Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Tanggapan dari Syahril Sabirin

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA waktu saya membaca tulisan yang berjudul Setelah Pensiun mengenai diri saya dalam Majalah TEMPO Edisi 23-29 Juni 2003, sungguh sulit mempercayai bahwa yang saya baca itu adalah tulisan di dalam Majalah TEMPO. Di dalam benak saya, Majalah TEMPO merupakan majalah yang begitu bergengsi dan punya reputasi sebagai penerbitan yang hanya memuat berita berdasarkan hasil investigasi yang mendalam, dan bersih dari berita gosip atau fitnah seperti artikel Setelah Pensiun itu.

Sebenarnya, ketika saya diwawancarai per telepon oleh wartawan TEMPO mengenai issue (gosip) yang didengar oleh TEMPO, sudah saya jelaskan kepada wartawan tersebut duduk masalah yang sesungguhnya, yang tampaknya dapat dipahami oleh wartawan tersebut. Tapi tulisan yang muncul tetap saja menjurus pada gosip dan fitnah.

Dalam wawancara tersebut, saya tanyakan kepada wartawan TEMPO siapa yang merupakan sumber gosip itu, apakah dari luar ataukah dari dalam Bank Indonesia. Wartawan TEMPO mengatakan bahwa sumbernya adalah seorang pengamat dari luar Bank Indonesia. Setelah saya sebut nama-nama pengamat yang sering menyerang BI, ia mengiyakan ketika saya sebut nama seorang pengamat yang menjadi pejabat tinggi di masa Gus Dur. Setelah mengetahui sumber gosip itu, saya katakan kepada wartawan TEMPO bahwa saya tidak heran kalau sumbernya adalah orang tersebut, karena orang ini pula yang menjadi alat Gus Dur menghantam saya pada waktu Gus Dur berkuasa tahun 2000 dan 2001 yang lalu. Orang ini telah beberapa kali pula memfitnah saya mengenai berbagai hal.

Mengenai tulisan Setelah Pensiun itu sendiri, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan:

  1. Apakah begitu aneh jika seorang mantan pejabat memerlukan waktu tiga atau empat minggu untuk membersihkan bekas kantornya? Pertanyaan itu menjadi bertambah relevan untuk seorang mantan pejabat yang selama lima setengah tahun menjabat tidak pernah sepi dari kesibukan, dari penanganan krisis moneter dan perbankan sampai menghadapi obok-obok oleh berbagai pihak. Apalagi dalam hal saya. Sampai sesaat sebelum serah terima jabatan, saya masih disibukkan oleh tugas-tugas sebagai Gubernur BI. Selain itu, sangat lumrah kalau seorang gubernur yang baru dilantik harus menunggu beberapa lama di kantor lain atau di kantor sementara sampai kantornya yang permanen dikosongkan oleh gubernur lama, sebagaimana yang saya alami sewaktu saya diangkat menjadi gubernur pada 1998. Pada waktu itu saya tidak pernah mendesak, apalagi memprotes, agar pengosongan kantor dilakukan lebih cepat. Dalam hal pergantian dari saya kepada gubernur yang baru sekarang ini, pengosongan kantor menjadi semakin tidak mendesak karena gubernur yang baru sudah memilih menggunakan kantor gubernur di lantai 25 Gedung B. Kantor gubernur di Gedung B itu memang sudah lama siap ditempati, tapi saya memilih untuk tetap menggunakan kantor yang lama di Gedung Thamrin. Sungguhpun demikian, saya tetap akan mengosongkan bekas kantor saya ini dalam waktu yang secepat-cepatnya.

  2. Tulisan Setelah Pensiun mengatakan bahwa saya masih mengatur-atur dan memerintah-merintah pegawai BI. Apakah masuk akal apa yang ditulis oleh TEMPO? Dan apakah masuk akal bahwa pegawai BI masih mau diatur dan diperintah oleh orang yang sudah pensiun? Selain itu, saya kira banyak orang mengetahui bahwa saya bukan merupakan orang yang dapat terserang gejala post-power syndrome. Jabatan Gubernur BI pun saya peroleh bukan dengan cara kasak-kusuk dan menghalalkan segala cara. Jabatan itu ditawarkan kepada saya. Bahkan untuk menerima tawaran itu pun saya memerlukan waktu untuk berpikir dan berdoa.

  3. Mengenai rumah dinas, saya mengikuti ketentuan yang berlaku, yang memberikan tenggang waktu 6 bulan bagi seorang mantan. Ketentuan ini sudah berlaku lama dan semua orang yang berkepentingan mengetahuinya. Kalau betul apa yang diberitakan TEMPO bahwa Gubernur Burhanuddin sempat harus diinapkan di sebuah hotel, tentu pertimbangannya bukanlah bahwa rumah dinas gubernur belum kosong, karena gubernur yang baru ini mestinya mengetahui betul masa tenggang yang 6 bulan itu. Tentu saja saya tidak bisa menjawab pertanyaan mengenai alasan yang sesungguhnya mengapa Gubernur Burhanuddin harus pindah dari rumah pribadi ke hotel. Dan jika hal itu benar terjadi seperti diberitakan TEMPO, tentu Gubernur Burhanuddinlah yang bisa menjawabnya.

  4. Perihal fasilitas pengemudi yang diungkap di dalam Majalah TEMPO, bukanlah tipe saya untuk merendahkan diri meminta dispensasi atau pengecualian dari peraturan yang berlaku. Dalam kenyataannya, selama saya menjabat sebagai Gubernur BI, fasilitas-fasilitas yang saya gunakan, termasuk fasilitas pengemudi, tidak sebesar jatah yang disediakan untuk seorang Gubernur BI. Adalah wajar menurut hemat saya kalau BI memberikan fasilitas pengemudi untuk saya selama satu tahun sebagai kompensasi atas penggunaan fasilitas yang di bawah jatah selama lima setengah tahun saya menjabat sebagai Gubernur BI. Mengenai fasilitas langganan koran dan lain-lain, saya juga tidak pernah meminta perlakuan istimewa, dan sejak awal Juni saya tidak lagi menerima fasilitas-fasilitas itu, sesuai dengan aturan yang berlaku. Sesungguhnya sangat tidak pantas rasanya saya mengungkap semua hal ini di media massa; namun, apa boleh buat, TEMPO sudah telanjur membeberkannya di dalam tulisan yang berjudul Setelah Pensiun itu.

  5. Tanah di Cipaku, Bandung, seperti yang saya jelaskan kepada wartawan TEMPO, adalah milik Yayasan Kesejahteraan Karyawan BI (YKK-BI) dan bukan milik BI. Tanah itu tidak dibagi-bagikan, tapi dijual dengan harga yang tidak murah dan dengan pembayaran tunai, bukan hanya kepada pimpinan, melainkan juga kepada para karyawan, dengan kemungkinan akan dipasarkan pula kepada umum. Selain itu, keputusan untuk menggarap tanah yang sudah lama telantar itu dan menjualnya kepada pimpinan dan karyawan BI serta pihak lainnya bukanlah keputusan saya pribadi, melainkan keputusan Dewan Gubernur BI. Sebagai catatan, untuk gubernur yang baru juga disediakan satu kapling, jika dia berminat.

  6. Mengenai pembangunan rumah peristirahatan di Bukit Tinggi, wartawan TEMPO sudah menanyakannya kepada Sdr. Dudung Sjarifuddin, Direktur Utama YKK-BI. Dan TEMPO sudah memasukkan hasil wawancara tersebut di dalam tulisan Setelah Pensiun. Tapi nada penulisan TEMPO tetap saja seperti memvonis saya. TEMPO tidak menghargai bahwa tanah yang 5.000 meter persegi lebih itu, yang semula saya maksudkan untuk saya beli sendiri, saya tawarkan sebagian kepada YKK-BI dan harganya begitu murah, hanya Rp 70 ribu per meter persegi. Saya membelinya dengan harga Rp 70 ribu per meter persegi dan YKK-BI membeli dengan harga yang sama. TEMPO boleh mengecek sendiri jika masih ada tanah seharga itu di dalam Kota Bukit Tinggi. Di dalam tulisan Setelah Pensiun, TEMPO menciptakan kesan seolah-olah YKK-BI terpaksa membeli tanah itu dengan mengatakan, ”Ternyata Yayasan BI tidak berminat membeli seluruh tanah itu dan hanya mampu mengambil 3.500 meter persegi.” Tapi secara logis tulisan TEMPO susah untuk dicerna karena jika YKK-BI terpaksa membeli, mengapa kemudian mereka menambah luas tanahnya dan membeli lagi dengan harga yang jauh lebih mahal? TEMPO juga memberikan kesan bahwa lokasi rumah peristirahatan itu begitu jauh terpelosok dan berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kota. Padahal rumah peristirahatan itu terletak hanya sekitar 2 kilometer dari pusat kota dan lokasinya berseberangan dengan Hotel Pusako, yang merupakan salah satu dari dua hotel besar berbintang di Bukit Tinggi. Di dalam tulisan Setelah Pensiun diungkapkan gosip bahwa tanah untuk rumah peristirahatan itu dibeli dari keluarga istri saya. Padahal istri saya tidak berasal dari Bukit Tinggi dan keluarganya tidak punya tanah semeter pun di Bukit Tinggi.

  7. Kepada orang yang menjadi sumber gosip, saya imbau agar ia melakukan introspeksi terlebih dahulu. Sebelum Anda menjelekkan dan menyalahkan orang lain, hendaknya Anda becermin terlebih dahulu untuk melihat apakah diri Anda sudah bersih dan baik. Anda bisa saja membohongi orang lain, tapi Anda tidak bisa membohongi diri Anda sendiri. Selain itu, saya percaya bahwa sumber gosip yang dari luar BI tidak akan bisa menciptakan gosip seperti itu kalau ia tidak mendapat ”suplai” dari ”orang dalam”. Mungkin saja orang BI menyuplai info itu tanpa menyadari bahwa info itu akan digunakan oleh sumber gosip untuk tujuan yang tidak baik. Namun, apabila penyediaan info itu dilakukan dengan penuh kesadaran, izinkan saya mengemukakan bahwa cara-cara yang seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah dan saya yakin juga tidak akan bisa mengangkat nama dan martabat mereka. Saya menyadari dengan sepenuhnya bahwa dari sekian banyak pegawai BI tentu ada yang tidak senang dengan saya, apakah karena mereka tidak bisa menerima hukuman jabatan yang dijatuhkan karena kesalahan mereka, atau karena tidak bisa menerima kenyataan-kenyataan yang tidak enak, atau karena alasan lainnya. Kalau boleh, saya hanya ingin mengimbau agar janganlah mereka sampai terjerumus sehingga mau dimanfaatkan pihak lain untuk tujuan-tujuan yang tidak baik.

  8. Saya tidak menyalahkan wartawan TEMPO yang mewawancarai saya karena mungkin dia hanya melaksanakan perintah atau pesan dari redaktur untuk menanyakan beberapa hal kepada saya. Namun, setelah saya membaca tulisan di dalam TEMPO, kepada wartawan itu saya katakan: kalau TEMPO mau menghujat atau memojokkan seseorang, apalagi soal fasilitas dan penggunaan wewenang seperti ini, lihat-lihatlah terlebih dahulu orangnya, apakah orang itu termasuk tipe penyalah-guna wewenang atau bukan. Janganlah redaktur TEMPO ikut menzalimi orang yang selama bertahun-tahun sudah bertubi-tubi dizalimi oleh berbagai pihak.

Akhirnya saya berharap agar TEMPO tetap menjaga mutunya sebagai majalah yang berbobot. Hendaknya TEMPO jangan sampai terjerumus sehingga dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menyebar gosip dan fitnah murahan. Reputasi yang diperoleh TEMPO merupakan hasil dari perjuangan yang cukup panjang. Alangkah sayangnya apabila perjuangan yang panjang tersebut menjadi sia-sia karena tulisan-tulisan seperti Setelah Pensiun itu.

SYAHRIL SABIRIN
Mantan Gubernur Bank Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus