Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga bulan lalu, perupa Tisna Sanjaya dan Rahmat Jabaril, dari kelompok Gerbong Bawah Tanah, melakukan pertunjukan di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Monumen buatan Sunaryo yang terletak di Jalan Dipati Ukur, Bandung, yang lebih dikenal dengan nama Monumen Siliwangi ini menjadi obyek sindiran kedua seniman tersebut.
Kata Tisna, "Monumen ini antilingkungan." Pokoknya, menurut seniman yang baru pulang dari mengikuti Bienale Venesia ini, tidak fungsional. "Tengok saja sekarang. Jika siang monumen itu tak jelas aturan masuknya. Malam gelap-gulita, dipagar, jadi lokasi mesum lagi."
Ini mengingatkan pada masa-masa awal reformasi di Yogya. Beberapa seniman patung muda berkumpul merefleksikan keberadaan banyak patung warisan Orde Baru di kotanya. Misalnya Monumen Yogya Kembali di bilangan ring road atau Patung Serangan Umum di pojok Benteng Vredeburg.
Kita tahu, monumen dan patung itu merupakan pentahbisan peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret. Namun sesungguhnya, bila kita memasuki pelataran Keratondari arah alun-alun utarakita akan mendapati sebuah batu besar yang dinoktahi Sultan. Batu besar ini dimaksudkan Sultan sebagai tetenger atau tanda bahwa inisiatif Serangan Umum 1 Maret sesungguhnya sang ayahanda, bukan Soeharto. Tapi itu tak banyak diketahui masyarakat.
Patung sebagai seni publik, menurut Ben Anderson, pernah secara cemerlang dimanfaatkan Orde Baru untuk menanamkan ideologinya ke benak masyarakat sampai jauh ke pelosok-pelosok dusun. Di pedesaan Yogya atau Jawa Tengah, misalnya, kita dapati "monumen-monumen" kecil yang melambangkan keheroikan Janur Kuning sampai berbagai macam tugu Korpri, KB, dan sebagainya. Sekalipun Soeharto lengser sudah, "aura" patung-patung itu kini masih menjadi bagian dari "wacana" kehidupan desa.
Maka, rencana pembangunan 34 patung pahlawan di berbagai jalan Jakarta itu mengingatkan orang bahwa kita belum lepas dari wacana patung Orde Baru. Apalagi bila nanti dipilih lebih banyak patung pahlawan dari kalangan militer, bukan sipil "Tokoh sejarah Orde Baru kebanyakan militer," kata Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI. Sonny Sutanto, arsitek pendiri AMI, juga heran mengapa harus patung pahlawan lagi yang dibuat. Ia mempertanyakan kenapa bukan korbannya, korban perang itu sendiri yang dipatungkan.
Atau, misalnya, kerusuhan mahasiswa. Menurut dia, biasanya patung dibuat disesuaikan dengan konteks kesejarahannya, terutama kesejarahan lokasi. "Di Jalan Sudirman, contohnya, lebih kuat kalau dibuat patung untuk mengenang matinya mahasiswa pada masa reformasi dulu," tuturnya. Maksudnya tragedi Semanggi. Tragedi Semanggi adalah sejarah kontemporer kita yang patut diingat dan dikarangi bunga tiap tahunnya.
Monumen memang tidak terbatas pada sosok militer. Di kota-kota dunia bahkan banyak monumen yang inspirasinya diambil dari sosok fiksi sebuah novel terkenal atau sosok humanis yang menyegarkan. Di kota-kota yang memberi apresiasi terhadap kesenian, seperti Wina, terdapat patung sejumlah komposer. Bukannya patung seniman tidak ada di kita. Di Malang ada patung penyair Chairil Anwar, di Taman Ismail Marzuki terdapat patung Ismail Marzuki, meski keduanya sebatas torso. Karena itu, mengasyikkan membayangkan misalnya kita memiliki sebuah monumen besar W.R. Supratman menggesek biola.
Suatu kali, pencipta lagu Bangun Pemudi-Pemuda, Alfred Simanjuntak, mengeluh kepada TEMPO, betapa ia nelangsa melihat almarhum Cornel Simanjuntak seolah jasanya dilupakan pemerintah. Namanya hanya diabadikan dalam sebuah taman kecil 5x5 meter di Jatinegara, yang kini tak terawat. Di antara komponis muda masa perjuangan, Cornel Simanjuntak diangap sosok genial. Ia menciptakan lagu Maju Tak Gentar, Padamu Negeri, Sorak-Sorai Bergembira, Tanah Air, Tanah Tumpah Darahku Yang Suci Mulia.
Nasib Cornelis Simanjuntak sangat tragis. Cornel meninggal dalam usia 26 tahun. Ia ikut bertempur melawan Belanda di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, dan tertembak di pahanya. Karena tak mau peluru itu dikeluarkan, Cornel gugur. "Dengan segala hormat kepada Ismail Marzuki, sesungguhnya Cornellah yang merintis semangat baru, nada baru di Indonesia. Lagu-lagu dia, selain bersemangat nasional, juga berjiwa internasional. Itu yang tak dimiliki Marzuki," tuturnya. Sebuah patung untuk mengenang Cornel, menurut dia, layak didirikan.
Seno Joko Suyono, Boby Gunawan, Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo