SEJAK tenggelamnya Kerajaan Majapahit, yang berdaulat penuh pada abad ke-14, grafik kerajaan di Nusantara terus merosot -- sampai semuanya jatuh ke dalam penjajahan Belanda selama kurang-lebih 350 tahun. Penjajahan itu dilakukan dengan cara dan politik modern, disertai pendekatan kebudayaan yang lembut sehingga hampir mustahil bangsa Indonesia dapat melepaskan diri. Perlawanan bersenjata di daerah-daerah, yang dilakukan sendiri-sendiri, menunjukkan tidak atau belum adanya kesatuan kemauan melawan musuh yang satu itu. Lahirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908, yang merintis perjuangan modern berorganisasi, membangkitkan kaum terpelajar -- sehingga menyusul pula organisasi-organisasi lain, partai-partai politik, dan gerakan pemuda yang mula-mula bersifat kedaerahan. Gerakan kebangsaan baru lahir pada 25 Desember 1912 -- dalam bentuk Indische Partij, yang didirikan oleh E.F.E. Douwes Dekker (Dr. Setiabudi Danudirja), Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan dr. Cipto Mangunkusumo. Tujuan: "Mempersatukan semua Indier sebagai persiapan untuk kehidupan bangsa yang merdeka." Program politiknya: Indie voor de Indiers (Hindia untuk bangsa Hindia). Kata Indier dan Hindia ialah yang kemudian menjadi Indonesia. Nasionalisme Hindia tersebut meliputi seluruh penduduk, termasuk orang-orang Indo-Belanda dan lain-lain yang berdarah campuran. Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan, ide nasionalisme Hindia itulah sumber spirit nasionalisme Indonesia -- yang menemukan bentuknya yang pasti melewati berdirinya partai-partai politik kebangsaan hingga Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda, yang berintikan "Satu Tumpah Darah, Indonesia Satu Bangsa Indonesia Satu Bahasa Indonesia", disusul oleh kesadaran nasional di kalangan pergerakan pemuda kedaerahan yang lalu berfusi menjadi "Indonesia Muda". Perkumpulan-perkumpulan pemuda yang menyusul lahir berlandasan nasionalisme dengan aspirasi politik suatu partai. Bangsa Indonesia akhirnya makin menemukan formulasinya yang teKas, yakni kelompok besar manusia yang satu kehendak, yang senasib-sepenanggungan, yang bersamaan watak, dan yang hidup di atu wilayah yang nyata-nyata satu unit. Yang terakhir itu ialah kepulauan Indonesia yang terdiri dari 13.678 pulau. Kemerdekaan Indonesia, yang diperjuangkan dengan banyak korban, mendapat dorongan keras pula dari penindasan Jepang yang merata -- sehingga Revolusi benar-benar didukung seluruh rakyat. Demikian sejarah ringkas. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tidak pernah menjadi sengketa. Orang Jawa, yang jumlahnya paling besar di antara suku-suku yang ada, sejak 1909 telah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam organisasi BU. Pada tahun 1917, Ki Hajar Dewantara sudah menyatakan, dalam majalah Hindia Poetera, bahwa bahasa Melayulah yang seyogyanya dipakai sebagai bahasa pengantar, karena sudah merupakan lingua franca, bahasa pergaulan. Tentang kebudayaan, yang masing-masing suku memilikinya, telah ada pedoman pengelolaan dan pemeliharaannya, yakni Pasal 36 UUD 1945, terutama yang tercantum dalam penjelasannya. Dengan itu, tak ada persoalan tradisi dan modernisasi keduanya berjalan bersamaan dengan aman dan terjamin. Perlukah Indonesia yang demikian itu dicarikan bandingannya dengan bangsa dan negara lain? Tidak. Kalaupun diusahakan perbandingan, niscaya hanya akan terhasilkan suatu segi yang ada kemiripannya. Dapatkah bangsa-bangsa di Benua Eropa yang kontinental (daratan) dibandingkan dengan penduduk dari kepulauan Indonesia yang terdiri dari tanah dan air, dari ribuan pulau ? Tidak. Keanekaragaman ras di Eropa amat berbeda dengan keanekaragaman suku-suku bangsa Indonesia. Ras-ras Eropa punya riwayat mereka sendiri, dan jauh berbeda dengan keadaan suku-suku bangsa kita, khususnya tentang mental, kerukunan, dan solidaritas. Kerajaan-kerajaan di Eropa, termasuk Inggris, punya sejarah ribuan tahun, menyusul kemudian timbulnya republik-republik, lalu terbentuknya sekutu-sekutu, seperti Benelux, NATO, Persekutuan Eropa Barat, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan sebagainya. Yang seperti ini tidak ada dan tidak akan ada di Indonesia dengan suku-suku bangsanya. Sebabnya, kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara di masa lalu hakikatnya hanya swapraja yang tidak punya kedaulatan di bawah pemerintah Hindia-Belanda. Suku-suku bangsa di Indonesia telah mengarungi nasib yang sama, sepenanggungan dalam kehendak melawan penjajah. Lambang negara Republik Indonesia, kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang artinya "Berbeda-beda tetapi Bersatu", mempunyai makna amat penting bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalimat Jawa Kuno sebagai lambang kerukunan agama Syiwa dan Budha itu telah bermanfaat sebesar-besarnya sebagai wahana persatuan dan kesatuan bangsa. Tali pengikat seperti ini tidak ada di Eropa, tidak pula di seluruh dunia. Bangsa-bangsa Eropa tidak dapat dipersatukan, meski telah berulang kali diusahakan dan diciptakan berbagai lembaga untuk mewadahi kepentingan bersama. Parlemen Eropa hanya seperti satu badan formalitas yang tak mempunyai wibawa MEE pun, yang hanya 12 negara, sering tak dapat disepakatkan pendiriannya. Bila perbedaan ras di Eropa hendak ditarik pada satu garis rangsangan rasialisme, di Indonesia terdapat alasannya sendiri terutama historis-politis dan psikologis-ekonomis. Ini pun banyak berpusat pada satu golongan, yakni WNI keturunan Cina. Historispolitis, mengingat masa lampau golongan itu dipisahkan dari pribumi oleh kaum penjajah. Psikologis karena golongan ini semula masih enggan berbaur dengan pribumi. Ekonomis, karena golongan ini banyak yang ekonomis kuat. Tingkah rasialistis amat merugikan kesatuan dan persatuan bangsa, tetapi sekarang sudah banyak perubahan dari pihak golongan itu. Dalam hal ini pun pemerintah wajib bertindak waspada dan bijaksana. Upaya agar golongan pribumi memperoleh pembinaan kehidupan ekonomi sebaik-baiknya, mengatur persekolahan dengan sistem tertentu, seperti menghapus pelajaran bahasa Cina, amat berguna. Kebudayaan, khususnya kesenian, pun banyak menunjang maksud mengikis habis rasialisme di Indonesia. Kekurangan yang kecil-kecil itu niscaya dapat diatasi dengan program tertentu pemerintah, terutama dalam membina solidaritas sosial. Dan solidaritas sosial berlaku untuk lapisan masyarakat golongan mana pun yang kebetulan berhasil mempunyai kemampuan dan memperoleh kesempatan mengembangkan ekonominya. Pada umumnya, persatuan dan kesatuan itu sudah dapat kita capai dengan landasan-landasannya yang kuat. Inilah yang harus kita pertahankan dan tingkatkan dari masa ke masa. *) Penulis: Kamajaya (H. Karkono Partokusumo), Pendiri/Wakil Ketua Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan/Lembaga Javanologi, Perintis Kemerdekaan, aktivis perjuangan sejak muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini