan dengan makna yang sama: "meminimalkan" dan "meminimalisasi". Sebenarnya akhiran ir bisa disahkan sebagai bentuk terikat serapan, sebagaimana isasi, yang kebetulan samasama mengandaikan arti proses, cara, dan perbuatan. Dengan demikian, kamus keluaran terakhir tak perlu repotrepot memberikan pelbagai penanda, seperti tanda panah, ark, dan cak.

Apalagi, mengingat salah satu kaidah keaksaraan itu merujuk pada kesepakatan pemakaiannya, para penentu perkamusan tak perlu kagok untuk meresmikan sufiks ir sebagai bentuk terikat, sebagaimana hal serupa banyak diserap dari bahasa asing, seperti de dan anti. Dengan demikian, kita tak perlu menganulir legalisir sebagaimana saran judul di atas.

*) Dosen filsafat dan etika di Universitas Utara Malaysia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus