Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Hijau Sehari-hari

Menyelamatkan lingkungan dan bumi tidak selalu harus dengan hal-hal besar, seperti memprotes perusahaan penghasil polusi masif. Gaya hidup lestari menjalani kegiatan sehari-hari, selain sangat berguna, menjadi tren yang menarik.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUKAH berapa banyak sampah kantong plastik di Indonesia? Menurut perhitungan Kementerian Lingkungan Hidup, jumlah sampah plastik setiap hari 23.600 ton—dengan asumsi 230 juta penduduk Indonesia. Kini sampah plastik menumpuk hingga 6 juta ton, atau kira-kira setara dengan berat sejuta gajah dewasa.

Kantong plastik jelas tidak ramah lingkungan. Proses pembuatannya menghasilkan emisi karbon dioksida. Butuh ratusan tahun agar sampah plastik hancur alami. Jika dibakar sembarangan, sampah plastik menghasilkan senyawa dioksin yang dapat menyebabkan kanker.

Gunungan dan sebaran sampah plastik adalah persoalan lingkungan yang serius. Namun masalah besar bisa diselesaikan melalui langkah kecil, seperti yang dilakukan beberapa komunitas pegiat lingkungan. Mereka membuat survei tentang ”Penggunaan Kantong Kresek”. Komunitas pembuat survei itu, Transformasi Hijau (Trashi), Sahabat Lingkungan (Shalink), Rumah Bersama, Rumah Belajar Semi Palar, Peta Hijau Jakarta, Jakarta Green Monster, Greeneration Indonesia, dan Green­Lifestyle, adalah kelompok yang beranggotakan anak-anak muda.

Survei secara online yang dilakukan mulai pengujung tahun lalu hingga awal tahun ini tersebut menjangkau terutama responden lima kota besar: Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Denpasar—juga kota-kota lain, bahkan dari luar negeri. ”Sekarang sedang proses pengolahan data,” kata Armely Mei­viana, aktivis GreenLifestyle—komunitas peduli kota dan lingkungan yang mendorong go green di tingkat individu dalam kehidupan sehari-hari.

Dari survei teridentifikasi pola penggunaan kantong plastik oleh konsumen, sumber utama kantong plastik, juga komitmen kesediaan konsumen dan produsen mengurangi kantong kresek. ”Nanti ada kampanye lanjutan,” ujar Armely.

Go green, istilah populer gerakan memelihara dan memperbaiki lingkungan dengan cara hidup ramah lingkungan, memang sudah menjadi tren dunia. Pejuang lingkungan hidup kelas dunia telah banyak melakukan hal besar, seperti berbicara di forum-forum internasional yang membahas pemanasan global dan emisi karbon serta memprotes perusahaan-perusahaan multinasional agar mengurangi tingkat polusi.

Kiprah mereka heroik. Tapi yang tak kalah menarik justru orang-orang yang menerapkan gaya hidup lestari untuk hal ”kecil” sehari-hari, seperti melakukan survei tas plastik, buat menumbuhkan kesadaran akan ancaman produk yang sulit sekali didaur ulang. Hijau sehari-hari itu juga menjadi cara hidup yang tak kalah heroik dan militan dibanding kiprah para pejuang lingkungan tingkat dunia.

Lihat bagaimana Bibong Widyarti, 48 tahun, ”mengimani” gaya hidup lestari sehari-hari. Bibong begitu cemas terhadap nasib dua tas berisi sampah tak terdaur ulang. Macam-macam isinya: dari sepatu bekas, tutup botol, pecahan botol, tas plastik rusak, baterai, hingga cuilan Styrofoam bekas ganjal perangkat elektronik. ”Mau diapakan lagi,” katanya. Akhirnya, sampah itu dilepas ke tukang sampah. ”Sedikit sekali,” demikian komentar si pengangkut sampah.

Total sampah hanya sekitar 11 kilogram. Semua itu kumpulan sampah tersisa dari rumah Bibong di Depok, Jawa Barat, dalam setahun, selama 2010. ”Kalau zero susah,” kata penulis buku Hidup Organik: Panduan Ringkas Berperilaku Selaras Alam yang terbiasa melakukan evaluasi beban sampah selama setahun itu. Capaian kali ini sudah lebih baik dibanding tahun sebelumnya, 23 kilogram. Tekadnya, pada 2011 ini harus lebih sedikit lagi.

Sampah-sampah lain? Sudah dipilah sejak awal. Sampah organik diolah menjadi kompos atau untuk makanan kelinci peliharaan. Sampah non-organik dimanfaatkan sebisanya, semisal botol plastik untuk vas bunga, ganjal perabot, atau bantalan alat elektronik. Yang benar-benar tidak berguna dikumpulkan hingga setahun.

Keluarga Bibong—dia, suami, dan dua anak—memang serius menerapkan perilaku hijau untuk hal-hal ”kecil” sehari-hari. Tidak perlu punya target memperjuangkan perluasan taman kota dan pengurangan emisi karbon, anggota keluarga Bibong cukup dengan terbiasa berbekal tas belanjaan kain untuk mengurangi konsumsi tas plastik. Mereka jarang jajan karena membawa bekal makanan dan minuman dari rumah dalam wadah khusus. Jika terpaksa jajan pun, mereka memilih tempat yang menyajikan makanan-minuman dengan piring dan gelas yang bisa dipakai berkali-kali. ”Mending batal kalau penjual jus hanya punya gelas plastik sekali pakai,” kata Bibong, yang yakin agenda besar lebih baik dimulai dari langkah kecil.

Bibong bukanlah orang yang baru ”beriman” pada pola hidup hijau. Sekitar 15 tahun terakhir, keluarga Bibong sebisa mungkin mengkonsumsi bahan organik, dari makanan-minuman sampai keperluan sehari-hari. Barang organik diyakini lebih ramah lingkungan karena dihasilkan dari proses alamiah. Beras organik, misalnya, tidak memerlukan racun pestisida dan pupuk buatan yang pengolahannya menyisakan emisi.

Untuk itu, Bibong berbelanja khusus secara periodik di tempat-tempat penyedia barang organik. Bukan hanya beras, sayur-sayuran, kopi, dan teh, bahkan keperluan mandi dan mencuci pakaian pun organik. Sabun cuci kadang mereka olah sendiri dari buah lerak.

Toh, masih ada lagi ”dosa” yang dirasa mengganjal Bibong, karena memang sistem keseluruhan belum mendukung, yakni penggunaan listrik dan transportasi. Untuk penerangan, Bibong menggunakan lampu hemat energi. Untuk transportasi ke kantor, kendaraan pribadi dari Depok diparkir di Ragu­nan, Jakarta Selatan. Kemudian dia masuk kota dengan angkutan umum. ”Belum sempurna, hanya mencoba membuat perubahan dari hal-hal kecil.”

Langkah kecil belum tentu mudah. Tak banyak yang mau melakukannya, karena masih ada anggapan aksi seperti ini tidak membuat perubahan berarti. ”Terkesan bukan aksi yang mencatat sejarah,” kata Armely.

Begitulah, praksis green sehari-hari seperti yang dilakukan Bibong pun menjadi penting. Pekerjaan rumahnya adalah mendidik khalayak agar menjalankan cara hidup lestari. Menurut Bibong, yang paling efektif adalah pendidikan sejak kecil, seperti yang diperolehnya hingga membekas sampai sekarang. ”Membawa bekal makanan dan tidak membuang sampah sembarangan sejak kecil,” dia mengisahkan.

Menularkan gaya hidup lestari, selain bermula dari hal-hal kecil, harus kreatif (baca ”Bar Daur Ulang”). Chrisandini, salah satu aktivis World Wildlife Fund Indonesia, melakukan hal unik: menggelar pesta pernikahan hijau. ”Mengabadikan aksi green dalam momentum bersejarah sekaligus edukasi ke orang banyak,” kata Chrisandini mengomentari pesta yang diadakan Minggu dua pekan lalu itu.

Pesta berlangsung di lokasi semi-outdoor, praktis tak banyak menyedot listrik untuk penerangan—kecuali untuk pengeras suara. Makanan dan minuman disiapkan benar-benar sesuai dengan hitungan jumlah tamu. Di meja makan terpasang papan pengumuman agar para tamu mengambil hidangan secukupnya. Jika tetamu ingin membungkus, disediakan kotak makanan. Di dekat gelas disediakan stiker nama agar orang hanya setia pada satu gelas. Perokok? Maaf, hanya boleh di sudut yang jauh.

Untuk tamu, tak ada suvenir yang kerap hanya menjadi sampah. Sebagai gantinya, disediakan door prize untuk pemberi ucapan terbaik. Ucapan ditulis pada kertas kecil yang digantung di pohon, pengganti buku daftar undangan. ”Awalnya tamu-tamu terkejut, akhirnya pada mengikuti,” kata Chrisandini.

Harun Mahbub

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus