SUTAN Takdir Alisjahbana masih terus risau. Budayawan yang dikenal dengan buku pelajaran Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia itu menilai, bahasa Indonesia masih terkebelakang sebagai bahasa modern. Buktinya, tidak cukup buku dalam bahasa Indonesia "yang memberi kesempatan kepada orang Indonesia untuk menguasai ilmu dan kebudayaan modern." Takdir, "sang penganjur kemajuan" sejak dulu, bertekad, "Sebelum habis abad ke-20 ini, kita harus mengangkat bahasa Indonesia ke tingkat kedewasaan sebagai bahasa modern." Lalu, ia tak jemu mencanangkan untuk menerjemahkan buku secara besar-besaran. "Agar segera merebut ilmu dan teknologi bangsa lain yang lebih maju," katanya. Pentingnya penerjemahan besar-besaran itu belum disadari benar. "Setelah 41 tahun merdeka belum dilakukan usaha seperti di Jepang dalam revolusi Meijinya," kata Takdir. Saban mengingat penguasaan bahasa asing di kalangan bangsa Indonesia belum memuaskan, menurut Takdir, ini berarti ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang ditawarkan dalam buku-buku itu tak bisa sepenuhnya dan dengan segera dapat diserap. Merasa anjurannya kurang mendapat tanggapan, terutama dari pihak pemerintah, kemudian Takdir menyingsingkan lengan bajunya sendiri. Sejak 12 tahun lalu, misalnya, ia mendirikan Sekolah Tinggi Menerjemah. Dan awal Desember lalu, Rektor Universitas Nasional ini mendirikan Pusat Penerjemah Nasional (PPN). Dengan modal pertama Rp 100 juta dari Universitas Nasional, PPN merancang menerjemahkan 1.000 judul buku setiap tahun. Saat ini, PPN baru menerjemahkan 17 judul. Dan biaya rata-rata per buku sekitar Rp 3 juta. "Untuk mencapai target itu, sebenarnya dibutuhkan dana paling tidak Rp 3 milyar," ujar sastrawan yang minggu lalu berusia sepuluh windu itu. Ia sudah mengirim surat, mengajak berbagai pihak untuk memberi bantuan dalam pekerjaan besar ini. Kini PPN sudah menerima tawaran sekitar 300 penerjemah, sebagian besar dosen dan pensiunan, untuk bergabung. Kata Takdir, mereka akan dites dengan menerjemahkan sebuah buku, lalu hasilnya didiskusikan dan dinilai. "Penerjemah yang baik sekurang-kurangnya harus mampu menyampaikan isi buku yang diterjemahkannya," kata Takdir, yang sudah menulis 185 buku itu. PPN, sementara, memprioritaskan buku rujukan (textbook), dan buku ilmu pengetahuan mutakhir. Pertimbangannya, "Untuk merebut ilmu pengetahuan modern dari bangsa lain." PPN bukanlah proyek bisnis tapi proyek akademis. Buku-buku yang sudah diterjemahkan akan ditawarkan kepada para penerbit yang berminat. Sedangkan naskah terjemahan yang tak diambil penerbit, menurut Takdir, "akan kami terbitkan sendiri." "Gagasan Pak Takdir itu sangat bagus, walau tak mudah dilaksanakan," kata Hazil Tanzil, 68. Gagasan seperti itu sudah ada sejak 1951, ketika Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) berdiri, cuma kurang mendapat tanggapan. Bahkan sejak 1945, para sastrawan getol menerjemahkan karya-karya sastra asing. Hazil, salah seorang pendiri dan bekas ketua Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) pada 1974 itu, memang berpengalaman dalam hal pengalihbahasaan. Menantu Haji Agus Salim itu bersama kawan-kawannya, sekitar 100 penerjemah, jalan terus. Tapi beda dengan PPN, himpunan penerjemah ini lebih banyak menerima pesanan para penerbit. Penerbit Djambatan, Jakarta, yang sudah berusia 33 tahun itu, banyak menerbitkan buku terjemahan, dan selektif. Direktrisnya, Nyonya Roswitha Pamoentjak Singgih, 60, sependapat dengan Hazil Tanzil: penerjemah harus mampu menyelami jiwa pengarang dan tulisannya, untuk dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia yang setepat-tepatnya. Tapi untuk menghasilkan terjemahan yang baik, tak cukup hanya mengusahakan pendidikan bagi calon penerjemah. "Sekolah untuk para editor atau penyunting juga perlu," katanya. Pendapat Nyonya Roswitha itu ternyata dirasakan pula oleh penerbit lain. "Menerjemahkan buku tidak sulit, asal ditangani penerjemah yang baik. Yang sulit justru menyuntingnya," ujar Rema Karami Soenandar, 25, manajer penerbitan Remaja Karya, Bandung. Penyuntingan biasanya memakan waktu cukup lama. Sementara ini tenaga penyunting yang baik sangat langka dan sekarang mereka masih jadi rebutan. "Karena lama dalam penyuntingan itulah, kami rugi waktu," kata Arfan Rozali, 28, manajer pemasaran Remaja Grup. Dihitung dari sejak memilih buku sampai saat menerbitkannya, rata-rata makan waktu dua tahun. Meski begitu, penerbit ini masih saja getol menerbitkan buku terjemahan. Sejak dua tahun lalu, Remaja Karya sudah mencetak 50 judul buku terjemahan. Kegetolan seperti itu niscaya bisa bikin Prof. Takdir bergembira. Sebab, para penerbit, rata-rata, punya idealisme. "Meskipun sebenarnya biaya menerjemahkan dan menerbitkan buku jatuhnya mahal. Sementara harga jualnya bisa sepersepuluh dari harga buku aslinya," kata Arfan. Idealisme juga dimiliki oleh penerbit yang baru berusia empat tahun seperti Mizan Bandung. Penerbit yang mengaku tidak komersial ini giat menerbitkan buku-buku terjemahan, "untuk dakwah", kata Ali Abdullah, manajer pemasarannya. Dengan target menerbitkan 20 judul per tahun, dan semuanya buku tentang Islam, Mizan sudah menerbitkan 80 judul, 60 terjemahan. Seperti penerbit lain, Mizan juga sulit mencari penerjemah yang ahli dalam bidangnya, selain harus mampu "menangkap" secara tepat isi buku yang diterjemahkan, bahasanya lancar dan akurat. Terutama penerjemah naskah dari bahasa Arab. Soalnya, seperti kata Hazil, kerja penerjemah tidak seperti tukang. Sri Indrayati & Budiman S. Hartoyo, Laporan Antosiasmo (Jakarta) & Agung Firmansyah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini